Awas, Racun di Sekitar Anda!

By nova.id, Rabu, 25 Maret 2009 | 05:05 WIB
Awas Racun di Sekitar Anda! (nova.id)

Benda-benda di sekeliling kita ternyata bisa menjadi sumber racun yang mematikan, lho! Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menangkal keracunan, terutama pada anak-anak? Benarkah susu dan air kelapa muda dapat menghilangkan gejala keracunan?

Pasti Anda sering mendengar, puluhan siswa sekolah dasar mengalami keracunan setelah mengonsumsi susu bantal dari penjual dagang keliling, atau sejumlah pekerja pabrik keracunan setelah mengonsumsi nasi bungkus. Untungnya, nyawa para korban tadi masih dapat ditolong. Berbagai kasus tadi telah membuktikan, keracunan bisa terjadi kapan dan di mana saja, tanpa peringatan terlebih dahulu. Dan meskipun contoh tadi hanya menunjukkan dua peristiwa keracunan yang diakibatkan makanan, namun sebenarnya terdapat sejumlah jenis keracunan lain yang tak kalah berbahaya.

Nah, untuk mengetahui lebih dalam mengenai seluk beluk keracunan, Dra. Daya Sundari S. M.Si., Apt., dan Drs. Maurits Sitepu, Apt. dari Sentra Informasi Keracunan Nasional (SIKer Nas) akan menjelaskannya secara panjang lebar. "Keracunan bisa diartikan sebagai masuknya bahan-bahan asing ke dalam tubuh, melewati dosis yang dibutuhkan tubuh," jelas Maurits. Hingga saat ini, lanjutnya, kasus keracunan yang banyak terjadi, selain karena makanan, juga disebabkan karena menggunakan bahan-bahan kimia seperti pestisida atau dari tumbuhan dan hewan beracun.

JENIS-JENIS KERACUNAN Secara garis besar, papar Maurits, keracunan dapat diklasifikasikan berdasarkan lima bahan penyebabnya yaitu makanan, bahan kimia, pestisida, alam, dan obat-obatan. Kelima bahan penyebab ini dapat dijabarkan lagi menjadi obat, napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif), kimia industri dan rumah tangga, pestisida pertanian dan rumah tangga, makanan dan minuman, obat tradisional, tanaman beracun, pencemar lingkungan, dan hewan berbisa.

Pada intinya, segala sesuatu yang mengandung zat pelarut kimiawi dapat mengakibatkan keracunan bagi penggunanya jika tidak ditangani secara benar. "Misalnya pada bahan kimia rumah tangga, seperti detergen, sabun cuci, dan parfum. Atau pada pestisida rumah tangga, seperti obat nyamuk dan racun tikus," papar Maurits.

Jenis pestisida lainnya, dapat mudah ditemukan pada bahan-bahan yang dimanfaatkan untuk industri pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Begitu juga dengan obat, imbuh Maurits, misalnya parasetamol, meskipun bertujuan untuk menyembuhkan penyakit, jika disalahgunakan juga dapat dikategorikan sebagai penyebab keracunan. Contoh-contoh tadi menunjukkan, benda-benda penyebab keracunan sebenarnya berada sangat dekat dengan keseharian setiap orang.

Sedangkan racun alam, lanjut Daya, terdapat dalam tanaman atau hewan beracun. Misalnya singkong beracun atau gigitan ular berbisa. Udara yang dihirup manusia pun bisa menyebabkan keracunan jika terlalu banyak mengandung karbon monoksida. "Darah seharusnya mengikat oksigen, sehingga jika terlalu banyak karbonmonoksida yang terhirup, maka zat itulah yang diikat darah, yang lalu menyebabkan keracunan," urai Daya lagi.

Kendati demikian, menurut Maurits, tingkat kasus keracunan makanan di Indonesia masih tinggi. "Hal ini bisa disebabkan karena fisik, seperti paku yang tertinggal pada makanan, bisa juga karena cemaran mikroba," imbuh Daya. Penyebab lainnya, ditenggarai karena buruknya higienitas dan sanitasi pada proses pembuatan, pengolahan, dan penyimpanan makanan.

Sehingga menyebabkan adanya bahan tambahan makanan (bakteri atau zat berbahaya) yang tak memenuhi persyaratan. Uniknya, hal sederhana seperti membungkus, atau menyimpan makanan dalam wadah ketika masih panas pun ternyata bisa menyebabkan mikroba tumbuh dan menyebabkan keracunan, lho!

PENYEBAB SULIT DIKENALI Dari contoh jenis-jenis keracunan tadi, dapat disimpulkan, keracunan dapat terjadi tak hanya melalui mulut (oral) saja. Jalur paparan racun dapat masuk ke dalam tubuh juga bisa melalui pernafasan, kontak dengan kulit atau mata, dan suntikan. "Jadi, jangan menganggap keracunan hanya berbahaya jika melalui mulut saja," tandas Maurits.

Seseorang yang terkena keracunan, lanjutnya, akan mengalami gejala yang berbeda, sesuai dengan penyebabnya. Akan tetapi, secara umum gejala-gejala keracunan bisa terlihat dari luka fisik seperti luka bakar atau kemerahan di sekitar mulut dan bibir akibat menelan racun, atau bau nafas seperti bahan kimia jika menelan cat atau minyak tanah.

Lain lagi dengan orang yang mengalami keracunan makanan. Ia biasanya akan mengalami gejala seperti muntah, sulit bernafas, berkeringat, peningkatan produksi air mata dan air liur, diare, pusing, linglung, terkadang kejang, pingsan, bahkan bisa sampai koma. Dan biasanya, kata Maurits, tanda-tanda ini muncul selang beberapa menit hingga dua jam, pasca menelan suatu makanan.

Sayangnya, masih banyak orang mengalami kesulitan untuk menentukan penyebab keracunan, sekaligus cara menyembuhkannya. Terlebih jika bahan penyebab keracunan belum diketahui, karena korban tak sadarkan diri atau tidak ada saksi ketika keracunan terjadi.

Bila hal ini terjadi, saran Maurits, segera perhatikan keadaan sekeliling korban, mulai dari makanan sampai kemungkinan penyalahgunaan obat. Usahakan juga agar wadah makanan, yang dapat dicurigai sebagai bekas bahan beracun, atau memeriksa muntahan korban yang kemudian diselidiki pihak berwenang.

Namun, langkah utama yang harus dilakukan jika terjadi keracunan di sekitar adalah tetap tenang agar penyebab keracunan dapat diketahui, serta mengutamakan keselamatan jiwa korban dan penolongnya. "Kasus keracunan bisa ditangani asalkan belum terlambat. Jadi, hitungan waktu sangat berperan penting dalam mengatasi keracunan," tegas Maurits. Karenanya, korban harus segera dibawa ke rumah sakit atau tempat pertolongan medis terdekat.

JANGAN DIMUNTAHKAN! Lantas, apa yang dapat dilakukan selama tenggang waktu sampai korban keracunan dirawat oleh pihak medis? "Usahakan agar korban tetap sadar dan jangan panik," ucap Daya. Ibu tiga anak ini juga mengingatkan, jangan pernah memberikan apapun kepada pasien yang sedang dalam kondisi tak sadarkan diri. Apalagi, nekat membuat korban muntah tanpa mengetahui penyebabnya.

Cara membuat muntah orang keracunan ini memang sering dilakukan oleh masyarakat, dengan tujuan agar racun dapat segera keluar dari tubuh. Padahal, menurut Maurits, cara tadi sebenarnya justru bisa membahayakan nyawa korban! "Pada beberapa kasus keracunan, akibatnya akan lebih fatal jika dimuntahkan," ungkap ayah tiga putri ini. Misalnya pada keracunan minyak tanah, sebenarnya jika didiamkan dalam waktu 3-4 jam, korban akan merasa nyaman kembali.

Sebaliknya, lanjut Kepala Sub Bidang Toksikovigilans ini, jika dimuntahkan, satu tetes saja minyak tanah tadi masuk ke dalam paru-parunya, bisa menganggu aspirasi (pernafasan). Sebenarnya, untuk mengatasi atau mengobati keracunan yang paling efektif adalah dengan antidot (obat anti racun). Namun sayangnya, di seluruh dunia ini baru ada 5% jenis keracunan yang mempunyai antidotnya. "Lebih sayangnya lagi, di Indonesia hanya tersedia 10% saja," sesal Maurits. Kendati demikian, untungnya lebih dari 90% penanganan keracunan di rumah sakit di Indonesia berhasil diatasi dengan menggunakan metode suportif intensif. "Ini adalah bentuk pengobatan berdasarkan gejala. Contohnya, jika pasien kejang-kejang, maka diberikan obat kejang," tutur pria lulusan UGM ini lagi.

Contoh lainnya, pada keracunan makanan. Untuk mengeluarkan racun dari tubuh, biasanya dilakukan pencucian lambung. Obat pereda nyeri juga dapat diberikan jika korban mengalami kram perut, atau pemberian anti histamin pada keracunan histamin dari ikan.

Dan jika keracunan terjadi pada area kulit (misalnya disebabkan oleh pestisida), Daya menganjurkan untuk segera membasuhnya dengan air. "Minimal membasuhnya 15 menit, dan harus dilakukan di bawah air mengalir, sehingga bahan kimia bisa tersapu bersih dari kulit," pungkas Kepala Bidang Informasi Keracunan ini. Astrid Isnawati