Jika Pasangan Menggampangkan Persoalan

By nova.id, Selasa, 24 Januari 2012 | 08:03 WIB
Jika Pasangan Menggampangkan Persoalan (nova.id)

Selain merupakan refleksi sikap memandang rendah pasangan, perilaku menggampangkan juga merupakan bentuk kompensasi atas ketakberdayaan dirinya.

Coba, siapa yang enggak kesal kalau pasangan malah menggampangkan persoalan yang kita hadapi? Bukan cuma itu, ia pun kerap dengan enteng menjanjikan sesuatu, "Bereslah, Ma, bulan depan Papa beliin kalung idaman Mama, deh!" atau, "Santai aja, Yah, sebentar lagi juga Ibu kerjain, kok." Padahal nyatanya, itu cuma sebatas janji atau omongan belaka alias tak pernah terealisasi.

Perilaku ngegampangin begini, terang Monty P. Satiadarma, MS/AT, MCP/MFCC, Psi.,banyak dipengaruhi oleh modelling karena memang terkait erat dengan interaksi sosial. Baik peniruan langsung dari orang tua, lingkungan/budaya masyarakat terdekat, atau siapa pun yang dijadikan sosok peniruan oleh individu bersangkutan. Terlebih di masa balita, bukankah modelling amat kuat melekat dalam diri anak, hingga apa pun yang kita lakukan pasti akan ditirunya? Tak heran bila kita cenderung ngegampangin,si kecil pun akan menunjukkan perilaku serupa. "Entar dulu, ya, Ma, lagi asyik nonton, nih. Pokoknya, jangan khawatir, deh, nanti juga mainannya Kakak beresin," misal.

Bentuk peniruan itu sendiri, lanjut Monty, baik dari orang tua/keluarga terdekat maupun lingkungan masyarakat atau orang yang tak memiliki kedekatan emosional sama sekali, bisa berupa sikap/tindakan acuh tak acuh terhadap persoalan yang ada, kebiasaan menyepelekan persoalan apa pun atau malah tak bergeming memberi perhatian pada orang lain, termasuk pada mereka yang sedang dilanda masalah. Hingga secara umum orang yang memiliki kecenderungan ngegampangin ini jadi terlihat tak peduli pada sesama dan bersikap egois dalam hampir semua tindakannya.

SALAH KAPRAH

Masih terkait dengan peniruan, lanjut Monty pula, banyak orang menganggap ngegampangin yang berkonotasi negatif identik dengan aktivitas mempermudah pekerjaan (to simplify). Padahal, antara keduanya tak memiliki kesamaan sedikit pun. "Aktivitas mempermudah pekerjaan dilakukan oleh orang yang punya tingkat kecerdasan dan kreativitas tinggi," tutur Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta ini.

Orang seperti ini akan merasa tertantang untuk memusatkan perhatian dan energinya pada hal-hal utama yang dianggap penting dan membatasi hal-hal yang memang betul-betul tak dibutuhkan. Jadi, ia bisa bersikap realistis dan proporsional tanpa membesar-besarkan masalah itu sendiri ataupun menambah kesulitan yang ada. Itu sebab ia mampu melihat persoalan dengan lebih mudah.

Celakanya, mekanisme kerja untuk mempermudah ini ditiru banyak orang secara salah kaprah. Dianggapnya, dengan ngegampangin, ia seolah mampu memecahkan masalah demi masalah begitu mudah. Padahal, yang sebenarnya terjadi, ia tak tahu apa yang tengah menjadi masalah. Hingga, kala hasilnya mengecewakan atau berada di bawah standar yang diharapkan, ia langsung membentuk defense mechanism atau mekanisme pertahanan diri. Entah dengan selalu berkelit atau menyalahkan orang/objek lain di luar dirinya yang bersifat eksternal, "Mama, sih, mintanya yang mahal-mahal, makanya enggak kebeli sama Papa.", misal, atau "Habis, temanku curang, sih, makanya aku jadi kalah!"

FAKTOR INTERNAL

Perilaku ngegampangin, bisa juga disebabkan faktor-faktor internal dari diri si individu. Di antaranya bentuk kompensasi dari ketakmampuan seseorang untuk melihat masalah yang sesungguhnya secara proporsional. "Ia terbiasa menilai segala sesuatu dari kulit luarnya saja." Individu model ini, oleh Monty, dimasukkan dalam kategori sembrono/ceroboh. Soalnya, ia bersikap demikian hanya karena merasa tak punya waktu untuk menganalisa atau malah memang tak mampu membuat analisa. Jadi, bukan karena benar-benar tak punya waktu atau sudah menunjukkan usaha maksimal.

Kemungkinan lain, ia tak punya referensi yang cukup sebagai penunjang analisanya. Penyebabnya apalagi kalau bukan lantaran ia tak mau dan tak mampu melihat segala sesuatu dengan lebih seksama/secara mendalam. Tak heran bila hasilnya jauh dari sempurna atau tak sesuai yang diharapkan.

Selain itu, tambah Monty, tak tertutup kemungkinan yang bersangkutan cenderung overestimate terhadap diri sendiri. Artinya, ia menilai dirinya punya kemampuan melebihi kemampuan yang sebetulnya. Dengan kata lain, ia mengalami kesalahan dalam mengidentifikasikan dirinya sendiri. Misal, suami menilai dirinya pandai berhemat atau bisa meningkatkan kualitas kerja hingga mendapat tambahan penghasilan untuk membelikan hadiah yang diidamkan istrinya. Namun ketika dihadapkan pada kenyataan, ia terkejut, apa yang semula diperkirakannya sedemikian mudah, ternyata justru sebaliknya. Paling tidak ia terkaget-kaget harga emas/berlian sudah begitu tinggi, sementara uangnya sama sekali tak mencukupi. Itu sebab, apa yang dijanjikannya pada pasangan tak pernah bisa terealisasi.