Pasangan Seprofesi: Saling Dukung Atau Bersaing

By nova.id, Selasa, 10 Januari 2012 | 23:18 WIB
Pasangan Seprofesi Saling Dukung Atau Bersaing (nova.id)

Persaingan profesi tak perlu mengkristal menjadi persaingan pribadi. Justru jika bersinergi, karier keduanya bisa berkibar.

Akhir-akhir ini, Anggi dan Iwan, sebut saja begitu kerap bertengkar. Sebabnya, tidak lain karena persaingan usaha di antara mereka. Mereka memang berprofesi sama, sebagai penata rambut yang cukup mapan. Mereka sama-sama memiliki salon yang lokasinya tak begitu berjauhan.

Awalnya kondisi usaha mereka sama. Tapi dari hari ke hari, usaha salon Anggie melesat bak meteor, sementara usaha sang suami makin lama makin sempoyongan karena ditinggalkan para pelanggan yang lari ke salon sang istri. Awalnya, Iwan tak mempedulikan, tapi lambat laun kecemburuannya tak tertahan lagi. Ia menyalahkan sang istri yang telah merebut para pelanggannya. Sebaliknya, sang istri justru meledek cara kerja salon suaminya yang ketinggalan zaman.

Fenomena tersebut, seperti diterangkan Anna Surti Ariani, Psi, yang akrab dipanggil Nina, memang kerap terjadi pada pasangan suami istri berprofesi sama. Sebabnya, tidak lain karena masing-masing pasangan memiliki ego tinggi yang sukar dikendalikan. Masing-masing ingin berperan dominan dalam keluarga. Dia merasa dirinyalah yang terbaik, paling handal, dan paling berharga.

Jadi, ungkap psikolog dari Jagadnita Consulting ini, sebenarnya konflik ini terjadi karena ada perasaan "ingin menang" atau "tak mau kalah". Mereka menganggap pasangannya lawan yang harus ditaklukkan.

Hal ini umumnya menimpa kaum laki-laki, karena sebagian besar laki-laki di hampir seluruh masyarakat dunia merasa posisinya lebih tinggi ketimbang perempuan, baik dari segi status, penghasilan, maupun jabatan. Padahal, dalam kehidupan nyata, tidak selamanya kaum lelaki berada di atas. Di kota-kota besar, banyak kaum perempuan lebih maju, baik karier maupun penghasilan. Kondisi ini mau tidak mau menjadikan kaum laki-laki merasa terpinggirkan, terlebih jika usaha atau bidang yang digeluti mereka sama.

Namun, kegamangan itu tak mutlak selalu terjadi pada lelaki. Bisa saja giliran sang istri yang mencemburui suami. Bagaimanapun, istri juga perlu aktualisasi. Istri tidak mau dianggap derajatnya lebih rendah, karena misalnya sama-sama menyandang titel sarjana.

Jika ini terjadi, Nina menyarankan, sebaiknya pasangan melakukan kompromi dan komunikasi. Carilah jalan terbaik untuk mengatasinya. Yang jelas, keputusan harus berlandaskan win-win solution atau sama-sama menang dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Tanyakan pada pasangan apa yang membuatnya jadi sewot dan gampang marah. "Jelaskan pula, Anda bukanlah ancaman baginya. Anda dan pasangan bagai satu tubuh. Bukankah kesuksesan Anda juga akan dinikmati pasangan?"

Namun Nina mengingatkan, jangan sampai ada pasangan yang merasa dirugikan, seperti berhenti berkarier atau menghentikan usaha karena merasa tidak enak. Kalaupun terpaksa berhenti, bukan berarti kalah, tapi hanya beralih ke usaha/profesi yang lebih prospektif. "Misalnya, meski awal keduanya berprofesi sebagai penyanyi, tapi lambat laun karena istri lebih maju, sementara sang suami tak berkembang, ia bisa banting stir membuka studio rekaman. Dengan demikian, dua-duanya bisa sukses di bidang masing-masing. Tidak ada yang dirugikan, meski salah satu mesti beralih profesi."

JALIN SINERGI

Jadi, dengan profesi yang sama, mereka sebenarnya bisa menjalankan usaha bersama. Bahkan bisa mengembangkan usahanya masing-masing dengan melakukan sinergi atau saling mendukung dan menguatkan. Jika ada kekurangan pada salah satunya, maka si pasangan harus melengkapinya.

Sinergi bisa ditempuh lewat berbagai cara. Salah satunya, lewat penyampaian informasi terbaru yang bermanfaat bagi kelangsungan usaha pasangan. Pada pasangan yang berprofesi sebagai penata rambut, misalnya, jika si istri punya informasi tentang model rambut terbaru, segera bagikan informasi itu.