Ngaku Punya Teman Dekat Ternyata Malah Tak Kenal

By nova.id, Jumat, 20 Januari 2012 | 22:52 WIB
Ngaku Punya Teman Dekat Ternyata Malah Tak Kenal (nova.id)

Jangan buru-buru menuduhnya berbohong karena ia memang tak bermaksud begitu. Ia cuma ingin diakui oleh lingkungannya.

Bapak-Ibu, bila si Upik atau si Buyung bercerita bahwa dia punya teman dekat di "sekolah"nya, misal, "Bunda, di 'sekolah' aku punya teman. Baiiik sekali, deh, sama aku. Malah, dia hanya mau main dengan aku saja. Ke mana juga aku pergi, pasti dia ikut terus.", sebaiknya jangan senang dulu. Jangan pula langsung ambil kesimpulan bahwa anak kita pandai bersosialisasi dan punya teman akrab.

Pasalnya, bisa jadi ceritanya itu hanya khayalannya semata. Maksudnya, ketika kita datang ke "sekolah" si kecil, ternyata kita tak melihat kedekatan seperti yang dipaparkan si kecil. Bahkan, tanda-tanda kedekatan antara dirinya dan si teman pun tak tampak sekali, "Lah, katanya dekat, tapi, kok, sepertinya anakku dan si Niken enggak kenal-kenal amat. Cuma hapal muka saja." Hingga, kita pun jadi bertanya-tanya sendiri, "Ada apa dengan anakku? Kenapa dia seperti itu?"

DORONGAN DAYA IMAJINASI

Perlu diketahui, di usia prasekolah, anak belum sampai pada taraf mencari sahabat atau teman dekat, sekalipun memang sedang dalam masanya mencari teman. Sebab, papar Zamralita, M.M., Psi., di usia prasekolah, anak belum tahu arti persahabatan dan bersahabat itu seperti apa. "Yang dia tahu, hanya teman yang sering main dengannya." Ia pun lagi senang-senangnya menceritakan mengenai teman-temannya itu." Misal, "Bunda, tadi teman-temanku pulang "sekolah" main ke rumah, kami main rumah-rumahan dan masak-masakan. Seru, deh."

Dengan demikian, bila anak sampai bercerita bahwa dia punya teman dekat padahal kenyataannya tak demikian, jelas Pudek II Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta, yang akrab disapa Lita ini, bisa jadi karena dorongan daya imajinasi anak yang sedang berkembang. "Bisa saja itu ekspresi anak tentang keinginannya untuk berteman dengan seseorang yang dia sebutkan atau diakui. Sekalipun pada kenyataannya anak yang dia akui sebagai teman dekat itu, kenal juga tidak pada anak kita." Boleh dibilang, ucapan anak yang mengaku punya teman dekat itu, cuma bentukan anak dalam imajinasinya.

TAK BERANI KENALAN

Biasanya, anak yang diakui sebagai teman dekat adalah anak-anak yang populer di kelas atau "sekolah"nya. Bukankah walau di TK atau preschool, pasti ada juga anak-anak yang populer di antara teman-temannya? Entah karena si anak cantik, baik, atau lainnya. Yang pasti, anak itu disukai oleh banyak teman maupun gurunya.

"Nah, anak kita yang tergolong biasa-biasa saja ingin berteman dengan si anak yang populer itu." Namun, karena si kecil mungkin tak terlalu kenal dengan si anak populer itu atau dia tak berani untuk kenalan, akhirnya dia memilih si anak populer itu menjadi teman dekatnya hanya di dalam imajinasinya.

Alhasil, ia pun "berbohong" kepada kita tentang "pertemanan" mereka sesuai apa yang dia inginkan atau dia bentuk dalam imajinasinya. Tapi, "berbohong"nya itu bukan bertujuan jelek, lo. Karena anak usia ini masih sangat murni dan belum mengenal makna berbohong sesungguhnya.

Anak "berbohong" seperti itu sebagai wujud kebutuhan atau keinginannya, yaitu ingin bisa bersosialisasi dan diakui oleh lingkungan sekolahnya. "Bisa saja dia ingin populer, ingin punya teman banyak, disayang guru." Pokoknya, anak berbuat seperti itu karena mempunyai harapan yang dipendam dan ingin diwujudkannya. Hanya saja dia tak berani dan tak bisa melakukannya.

INGIN DIAKUI LINGKUNGAN

Dengan kata lain, "mengaku-aku" ini adalah wujud dari ego anak. Di usia prasekolah, ego anak mulai berkembang. Dia sebetulnya ingin belajar lebih mandiri. Dia ingin dipandang sudah mampu, tapi di sisi lain dia sadar bahwa dia masih banyak kelemahan. Tak heran anak usia ini sering mengatakan, "Aku, kan, sudah besar, jadi bisa melakukan ini," misal. Akan tetapi, pada hal lain ia mengatakan, "Aku enggak bisa. Nggak apa-apa, kok. Aku, kan, masih kecil," misal.

Jadi, anak ingin tampil dan diakui oleh lingkungan, tapi dia belum bisa membuat dirinya eksis, hingga berkatalah ia, "Bunda, aku, kan, berteman baik dengan si Niken. Dia orangnya pintar dan baik, lo!" Dengan cara ini ia merasa dirinya ikut menjadi eksis.

Karena itulah, bila kita menangkap bahwa anak sebenarnya sekadar "mengaku-aku", kita harus tanggap, hal ini pertanda si kecil ingin diakui oleh orang tuanya. "Bila pengakuan ini didapatkan dari orang tua, maka kepercayaan dirinya akan berkembang. Sebaliknya, anak tak akan berkembang kepercayaan dirinya kalau dia tak pernah diakui oleh orang tuanya."

TAK BERANI EKSPRESIKAN DIRI

Perilaku "mengaku-aku" ini pun pertanda anak termasuk dalam kategori yang tak berani mengekspresikan keinginannya secara terbuka atau terus terang. Padahal, di usia prasekolah harusnya anak sudah mampu mengekspresikan diri atau mengungkapkan pendapat dan keinginannya. "Akan tetapi tak setiap anak itu sama. Kita harus lihat kembali pada anak itu sendiri. Kan, ada anak yang terbiasa langsung mengekspresikan diri jika dia menginginkan sesuatu dan ada juga yang tidak."

Semua itu, papar Lita, tergantung pola asuh yang diberikan pada anak sejak kecil. "Jika anak sejak kecil dibiasakan dan selalu diberikan kesempatan untuk mengungkapkan apa yang dia inginkan ataupun perasaannya, kemungkinan dia menjadi anak yang pemberani dan mau mengungkapkan perasaannya secara terbuka lebih besar."

Tapi kalau dari kecil dia selalu dihambat mengekspresikan diri, pendapatnya tak pernah diakui atau dihargai alias dilecehkan, bisa jadi banyak keinginan anak yang terpendam dan tak terekspresikan keluar. Sehingga dia menggunakan cara lain untuk mengekspresikan dirinya, salah satunya dengan sikap atau perilaku "mengaku-aku" tadi.

AJAK DIALOG

Tentunya, kita tak boleh membiarkan si kecil terus-menerus berperilaku seperti itu, apa pun alasannya. Pasalnya, ini akan berkembang menjadi sesuatu yang enggak baik. "Anak akan menganggap sesuatu yang tak ada menjadi ada alias anak tak bisa membedakan mana khayalan dan mana kenyataan. Anak akan terus menganggap apa yang dia khayalkan itu adalah kenyataan."

Dampaknya akan dirasakan anak saat interaksinya sudah lebih luas. Hal ini akan menjadi sumber permasalahan dalam pergaulannya. "Anak bisa dilabel si tukang bohong." Kalau sudah begitu, pergaulan anak jadi tak sehat. Bahkan mungkin juga anak akan dikucilkan oleh lingkungan.

Saran Lita, sejak awal kita harus mengecek ulang kebenaran cerita anak dengan datang ke sekolah. Setelah itu, ajak dialog, misal, "Kemarin Kakak bilang kenal baik dengan si Niken, tapi, kok, sepertinya tidak?" Kemungkinan anak akan mengaku, "Kan, aku ingin seperti dia, Ma." Dengan demikian, kita pun tahu, "O, anakku itu ingin diperhatikan oleh teman, guru, dan saya sebagai orang tuanya."

Kita pun jadi tahu kalau anak kita itu ternyata biasa-biasa saja alias tak ada yang menonjol pada dirinya. "Orang itu, kan, paling mudah menghapal atau mengenali seseorang karena ada sesuatu yang menonjol, entah karena kecantikannya, ketampanannya, kelucuannya, kebaikannya, ataupun kenakalannya. Nah, kalau anak kita tak masuk dalam kelompok tersebut, sudah pasti dia kurang dikenal oleh lingkungannya."

Tentu kita pun harus segera meluruskan cerita anak yang tak sesuai dengan kenyataannya itu. Caranya, informasikan langsung pada anak secara perlahan atau kita buka mata si anak supaya bisa melihat kenyataan yang ada. "Katanya, kamu kenal baik dengan Niken. Kok, sekarang Bunda lihat enggak mengobrol atau main bareng," misal. Bisa juga dengan cara kita tanya lebih mendetail mengenai si teman: di mana rumahnya, apa saja hobinya, punya adik atau tidak, dan sebagainya. Dengan demikian, anak disadarkan bahwa kenyataannya dia tak berteman dengan si teman tersebut.

HARUS JELI DAN TANGGAP

Jadi, "Jangan malah kita langsung memvonis anak berbohong." Bagaimanapun, mungkin saja ini adalah bentuk dari harapan anak yang menginginkan sesuatu tapi dia tak mampu untuk mewujudkannya sendiri. "Kalau begitu, kan, semestinya kitalah yang harus memberikan dorongan serta jalan pada anak supaya bisa mewujudkan harapannya itu."

Kalau kita malah berbuat sebaliknya, tak tanggap pada pesan yang disampaikan anak dan malah mengatakan, "Ah, kamu, sih, cuma mengada-ada," atau "Ah, itu, kan, hanya perasaan kamu saja," maka anak akan merasa bahwa apa-apa yang dia katakan tak akan dipercaya oleh orang lain. Padahal, kepercayaan adalah dasar untuk komunikasi. Yang jelas, Bu-Pak, kita harus jeli dan tanggap terhadap sinyal-sinyal yang diberikan anak dalam bentuk perilaku yang dia tunjukkan.

Gazali