Hati-hati, tuntutan orang tua yang telalu tinggi bisa membuat si sulung jadi pemberontak.
Boleh dibilang, harapan orang tua pada anak pertama sangat besar. Bukankah kehadirannya amat dinanti-nantikan? Tak heran bila orang tua mencurahkan semua perhatian dan kasih sayang sepenuhnya bagi si sulung, sejak di kandungan hingga lahir."Orang tua bukan cuma berusaha memenuhi semua kebutuhan si sulung, tapi juga memantau tumbuh-kembangnya secara detail," tutur Mien Sumartono, Psi.
Tak hanya itu, orang tua pun mudah cemas menghadapi si sulung, karena takut si sulung tak bisa mewujudkan harapannya. Hingga, orang tua akan bersikap sangat hati-hati. Sedikit saja si sulung menunjukkan gejala sakit, misal, orang tua langsung membawanya ke dokter. Belum lagi bila perkembangan anaknya tak sama seperti anak tetangga yang seusia, orang tua langsung panik.
Begitu pun bila si sulung tak mau perintahnya, enggak mau belajar, misal. Padahal, anak tak mau belajar, kan, ada sebabnya; bisa karena capek atau jenuh. Nah, harusnya orang tua mencari penyebabnya, bukan malah panik, "Aduh, nanti dia enggak bakal pintar-pintar, nih," misal. Orang tua juga akan menyempatkan waktu sepenuhnya pada anak pertama, ke mana pun ia pergi akan ditemani.
Ibarat barang antik, begitulah orang tua memperlakukan si sulung. Padahal, sikap orang tua yang seperti ini tak memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan kemandiriannya.
JADI CONTOH SI ADIK
Kala si adik datang, harapan orang tua pun tetap ada di bahu si sulung. Si sulung akan diharapkan jadi pengganti, wakil orang tua, penerus cita-cita, serta sebagai contoh/panutan, pengayom, dan penjaga adik-adiknya. Sekalipun si sulung masih balita. Makanya sering, kan, kita mendengar kalimat, "Kakak, enggak boleh main air, dong, nanti Adek ngikutin," atau "Kakak, udah, dong, jangan lari-larian aja, entar Adek ngikutin, tuh," misal. Hingga, tak jarang orang tua menuntut si sulung jadi anak yang baik. Bahkan, tak pandang si sulung masih balita, orang tua pun kerap memintanya mengajari atau menjaga si adik. "Kamu jaga Adek baik-baik, jangan sampai jatuh!" atau "Kakak, kamu ajarin adik, dong, bikin mainan kertas," misal.
Harapan orang tua ini akan mempengaruhi sikap dan kepribadian si sulung. "Biasanya anak sulung lebih tenang, kontrol diri lebih kuat, lebih bijaksana, dan tak terlalu ekspresif dalam memperlihatkan emosinya karena adanya tuntutan peran untuk lebih rasional dalam bersikap." Atau sebaliknya, "ia malah jadi temperamental, terutama bila ia tak terima dengan tuntutan tersebut dan merasakannya sebagai beban. Manifestasinya berupa pemberontakan; bila disuruh selalu tak mau atau melawan." Namun pada balita, terang psikolog dari YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia), Jakarta, ini, sekalipun prosesnya sama, belum terlihat ciri khasnya, seperti lebih bijak ataupun temperamental. Soalnya, di usia balita, anak masih natural sekali.
Yang jelas, pemberian tanggung jawab pada si sulung balita atas adiknya, membuatnya jadi tak bebas bereksplorasi dan tak boleh berbuat salah karena harus terus jadi contoh si adik. Hingga, keinginan orang tua agar dirinya menjaga adik, tentulah menjadi beban buatnya. Betapa tidak? Dia sendiri masih butuh penjagaan/perlindungan orang tua, kok. Juga bagaimana ia harus menjaga si adik agar tak jatuh sementara badannya masih kecil, yang sudah tentu takkan kuat menahan beban si adik yang berat? Hingga tak jarang, jikapun ia menuruti kehendak orang tua, lebih karena terpaksa agar tak dimarahi.
Selain itu, si sulung juga cenderung lebih menutup diri, hingga ia menurut saja apa yang diperintahkan orang tuanya. Celakanya, orang tua salah kaprah, mereka malah senang dan mengatakan anaknya sudah matang. Padahal, kematangan baru bisa terdeteksi jika si anak sudah lebih besar atau usia sekolah.
SOK JAGOAN
Bukan berarti kita tak boleh melatih si sulung bertanggung jawab, lo. "Hanya, orang tua harus sadar, anak masih balita. Jadi, jangan beri beban yang berat-berat karena ia pun masih butuh perhatian, kasih sayang, perlindungan, dan bimbingan orang tua." Selain itu, bila gagal jangan disalahkan, karena dia masih belajar. Kalau kita menyuruhnya menjaga adik, misal, maka penjagaan yang utama tetap terletak pada kita. Maksudnya, kita harus lebih dulu yakin bahwa si adik benar-benar aman. "Dengan demikian, anak akan memperoleh manfaat penanaman rasa tanggung jawab, tanpa merasa terbebani."
Bila orang tua tak menyadari ini, lanjut Mien, bisa dipastikan hanya akan jadi siksaan buat anak. "Mending kalau apa-apa yang ditugaskan oleh orang tua berjalan sempurna, hingga bisa menumbuhkan rasa percaya diri anak dan buntutnya akan tertanam konsep diri yang positif. Tapi kalau gagal, tentu ia akan merasa bersalah, hingga bukannya jadi percaya diri, tapi malah tak berani berbuat apa-apa, tak bisa membuat keputusan, atau bahkan jadi stres sendiri," paparnya.
Bahkan tak jarang, di balik perasaan tertekannya, si sulung, walau masih balita, punya kecenderungan suka mengatur adiknya. Sebabnya, ia merasa dirinya sudah lebih besar, baik dari segi usia, juga dalam hal kemampuan seperti: sudah bisa berlari dan meloncat; dalam bermain pun lebih pandai, dapat menyusun balok-balok jadi rumah, misal, sedangkan adiknya belum. Namun perilakunya itu, menurut Mien, biasanya semata-mata lantaran modelling atau meniru ibu/ayahnya yang suka bersikap demikian padanya: selalu mengatur dan memberi tahu segala hal.
Adakalanya pula si sulung jadi suka sok jagoan pada adiknya. Kalau adiknya salah sedikit, dia langsung memarahinya; atau kalau adiknya hendak melakukan sesuatu, ia langsung ambil alih dengan merebutnya, "Sini sama kakak saja, kamu belum bisa," misal. Hal ini terjadi karena pola asuh orang tua yang selalu membela si kakak, "Dek, sudah, dong, jangan gangguin Kakak," misal. Sebaliknya, bila orang tua selalu menekankan si sulung agar mengalah pada adik-adiknya, lama-lama ini pula yang akan tertanam pada dirinya bahwa ia harus selalu mengalah sama adik. Akhirnya, bisa saja si adik mau berbuat apa pun, si kakak akan menurutinya.
Kedua hal tersebut, menurut Mien, tak ada yang baik. Malah kalau dibiarkan, si kakak yang sok jagoan akan menekan adiknya atau berperilaku semena- mena pada sang adik. Sebaliknya, jika si kakak selalu mengalah pada adik, tak menutup kemungkinan si adik malah akan ngelunjak. Hingga, sosialisasi kakak dengan adik berjalan tak baik, dimana harusnya kakak mengayomi adiknya dan adik hormat pada kakaknya.
Saran Mien, orang tua harus bisa melihat perilaku keseharian anaknya. "Bila tak benar, harus cepat menegurnya untuk kemudian meluruskannya. Tapi jangan menegurnya di depan si kakak atau si adik." Misal, pada si sulung yang sok jagoan, "Kak, kenapa kamu merebut mainan Adek? Adek memang belum sepandai kamu, tapi kamu enggak boleh begitu. Harusnya malah kamu memberi tahu cara membetulkan mainannya itu." Sedangkan pada si adik yang ngelunjak, katakan, "Adek enggak boleh begitu, dong, sama Kakak, sebaiknya kamu minta tolong dengan cara baik-baik."
Jadi, orang tua mengajarkan pada si sulung untuk tahu posisinya: kapan harus mengalah, kapan harus melindungi, dan kapan harus tegas pada adiknya. "Tapi, ingat, lo, kapasitasnya sebagai anak balita bukan dewasa."
IRI PADA ADIK
Sebagai anak sulung yang awalnya dilimpahi kasih sayang dan perhatian penuh dari orang tua, maka si sulung juga biasanya tetap menuntut selalu dinomorsatukan daripada adiknya. Soalnya, sebagai anak pertama, ia merasa, "Aku, kan, kakaknya, yang paling besar, hingga harus didahulukan." Akibatnya, anak suka cemas sendiri, takut dirinya benar-benar disisihkan oleh orang tua. "Jika orang tua lantas luluh dan menuruti kemauan si sulung, hal ini hanya akan membuat si sulung jadi manja. Namun bila orang tua tegas, bisa memilih mana keinginan anak yang harus dituruti dan mana yang tidak, misal, anak pun takkan jadi manja," tutur Mien.
Lain lagi bila orang tua lebih memperhatikan si adik, malah membuat si sulung merasa iri pada adiknya, karena ia merasa dicampakkan orang tua dan tersaingi oleh adik. Perasaan iri ini akan membuatnya berusaha dengan berbagai cara menarik perhatian orang tua, apalagi kemampuan kognitifnya di usia ini sudah mulai baik. Dia akan melakukan hal yang tak biasanya dilakukan, seperti selalu rewel atau nakal, bahkan tak menutup kemungkinan ia akan memusuhi adiknya.
Nah, agar si sulung tak iri, saran Mien, berikan pengertian padanya, "Kakak, Bunda dan Ayah tetap sayang sama kamu, tapi karena kamu sekarang sudah besar, kamu harus sudah bisa mandi dan makan sendiri, ya. Lain dengan Adek yang masih kecil dan belum bisa apa-apa, hingga masih harus Bunda bantu," misal. Ikut sertakan pula si sulung dalam merawat adiknya, "Kakak mau ikut bantu Bunda mandiin Adek. Yuk, kita siapin airnya. Nah sekarang sambil Bunda mengeringkan Adek, kamu ambilkan bedaknya," misal. Biasanya anak senang sekali bila ikut dilibatkan. Malah mungkin akan semangat, "Bunda, Bunda, bajunya yang ini saja, sama seperti punya Kakak."
Dengan ikut melibatkannya, sekaligus orang tua mengajarinya bagaimana memperlakukan dan menyayangi adik. Hingga, akan tumbuh kesadaran pada diri si sulung untuk melindungi adiknya, memberikan contoh yang baik, tanpa ada perintah atau paksaan. Serta secara tak langsung juga dapat meningkatkan kemampuan kognitifnya. Contoh, saat ia asyik bermain bersama teman-temannya, tiba-tiba ia melihat adiknya sedang tidur di kamar, ia akan bilang pada mereka, "Eh, kita main di luar saja, yuk? Adikku lagi tidur. Kalau kita main di sini, nanti Adek bisa terbangun, kasihan, kan?" misal. Nah dari situ kita bisa melihat bahwa anak sudah bisa menterjemahkan situasi bahwa kalau ribut, adik yang sedang tertidur bisa bangun.
Jangan lupa pula untuk selalu menjaga hubungan komunikasi agar tetap berjalan harmonis. "Serta, apa-apa yang kita ucapkan pada anak harus sesuai dengan perilaku kita. Kalau kita mengatakan pada si sulung bahwa kita pun sayang padanya, tunjukan dengan perbuatan hingga ia bisa menangkap bahwa kita benar-benar sayang padanya Misal, dengan selalu memberikan perhatian atau mengajaknya bermain."
POLA ASUH DAN PRIBADI ANAK
Jadi, bagaimana pola asuh orang tua akan berpengaruh terhadap pembentukan si sulung. Bila orang tua mengerti kebutuhan anak dan tak membedakan perlakuannya pada masing-masing anak, misal, tak selalu membebankan tanggung jawab pada si sulung saja atau jika ia gagal dalam melakukan tugasnya tak selalu disalahkan, maka sedikit banyak sikap negatifnya bisa dihilangkan. Dengan kata lain, anak takkan merasa terbebani, terhambat masa kanak-kanaknya, iri atau memusuhi adik.
Selain pola asuh, pribadi si anak pun ikut menentukan karena tiap anak punya pribadi berbeda. "Ada anak yang mengikuti apa saja yang diperintahkan atau dibebani orang tua padanya, walau mungkin di dalam dirinya terjadi pergolakan karena ia pun ingin bebas tanpa beban apa-apa. Sebab, layaknya anak balita, ia pasti butuh kebebasan bermain atau kumpul bersama teman-temannya." Jadi, ia penurut tapi tak berani mengekspresikan keinginannya atau pendapatnya kepada orang tua. "Celakanya, orang tua malah senang mempunyai anak sulung seperti itu, tanpa sadar bahwa sebenarnya si sulung yang dibanggakannya itu tersiksa."
Nah, bahayanya jika si anak gagal dalam mengemban tugas, ia jadi makin tak berani mengeluarkan pendapat, memiliki konsep diri negatif, tak percaya diri atau malah merasa menjadi anak tak berguna.
Apalagi jika kegagalan itu membuat orang tua sampai marah besar, makin memperparah keadaan anak. Ia jadi tambah stres atau depresi. Hingga, akhirnya bisa muncul pemberontakan dalam bentuk pasif. Misal, saat ibu atau ayahnya memberi pesan, "Nak, kamu jangan main hujan-hujan, ya, nanti Adek kamu ikutan." Ia akan mengiyakan tanpa ia sendiri mempedulikan apa yang dipesankan.
Lain halnya jika kepribadiannya ekspresif, pasti ia akan langsung menentang apa yang ditugaskan orang tuanya dengan ucapan atau perlakuan, "Enggak, ah, aku enggak mau jagaiinAdek, aku mau main saja dengan teman-teman." Jikapun ia mau menurut, pasti setelah si orang tua melakukan hal yang membuatnya takut, seperti memarahi. "Ini pun berdampak tak baik, sebab anak melakukannya secara terpaksa." Bila cara ini terus berlanjut, bisa jadi akan timbul dendam pada diri anak "Biasanya tercetus saat anak menjelang remaja, yang dapat menyebabkan hubungan dengan orang tua jadi tak baik. Anak pun jadi cenderung dekat dengan teman-temannya. Syukur kalau teman-temannya itu baik, tapi kalau sebaliknya, celakalah."
Gazali Solahudin/nakita