Setelah berhasil, jadi "lupa daratan". Suami maupun istri, bisa kena "virus" ini. Padahal, dampaknya bisa buruk pada anak.
Setiap orang, kata Prof. DR. Dr. Singgih Gunarsa, pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk jadi lupa diri setelah mencapai kemapanan. Artinya, keberhasilan seseorang mencapai tingkat kemapanan tertentu yang ditandai dengan perbaikan kondisi finansialnya, sedikit banyak akan ikut menentukan corak kepribadiannya. Orang yang semula terkenal hangat dan ramah, contohnya, bukan tidak mungkin kemudian terkesan dingin bahkan sombong. Atau, yang dulu dikenal sebagai pekerja keras dan mengutamakan penghematan, kini justru lebih sering menghambur-hamburkan uang.
Bagaimana dan seberapa jauh "kadar" lupa diri setiap orang, terang guru besar Emeritus di Fakultas Psikologi UI ini, terpulang pada kepribadian individu yang bersangkutan. Dalam arti, akan sangat diwarnai oleh tujuan hidup dan nilai-nilai kepuasan dirinya. Termasuk, bagaimana si individu telah menjalani proses tumbuh kembangnya dan bagaimana pula ia berkarya.
Semua itu, lanjut Singgih, akan menentukan ambisi pribadi yang bersangkutan. Apakah ia cepat puas atau sebaliknya, tak pernah puas meskipun yang diinginkannya sudah tercapai.
TIMBUL GODAAN
Biasanya, jelas Singgih, bila hasil kerja atau prestasi-prestasi relatif sulit didapat, individu yang bersangkutan akan terdorong untuk terus dan terus mencari tingkat kemapanan yang lebih tinggi lagi. Seseorang yang ditempa dalam suasana keras selama proses tubuh kembang, contohnya, bisa dipastikan akan berusaha sekuat tenaga berkarya dengan integritas tinggi.
Karena dengan cara itulah ia memperoleh kepuasan. Tak heran kalau mereka yang terbiasa bekerja keras dan hidup susah, maka keberhasilan yang dicapai akan memberi dorongan baru untuk hasil yang lebih baik. Nah, pada mereka ini, lanjut Ketua Yayasan Tarumanagara, "Tak tertutup kemungkinan 'tergoda' untuk jadi lupa diri setelah mapan."
Itu sebabnya, lanjut Singgih, ungkapan "saya berhasil" menjadi semacam virus yang perlu diwaspadai. Bahkan bisa membahayakan bila ia tak lagi bisa mengerem keinginannya untuk memperoleh buah karya dalam bentuk materi yang lebih dan lebih lagi.
Demikian pula, mereka yang serba mudah memperoleh segala sesuatu, bisa juga jadi lupa diri. Sebab, boleh dibilang mereka hampir tak pernah berjuang dalam arti sebenarnya. Contohnya adalah anak yang dibiasakan manja dan memperoleh segalanya secara mudah. Dalam dirinya akan sulit terbentuk dorongan untuk berprestasi maksimal.
TAK KENAL GENDER
Hanya saja, tandas Singgih, mudah-tidaknya seseorang jadi lupa diri, lagi-lagi terpulang pada ciri kepribadiannya. Kalau ciri kepribadiannya bisa mencapai tingkatan yang mampu menampilkan gambaran kepribadian yang matang dengan integritas yang stabil, maka kemapanan yang diperoleh dengan susah payah tadi tak akan jadi masalah. Lain hal bila kepribadiannya memang cenderung labil dan tak matang. Jika kepribadian semacam itu yang mendominasi, besar kemungkinan si individu tidak akan pernah puas, cenderung ambisius yang membuatnya lupa diri dengan menghalalkan segala cara. Bahkan terkesan menunjukkan sikap balas dendam terhadap kemiskinan/kesusahan yang pernah dialaminya.
Bentuk lupa diri itu sendiri, terang Singgih, bisa saja muncul dalam bentuk foya-foya atau mencari-cari kesenangan dengan orang lain di luar pasangan/keluarga. Dapat pula dalam bentuk budaya pamer kekuasaan maupun pengaruh. Akan tetapi, lanjut Singgih pula, "Apa pun bentuknya, semata-mata bukanlah gender yang membedakan. Melainkan karakter tiap individu itu sendiri. Artinya, bisa saja wanita memunculkan bentuk lupa diri dengan berfoya-foya dan pamer ini-itu untuk menunjukkan power-nya. Sebaliknya, tidak tertutup kemungkinan pula pria lupa diri mengutamakan hal-hal yang bersifat artifisial. Semisal mengutamakan barang-barang bermerek yang dulu tidak terbeli olehnya. Tapi lagi-lagi ini individual, lo, sifatnya."