TIDAK ADA UKURAN STANDARD Selain sifat obat yang jadi bahan pertimbangan, alasan lain dokter untuk tidak lagi menggunakan resep racikan puyer adalah karena kadar per kemasan yang tak bisa dipertanggung jawabkan alias tak ada ukuran standarnya.
Idealnya, setiap membagi obat racikan digunakan timbangan khusus obat. Sehingga, didapat takaran yang tepat, sesuai kebutuhan. Tetapi, rata-rata resep racikan yang diawali dengan penggerusan obat pada mangkuk itu, dibagi berdasarkan insting dan kejelian mata sang peracik obat saja.
Misalnya, setelah seluruh obat tergerus, biasanya racikan itu harus dibagi menjadi sepuluh kemasan kertas puyer. Maka, peracik obat akan membaginya menjadi dua bagian lebih dulu, lalu dibagi lagi menjadi lima bagian. Idealnya, obat perlu ditimbang masing-masing sehingga tiap kemasan memiliki berat dan kandungan yang sama.
KEMURNIAN & HIGIEN TAK TERJAMIN Pada produksi obat di perusahaan farmasi, proses produksi harus melalui standard farmasi yang ketat. Sehingga, mulai dari takaran bahan aktif sampai kemasannya pun terjamin, baik dari faktor kontaminasi bahan lain maupun kuman.
Sementara, obat racikan atau puyer tentunya tak bisa mematuhi prosedur yang ketat tadi. Bayangkan bila peracik obat harus menghasilkan racikan untuk pasien rumah sakit yang membludak. Misalnya, di peralihan musim kemarau ke musim hujan, dimana banyak penyakit yang diderita anak-anak seperti diare dan flu.
Tentunya, proses sterilisasi alat yang dipakai untuk meracik obat tak bisa dilakukan. Jangankan membersihkannya dengan alkohol, atau mencucinya dengan sabun terlebih dulu. Yang ada, jika pasien sudah mengantre, mangkuk peracik obat bisa-bisa cuma dilap saja. Sehingga, kemungkinan masih tersisa partikel obat racikan sebelumnya, saat harus meracik obat selanjutnya.