Para ahli selalu menyarankan agar orangtua memberikan kebebasan bertanggung jawab bagi anak-anak. Saat anak berprestasi, orangtua dianjurkan memberikan penghargaan. Namun Amy Chua "membantahnya" lewat buku Battle Hymn of the Tiger Mother yang ia tulis. Amy yang menyebut dirinya sebagai "ibu China" percaya bahwa hanya orangtua (ibu) yang tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Alhasil, semua keputusan yang menyangkut anak berada di tangannya. Kedua anaknya, yaitu Sophia dan Lulu bisa dibilang tidak mempunyai hak memilih atau hak menolak.
Bukan tanpa alasan pula Amy menerapkan pola asuh ala China. Amy meniru pola asuh orangtuanya yang merupakan imigran China di Amerika Serikat. Buktinya, menurut Amy, anak-anak para imigran China maupun orang China sendiri memang banyak yang sukses. Namun bisakah pola yang sama diterapkan saat ini?
Beda Zaman, Beda Tantangan
Menurut Vera Itabiliana K. Hadiwidjojo, Psi., apa yang dihadapi orangtua Sang Ibu ketika membesarkannya tentu berbeda dengan apa yang dihadapi Sang Ibu dalam membesarkan anaknya sendiri. "Era waktunya juga berbeda dan banyak hal yang berubah. Mulai dari nilai-nilai sosial sampai teknologi sehingga tantangan dalam pengasuhan anak pun berbeda," ujar psikolog yang akrab dipanggil Vera ini. Contohnya menonton televisi, "Dulu mungkin lebih mudah membatasi jam menonton televisi karena pilihan channel TV tidak sebanyak sekarang".
Karenanya, dari sudut pandang Vera, menerapkan cara Amy Chua pada zaman sekarang sangat sulit dibayangkan. "Dengan perbaikan asupan gizi, pemberian stimulasi yang lebih kaya, dan sebagainya, membuat anak-anak sekarang lebih kritis sehingga akan sulit jika orangtua menerapkan cara-cara mirip diktator," jelas Vera. Meski demikian, tak berarti juga orangtua harus permisif atau lemah menghadapi anaknya, "Tetap perlu ada batasan-batasan tegas yang mengarahkan perilaku anak."
Beri Pilihan
Menanggapi prinsip Amy yang menganggap bahwa ibu tahu yang terbaik untuk anak, Vera menanggapinya dengan bijak, "Ibu memang figur yang paling dekat dengan anak dan sudah semestinya paling mengenal anak." Tak heran jika ibu seringkali mengarahkan anak agar mendapatkan yang terbaik.
Amy Chua pun begitu. Si Sulung Sophia diharuskan belajar piano dan biola untuk Si Bungsu Lulu. Mereka berlatih lebih dari enam jam sehari, tak terkecuali saat berlibur ke luar negeri. Amy tak segan meminjam piano di hotel dan menyuruh Lulu berlatih di kamar hotel. Jika ada konser, latihan semakin intens. Tidak ada kehidupan sosial di luar jam sekolah. Bahkan jam olahraga pun "dicuri" agar waktu berlatih bisa lebih lama. Sakit pun tak membuat Sophia dan Lulu cuti sejenak dari latihan.
Padahal kita tahu segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik dan seringkali hasilnya tidak maksimal. "Anak juga membutuhkan waktu untuk bermain dan bersosialisasi serta refreshing," ujar Vera. Apalagi, dalam bermain dan berteman, anak juga belajar banyak hal.
Meski pada akhirnya Sophia dan Lulu memang mencintai alat musiknya dan tampil di konser bergengsi, kemungkinan besar rasa ini timbul karena mereka tidak memiliki pilihan. "Bisa jadi demikian. Sama saja dengan anak yang tidak mempunyai aktivitas lain selain nonton televisi, dia akan menonton televisi terus," kata Vera.
Apalagi anak yang terbiasa dididik cara keras (satu arah/otoriter) memiliki dua kemungkinan. Antara menjadi pemberontak atau menjadi "Yes Man". Terlepas pada kecintaan akan alat musiknya masing-masing, Si Bungsu Lulu memang menjadi pemberontak sementara Sophia menjadi amat sangat penurut. Setelah sekian lama melakukan "pemberontakan kecil" Lulu berani menolak berlatih biola dan malah beralih ke tenis.