Menurut Kasandra A. Putranto, secara psikologis terdapat perbedaan yang cukup besar antara fenomena perselingkuhan antara dunia Barat dan dunia Timur. Di Barat, ketika individu mengejar kebahagiaan diri dengan berselingkuh, berarti ia sudah merenggut kebahagiaan istri, tak lagi menghargai istri dan berbuat semena-mena. "Hukum di sana (barat, Red.) sudah siap untuk berimbang dan menghargai hak masing-masing, suami dan istri. Bahkan cenderung membebani pihak suami dengan kewajiban-kewajiban pertanggungan yang cukup berat. Perselingkuhan dan perceraian nilainya sangat mahal di Barat ," ujar Kasandra.
Lain lagi dengan fenomena di Timur yang masih menganut paham patrialistik. Dunia Timur belum memiliki sistem hukum yang berpihak kepada perempuan, kondisi ekonomi yang belum sejahtera, nilai-nilai sosial budaya yang khas membuat kondisi masyarakat mudah menganggap berselingkuh itu sebagai hal yang biasa. "Enggak apa-apa, yang penting bapaknya (Si Suami, Red.) masih pulang (menafkahi, Red.) ke rumah."
Tidak Bisa Ditoleransi
Sebagian orang memang masih beranggapan selama belum berhubungan badan, perselingkuhan belum terjadi. "Perselingkuhan itu, kan, ada di dalam diri. Mulai dari masalah pikiran sampai ke hati," ucapnya. Mungkin awalnya hanya berkirim pesan singkat, tapi tak ada yang bisa menjamin hubungannya tak akan berlanjut ke tahap lain seperti berhubungan badan. "Apapun itu, namanya tetap selingkuh."
Masalahnya adalah seberapa serius dia menjalankannya. Misalnya, sesampainya di rumah, pesan pendek yang dikirim dari pagi hingga malam langsung dihapus. Tujuannya supaya tidak ketahuan istri. "Itu, kan, tandanya hatinya sudah bercabang," ucapnya. Artinya, kita tidak bisa menentukan standar normal perselingkuhan dan memberlakukannya pada semua orang. Standar seharusnya disesuaikan dengan standar pemikiran pasangan. Misalnya, tidak menjadi masalah kalau istri tidak keberatan suami senang cipika-cipiki. Jika sebaliknya, suami harus menggunakan standar istri.
Banyak Pertimbangan
Anak menjadi alasan pertama mengapa perempuan Indonesia ragu berpisah padahal suaminya sudah berselingkuh. Apalagi penelitian membuktikan, kebanyakan anak-anak yang berasal dari keluarga yang terpecah tidak bisa menerima perceraian orangtuanya. Meski tampak baik-baik saja, tanpa disadari, mereka sebenarnya tidak mampu menahan tekanan yang muncul.
Meski Kasandra menolak menyeragamkan anak korban perselingkuhan dan perceraian, namun anak-anak korban perselingkuhan dan perceraian memiliki potensi risiko yang lebih besar untuk tumbuh tidak sehat.
Masalah ini pun ternyata bisa "sampai" ke masalah hati dan mengganggu jiwa. "Mereka sering bermasalah dengan suami karena ayah atau ibunya dulu berselingkuh. Tidak percaya diri, sensitif, tegang, tidak percaya pada pasangannya, terganggu cara berpikirnya, punya pandangan skeptis terhadap perkawinan," ucapnya. Oleh karena itu, ibu harus berhati-hati ketika berbicara soal ayah dengan anaknya. Terutama soal perselingkuhan ayahnya, agar anak juga mau menerima ayahnya kembali.
Kedua, masalah finansial. Meski wanita bekerja lebih siap berceraitapi tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi membuat mereka membatalkan niat berpisah. Ketiga, masalah usia. Apalagi jika Sang Istri sudah tak muda. Keempat, masalah sosial, sebab tidak semua wanita siap menyandang predikat janda.
Datangi Psikolog