Dengan kata lain, "mengaku-aku" ini adalah wujud dari ego anak. Di usia prasekolah, ego anak mulai berkembang. Dia sebetulnya ingin belajar lebih mandiri. Dia ingin dipandang sudah mampu, tapi di sisi lain dia sadar bahwa dia masih banyak kelemahan. Tak heran anak usia ini sering mengatakan, "Aku, kan, sudah besar, jadi bisa melakukan ini," misal. Akan tetapi, pada hal lain ia mengatakan, "Aku enggak bisa. Nggak apa-apa, kok. Aku, kan, masih kecil," misal.
Jadi, anak ingin tampil dan diakui oleh lingkungan, tapi dia belum bisa membuat dirinya eksis, hingga berkatalah ia, "Bunda, aku, kan, berteman baik dengan si Niken. Dia orangnya pintar dan baik, lo!" Dengan cara ini ia merasa dirinya ikut menjadi eksis.
Karena itulah, bila kita menangkap bahwa anak sebenarnya sekadar "mengaku-aku", kita harus tanggap, hal ini pertanda si kecil ingin diakui oleh orang tuanya. "Bila pengakuan ini didapatkan dari orang tua, maka kepercayaan dirinya akan berkembang. Sebaliknya, anak tak akan berkembang kepercayaan dirinya kalau dia tak pernah diakui oleh orang tuanya."
TAK BERANI EKSPRESIKAN DIRI
Perilaku "mengaku-aku" ini pun pertanda anak termasuk dalam kategori yang tak berani mengekspresikan keinginannya secara terbuka atau terus terang. Padahal, di usia prasekolah harusnya anak sudah mampu mengekspresikan diri atau mengungkapkan pendapat dan keinginannya. "Akan tetapi tak setiap anak itu sama. Kita harus lihat kembali pada anak itu sendiri. Kan, ada anak yang terbiasa langsung mengekspresikan diri jika dia menginginkan sesuatu dan ada juga yang tidak."
Semua itu, papar Lita, tergantung pola asuh yang diberikan pada anak sejak kecil. "Jika anak sejak kecil dibiasakan dan selalu diberikan kesempatan untuk mengungkapkan apa yang dia inginkan ataupun perasaannya, kemungkinan dia menjadi anak yang pemberani dan mau mengungkapkan perasaannya secara terbuka lebih besar."
Tapi kalau dari kecil dia selalu dihambat mengekspresikan diri, pendapatnya tak pernah diakui atau dihargai alias dilecehkan, bisa jadi banyak keinginan anak yang terpendam dan tak terekspresikan keluar. Sehingga dia menggunakan cara lain untuk mengekspresikan dirinya, salah satunya dengan sikap atau perilaku "mengaku-aku" tadi.
AJAK DIALOG
Tentunya, kita tak boleh membiarkan si kecil terus-menerus berperilaku seperti itu, apa pun alasannya. Pasalnya, ini akan berkembang menjadi sesuatu yang enggak baik. "Anak akan menganggap sesuatu yang tak ada menjadi ada alias anak tak bisa membedakan mana khayalan dan mana kenyataan. Anak akan terus menganggap apa yang dia khayalkan itu adalah kenyataan."
Dampaknya akan dirasakan anak saat interaksinya sudah lebih luas. Hal ini akan menjadi sumber permasalahan dalam pergaulannya. "Anak bisa dilabel si tukang bohong." Kalau sudah begitu, pergaulan anak jadi tak sehat. Bahkan mungkin juga anak akan dikucilkan oleh lingkungan.
Saran Lita, sejak awal kita harus mengecek ulang kebenaran cerita anak dengan datang ke sekolah. Setelah itu, ajak dialog, misal, "Kemarin Kakak bilang kenal baik dengan si Niken, tapi, kok, sepertinya tidak?" Kemungkinan anak akan mengaku, "Kan, aku ingin seperti dia, Ma." Dengan demikian, kita pun tahu, "O, anakku itu ingin diperhatikan oleh teman, guru, dan saya sebagai orang tuanya."
Kita pun jadi tahu kalau anak kita itu ternyata biasa-biasa saja alias tak ada yang menonjol pada dirinya. "Orang itu, kan, paling mudah menghapal atau mengenali seseorang karena ada sesuatu yang menonjol, entah karena kecantikannya, ketampanannya, kelucuannya, kebaikannya, ataupun kenakalannya. Nah, kalau anak kita tak masuk dalam kelompok tersebut, sudah pasti dia kurang dikenal oleh lingkungannya."
Tentu kita pun harus segera meluruskan cerita anak yang tak sesuai dengan kenyataannya itu. Caranya, informasikan langsung pada anak secara perlahan atau kita buka mata si anak supaya bisa melihat kenyataan yang ada. "Katanya, kamu kenal baik dengan Niken. Kok, sekarang Bunda lihat enggak mengobrol atau main bareng," misal. Bisa juga dengan cara kita tanya lebih mendetail mengenai si teman: di mana rumahnya, apa saja hobinya, punya adik atau tidak, dan sebagainya. Dengan demikian, anak disadarkan bahwa kenyataannya dia tak berteman dengan si teman tersebut.
HARUS JELI DAN TANGGAP
Jadi, "Jangan malah kita langsung memvonis anak berbohong." Bagaimanapun, mungkin saja ini adalah bentuk dari harapan anak yang menginginkan sesuatu tapi dia tak mampu untuk mewujudkannya sendiri. "Kalau begitu, kan, semestinya kitalah yang harus memberikan dorongan serta jalan pada anak supaya bisa mewujudkan harapannya itu."
Kalau kita malah berbuat sebaliknya, tak tanggap pada pesan yang disampaikan anak dan malah mengatakan, "Ah, kamu, sih, cuma mengada-ada," atau "Ah, itu, kan, hanya perasaan kamu saja," maka anak akan merasa bahwa apa-apa yang dia katakan tak akan dipercaya oleh orang lain. Padahal, kepercayaan adalah dasar untuk komunikasi. Yang jelas, Bu-Pak, kita harus jeli dan tanggap terhadap sinyal-sinyal yang diberikan anak dalam bentuk perilaku yang dia tunjukkan.
Gazali