Begitu sampai di rumah kerabat orangtuanya, Janis yang masih balita langsung melakukan "eksplorasi" ke setiap penjuru rumah. Lain halnya dengan Malik, yang memilih ngumpet di balik tubuh ibunya setiap kali bertamu ke rumah orang.
Menurut Jovita Maria Ferliana, MPsi., psikolog dari RS Royal Taruma, Jakarta, ada dua faktor yang menyebabkan anak-anak, khususnya anak-anak di bawah lima tahun, mudah menyesuaikan diri dengan suasana baru. Yang pertama faktor nature (bawaan), yang menyangkut karakter atau sifat yang dimiliki oleh seorang anak sejak lahir. Jadi, ada faktor keturunan dari ayah, ibu atau perpaduan keduanya. "Faktor nature ini akan lebih dominan pada saat usia anak masih dini," jelasnya.
Karakter seorang anak biasanya mengalami proses pembentukan sejak usia 0-7 tahun. Di usia ini, karakter anak masih bisa berubah atau diubah. Misalnya, pada anak yang secara nature pemalu. "Kalau orangtua mau melatihnya dengan baik sebelum usia 7 tahun, sifat pemalu anak masih bisa berubah menjadi lebih berani," jelas Jovita. Di usia 8 tahun, barulah akan terlihat sifat dan karakter anak seperti apa.
Lebih Nyaman
Faktor kedua adalah faktor nurture (lingkungan). Di dalamnya, terdapat pola asuh, pembentukan perilaku, proses pembelajaran, pembiasaan, penguatan, dan sebagainya. Pada faktor pola asuh, anak yang dibesarkan secara demokratis, orangtua banyak mendengarkan keinginan anak, mengajak anak berdiskusi, mengajarkan dengan cara trial-error, biasanya menghasilkan anak-anak yang lebih percaya diri. Anak cepat akrab juga berkaitan dengan kemampuan mendominasi lingkungan, bagus di sisi kepemimpinan, cepat bisa melobi, dan andal bernegosiasi. Anak-anak inilah yang biasanya akan lebih gampang akrab dengan lingkungan dan orang baru. "Ia menganggap lingkungan di sekitarnya adalah tempat yang aman dan bersahabat, karena selama ini ia mendapat penguatan positif dari keluarganya," kata Jovita.
Salah satu contoh kecil, ketika anak belajar menuangkan air sendiri di rumah. Ibu atau ayah yang demokratis akan memperbolehkan anak menuangkan air sendiri (meski masih batita). Tumpah tidak apa-apa, karena setelah itu anak akan belajar dari kesalahannya. Orangtua yang sedikit-sedikit melarang akan menghasilkan anak yang gampang cemas dalam menghadapi situasi yang baru, takut salah, atau takut gagal. Padahal, "Anak-anak ini akan merasa bahwa keberhasilannya melakukan sesuatu yang baru merupakan kesempatan menunjukkan kemampuan diri. Apalagi jika lingkungan memberinya penguatan atau reward setiap kali ia berhasil melakukan sesuatu yang baru," lanjut Jovita.
Penguatan Positif
Selain faktor pola asuh, faktor pembiasaan lingkungan juga berpengaruh. Misalnya, di sekolah atau di rumah, anak diajarkan berani bertanya kepada guru, orangtua, atau tetangga. Orangtua atau guru juga membiasakan anak menyapa orang baru. Misalnya, ketika diajak jalan-jalan ke mal, anak dibiasakan untuk berani pesan makanan dan membayar mainannya sendiri di kasir. Faktor berikutnya adalah faktor penguatan. Anak-anak yang selalu diberi penguatan positif terhadap setiap hasil tindakannya akan menjadi anak-anak yang cepat akrab. Misalnya, ketika anak mencoba berteman dengan orang baru, maka orangtua memberi penguatan seperti, "Wah, hebat, Kakak punya teman baru, ya!"
Kurang Peka
Namun, anak yang cepat akrab juga memiliki sisi negatif. Di antaranya kurang peka, kurang bisa membedakan mana yang boleh, mana yang tidak boleh. Misalnya, ketika anak diajak bertamu dan membuat isi rumah yang empunya "berantakan." Meskipun, timpal, Jovita, anak-anak usia di bawah tiga tahun memang belum tahu mana yang benar dan mana yang salah. Anak baru bisa diberi pengajaran mengenai norma di atas usia 4 tahun ketika ia sudah bisa memahami sebab akibat.
Contohnya, setiap kali bertemu orang baru harus bersalaman, atau masuk ke rumah orang harus bilang permisi. Contoh lain, anak tidak boleh memegang benda dari keramik karena mudah pecah, tidak boleh main api karena panas, dan sebagainya. "Sementara kalau anak di bawah 3 tahun belum tahu. Yang ia tahu, kalau ia pegang, mama marah."
Namun, orangtua sebaiknya juga tidak menghukum anak yang "main selonong" di rumah orang dengan mencubit atau membentak. "Apalagi menghukum anak di depan orang lain. Kalau ini dilakukan secara berulang dan dalam waktu lama, bisa-bisa akan merusak self esteem atau harga diri anak, sehingga anak menjadi minder. Bisa-bisa, anak yang secara nature tadinya pemberani dan cepat akrab, menjadi kurang percaya diri dan takut," lanjut Jovita.
Pasalnya, unsur nature yang ia bawa sejak lahir kalah oleh unsur nurture yang diterapkan orangtua. Ini yang menjelaskan kenapa ada anak yang ketika kecil mudah akrab, ketika besar menjadi pemalu dan tidak pede.
Dari sisi safety, anak yang mudah akrab juga cenderung kurang peka terhadap peringatan negatif dari lingkungan, sehingga mudah menjadi korban penculikan, misalnya. Sementara anak yang pemalu atau tidak mudah akrab kemampuan bergaul dan sosialisasinya kurang baik. "Atau, kadang-kadang anak punya keinginan untuk terlibat dengan lingkungan atau teman-temannya, tapi tidak tahu caranya."
Bisa Diubah?
Faktor nature dengan presentase 60 persen memang lebih dominan dibanding faktor nurture. Tapi, faktor nurture bisa mengalahkan faktor nature dengan latihan. Untuk anak-anak yang masih kecil, sarana yang paling bagus adalah dengan permainan. Contohnya, permainan one on one.
Di permainan ini, orangtua mengajak anak bermain dengan sepupu yang seusia. Dari sini, akan timbul interaksi yang membuat anak nyaman dan terbiasa berinteraksi dengan satu orang. Kemudian, tingkatkan dengan dua orang, tiga orang, dan seterusnya. Setelah itu, secara bertahap ajak anak berkunjung ke rumah kerabat. Lama-kelamaan, karakter anak akan berubah menjadi lebih pede, apalagi bila ditambah dengan penguatan atau reward.
Untuk anak yang lebih besar, metodenya adalah dengan melibatkannya dalam aktivitas yang menjadi minatnya. Misalnya, anak berminat menyanyi tapi pemalu. "Libatkan dia dalam kelompok paduan suara atau les menyanyi, dan sebagainya. Jangan lupa beri pujian sebagai penguatan," saran Jovita.
Hasto Prianggoro