Istri, ujar Sukiat, seharusnya malah tersanjung oleh permintaan tersebut. Sementara suami pun tentu ingin menikmati kebersamaan dengan istrinya dalam kondisi prima. Soalnya, kapan lagi, sih, suami melihat istri tampil istimewa begitu? Terlebih bila ke kantor pun tak pernah bersepatu tinggi atau gaun pesta nan seksi pun belum tentu digunakan sebulan sekali.
EKSPRESI KASIH SAYANG
Pendek kata, lanjut Sukiat, nikmati hubungan suami istri sebagai sarana untuk memperintim hubungan. Apalagi salah satu tujuan aktivitas berintim-intim memang untuk meningkatkan kedekatan emosi di antara suami-istri. Tepatnya, lanjut Sukiat, sarana untuk saling mengekspresikan kasih sayang.
Dengan begitu, seorang istri yang ingin mengekspresikan kasih sayang pada suaminya tentu bersedia berintim-intim, apa pun kondisi sang suami. Hingga kalaupun pasangannya tergolong "kuat", ia akan berusaha mengimbanginya dan bukan malah merasa terpaksa, apalagi tersiksa.
Toh, imbuh Sukiat, wanita pun umumnya sudah merasakan kepuasan jika mampu memberi kepuasan pada pasangannya. Karena yang namanya cinta pada dasarnya lebih mengutamakan kesenangan/kepuasan pasangan. Sebaliknya, kalau memang hanya memikirkan diri sendiri, yang bersangkutan tentu memiliki segudang alasan untuk menolak pasangannya. Entah timing-nya yang tidak tepat, sedang tidak in the mood dan sebagainya. Semisal, "Jangan sekarang, deh, Mas, aku lagi capek, nih." Atau, "Besok sajalah, Papa lagi enggak pingin."
Kalau kalimat-kalimat semacam itu kerap muncul dalam ikatan perkawinan, tutur Sukiat, amat mudah ditebak bagaimana tingkat keakraban yang mewarnai hubungan mereka. Fungsi lain dari hubungan suami-istri adalah rekreasi. "Jadi, kenapa aktivitas berintim-intim ini tak dinikmati sebagai kesenangan bersama pasangan?" Apalagi fungsi berikut yang tak kalah penting adalah relaksasi dan prokreasi untuk memperoleh keturunan.
Selain itu, pesan Sukiat, penolakan, apa pun dalihnya, merupakan sesuatu yang amat menyakitkan buat individu yang ditolak. Padahal, hubungan intim seharusnya menciptakan hubungan yang paling intim dan sangat pribadi di antara suami-istri. Hingga, kalau salah satu menolak bukan tidak mungkin hubungan di antara mereka jadi tak intim. Karena penolakan tak lain merupakan manifestasi dari menipisnya kadar cinta. Bukankah bila tengah bermasalah, maka yang ada adalah kecenderungan untuk menolak?
Itu sebab, sekali ditolak apalagi dengan frekuensi cukup sering, rasa kesal/benci di antara mereka pasti kian bertumpuk, yang membuat mereka semakin terasing satu sama lain. Hingga ketika di luaran ada perempuan/laki-laki lain yang tidak menolak ajakannya atau malah mengajak, keutuhan perkawinan mereka pun semakin terancam.
JANGAN TERPAKSA
Karena itu,menurut Sukiat, "Hubungan intim suami-istri tak bisa dijadwalkan. Kalau harus pakai jadwal berarti bukan hubungan intim lagi, dong. Melainkan hubungan formal semisal harus berangkat kerja atau masuk sekolah jam sekian." Idealnya, hubungan intim bersifat spontan. Semisal dari bercanda lantas berlanjut jadi hubungan intim Jangan sampai salah satu merasa terpaksa, hingga hubungan hanya memberi kenikmatan pada salah satu pihak saja. Padahal, seharusnya dinikmati bersama.
Dengan begitu perlu ada keterbukaan. Jangan sampai istri yang terbiasa bersikap pasif dan tak pernah meminta lantas ditanggapi suami sebagai bentuk ke-cuek-an yang membuatnya merasa tak diperlukan. Sayangnya, kebanyakan para istri tak mau bersikap terbuka, hingga sang suami harus pandai-pandai mengorek isi hati istrinya. Meski yang ideal adalah membicarakan bersama, tentang apa keinginan masing-masing. Harus ada semacam kesepakatan tidak tertulis. Ada suami yang saat letih justru sangat menginginkan kenikmatan bersama istrinya. Bila kondisi keduanya tak siap tempur, mengapa tidak disepakati untuk tidur lebih dulu, misalnya, hingga saat terbangun keduanya sudah siap lahir-batin. Apalagi para pria pun dalam keadaan bangun tidur umumnya tengah ereksi, hingga tak perlu buang waktu berlama-lama. "Hal-hal semacam itu, kan, bisa diomongkan. Bila tidak dibicarakan, dikhawatirkan akan menjadi beban atau semacam keterpaksaan."
Memang, tegas Sukiat, seksualitas bukan merupakan sesuatu yang paling menentukan kebahagiaan perkawinan. Akan tetapi kebahagiaan perkawinan ditentukan juga oleh keharmonisan hubungan seksual di antara suami istri itu sendiri.
Th. Puspayanti.