Jika Pasangan Menggampangkan Persoalan

By nova.id, Selasa, 24 Januari 2012 | 08:03 WIB
Jika Pasangan Menggampangkan Persoalan (nova.id)

Bentuk overestimate diri ini, kata Monty, sebetulnya merupakan bentuk kompensasi atas ketakberdayaan dirinya. "Ia enggan berusaha lebih keras karena memang tahu dirinya tak punya daya ekstra untuk mengoptimalkan usahanya. Kompensasi tadi kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku memandang gampang semua masalah."

ANGGAP DIRI HEBAT

Bila digali lebih jauh, tambah Monty, penyebab munculnya sikap ngegampangin dalam perkawinan ternyata merupakan cerminan/refleksi sikap memandang rendah istri/suaminya. Ia tak menganggap penting permintaan/kebutuhan pasangan, entah lantaran memang kurang peka atau tak membiasakan diri untuk mendengarkan kebutuhan pasangannya. Ia lebih sibuk "bicara" sendiri dan minta didengarkan orang lain, terlebih oleh pasangannya. Jadi, "bukan cuma karena ketidakmampuan menganalisa masalah, lo."

Tak heran bila kecenderungan mementingkan diri sendiri ini membuatnya begitu mudah melupakan apa yang pernah ia ucapkan/janjikan pada pasangannya. Tentu saja sikap egois dan kekanak-kanakan ini sangat menjengkelkan pasangan karena harusnya tak perlu muncul dalam kehidupan perkawinan. Sayangnya, individu seperti ini juga cenderung ogah mawas diri, selain selalu keberatan bila diminta introspeksi ataupun memperbaiki diri. Sebabnya, apalagi kalau bukan lantaran ia menganggap memang tak ada yang salah pada dirinya. Nah, runyam, kan?

Ironisnya, perilaku ngegampangin ini dilakukan secara sadar. Kendati di saat yang bersamaan, ia justru tak menyadari kekurangan yang dimilikinya. Ia menganggap dirinya begitu hebat dan mengharapkan orang lain memberi penilaian yang sama bahwa dirinya memang benar hebat. Makanya, kata Monty pula, dengan bersikap ngegampangin, ia sebetulnya sangat mengharapkan respon berupa pujian dan "tepuk tangan" dari orang lain. "Minimal, ia ingin dianggap dirinya hebat, kreatif dan pandai atau cerdas menyelesaikan masalah serumit apa pun. Kendati tak demikian adanya."

TAGIH TERUS JANJINYA

Menghadapi pasangan model ini, menurut Monty, kita harus mengkonfrontasikannya dengan kenyataan. "Tagih atau tanyakan terus apa yang pernah ia janjikan. Bila perlu minta ia menjelaskan secara detil kapan dan bagaimana ia dapat merealisasikan janjinya itu." Suka atau tidak suka, ia memang harus ditarik keluar dari mimpi-mimpinya itu. Dengan demikian ia sedikit demi sedikit tak lagi hidup dalam fantasi kebesarannya.

Tentu saja ini tak mudah. Bukan tak mungkin malah akan menimbulkan ketegangan-ketegangan baru di antara suami-istri. Soalnya, orang seperti ini tak mau mengakui dirinya bermasalah. Kendati begitu, tegas Monty, kita harus berusaha terus-menerus dengan berbagai cara untuk menyampaikan informasi bahwa kita cukup terganggu dengan kebiasaannya itu. Bahkan untuk kasus-kasus "berat" yang susah ditangani sendiri karena sudah begitu mendarah daging, bantuan dari ahli berupa terapi realitas (reality therapy) jelas sangat diperlukan.

Th. Puspayanti