Selain merupakan refleksi sikap memandang rendah pasangan, perilaku menggampangkan juga merupakan bentuk kompensasi atas ketakberdayaan dirinya.
Coba, siapa yang enggak kesal kalau pasangan malah menggampangkan persoalan yang kita hadapi? Bukan cuma itu, ia pun kerap dengan enteng menjanjikan sesuatu, "Bereslah, Ma, bulan depan Papa beliin kalung idaman Mama, deh!" atau, "Santai aja, Yah, sebentar lagi juga Ibu kerjain, kok." Padahal nyatanya, itu cuma sebatas janji atau omongan belaka alias tak pernah terealisasi.
Perilaku ngegampangin begini, terang Monty P. Satiadarma, MS/AT, MCP/MFCC, Psi.,banyak dipengaruhi oleh modelling karena memang terkait erat dengan interaksi sosial. Baik peniruan langsung dari orang tua, lingkungan/budaya masyarakat terdekat, atau siapa pun yang dijadikan sosok peniruan oleh individu bersangkutan. Terlebih di masa balita, bukankah modelling amat kuat melekat dalam diri anak, hingga apa pun yang kita lakukan pasti akan ditirunya? Tak heran bila kita cenderung ngegampangin,si kecil pun akan menunjukkan perilaku serupa. "Entar dulu, ya, Ma, lagi asyik nonton, nih. Pokoknya, jangan khawatir, deh, nanti juga mainannya Kakak beresin," misal.
Bentuk peniruan itu sendiri, lanjut Monty, baik dari orang tua/keluarga terdekat maupun lingkungan masyarakat atau orang yang tak memiliki kedekatan emosional sama sekali, bisa berupa sikap/tindakan acuh tak acuh terhadap persoalan yang ada, kebiasaan menyepelekan persoalan apa pun atau malah tak bergeming memberi perhatian pada orang lain, termasuk pada mereka yang sedang dilanda masalah. Hingga secara umum orang yang memiliki kecenderungan ngegampangin ini jadi terlihat tak peduli pada sesama dan bersikap egois dalam hampir semua tindakannya.
SALAH KAPRAH
Masih terkait dengan peniruan, lanjut Monty pula, banyak orang menganggap ngegampangin yang berkonotasi negatif identik dengan aktivitas mempermudah pekerjaan (to simplify). Padahal, antara keduanya tak memiliki kesamaan sedikit pun. "Aktivitas mempermudah pekerjaan dilakukan oleh orang yang punya tingkat kecerdasan dan kreativitas tinggi," tutur Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta ini.
Orang seperti ini akan merasa tertantang untuk memusatkan perhatian dan energinya pada hal-hal utama yang dianggap penting dan membatasi hal-hal yang memang betul-betul tak dibutuhkan. Jadi, ia bisa bersikap realistis dan proporsional tanpa membesar-besarkan masalah itu sendiri ataupun menambah kesulitan yang ada. Itu sebab ia mampu melihat persoalan dengan lebih mudah.
Celakanya, mekanisme kerja untuk mempermudah ini ditiru banyak orang secara salah kaprah. Dianggapnya, dengan ngegampangin, ia seolah mampu memecahkan masalah demi masalah begitu mudah. Padahal, yang sebenarnya terjadi, ia tak tahu apa yang tengah menjadi masalah. Hingga, kala hasilnya mengecewakan atau berada di bawah standar yang diharapkan, ia langsung membentuk defense mechanism atau mekanisme pertahanan diri. Entah dengan selalu berkelit atau menyalahkan orang/objek lain di luar dirinya yang bersifat eksternal, "Mama, sih, mintanya yang mahal-mahal, makanya enggak kebeli sama Papa.", misal, atau "Habis, temanku curang, sih, makanya aku jadi kalah!"
FAKTOR INTERNAL
Perilaku ngegampangin, bisa juga disebabkan faktor-faktor internal dari diri si individu. Di antaranya bentuk kompensasi dari ketakmampuan seseorang untuk melihat masalah yang sesungguhnya secara proporsional. "Ia terbiasa menilai segala sesuatu dari kulit luarnya saja." Individu model ini, oleh Monty, dimasukkan dalam kategori sembrono/ceroboh. Soalnya, ia bersikap demikian hanya karena merasa tak punya waktu untuk menganalisa atau malah memang tak mampu membuat analisa. Jadi, bukan karena benar-benar tak punya waktu atau sudah menunjukkan usaha maksimal.
Kemungkinan lain, ia tak punya referensi yang cukup sebagai penunjang analisanya. Penyebabnya apalagi kalau bukan lantaran ia tak mau dan tak mampu melihat segala sesuatu dengan lebih seksama/secara mendalam. Tak heran bila hasilnya jauh dari sempurna atau tak sesuai yang diharapkan.
Selain itu, tambah Monty, tak tertutup kemungkinan yang bersangkutan cenderung overestimate terhadap diri sendiri. Artinya, ia menilai dirinya punya kemampuan melebihi kemampuan yang sebetulnya. Dengan kata lain, ia mengalami kesalahan dalam mengidentifikasikan dirinya sendiri. Misal, suami menilai dirinya pandai berhemat atau bisa meningkatkan kualitas kerja hingga mendapat tambahan penghasilan untuk membelikan hadiah yang diidamkan istrinya. Namun ketika dihadapkan pada kenyataan, ia terkejut, apa yang semula diperkirakannya sedemikian mudah, ternyata justru sebaliknya. Paling tidak ia terkaget-kaget harga emas/berlian sudah begitu tinggi, sementara uangnya sama sekali tak mencukupi. Itu sebab, apa yang dijanjikannya pada pasangan tak pernah bisa terealisasi.
Bentuk overestimate diri ini, kata Monty, sebetulnya merupakan bentuk kompensasi atas ketakberdayaan dirinya. "Ia enggan berusaha lebih keras karena memang tahu dirinya tak punya daya ekstra untuk mengoptimalkan usahanya. Kompensasi tadi kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku memandang gampang semua masalah."
ANGGAP DIRI HEBAT
Bila digali lebih jauh, tambah Monty, penyebab munculnya sikap ngegampangin dalam perkawinan ternyata merupakan cerminan/refleksi sikap memandang rendah istri/suaminya. Ia tak menganggap penting permintaan/kebutuhan pasangan, entah lantaran memang kurang peka atau tak membiasakan diri untuk mendengarkan kebutuhan pasangannya. Ia lebih sibuk "bicara" sendiri dan minta didengarkan orang lain, terlebih oleh pasangannya. Jadi, "bukan cuma karena ketidakmampuan menganalisa masalah, lo."
Tak heran bila kecenderungan mementingkan diri sendiri ini membuatnya begitu mudah melupakan apa yang pernah ia ucapkan/janjikan pada pasangannya. Tentu saja sikap egois dan kekanak-kanakan ini sangat menjengkelkan pasangan karena harusnya tak perlu muncul dalam kehidupan perkawinan. Sayangnya, individu seperti ini juga cenderung ogah mawas diri, selain selalu keberatan bila diminta introspeksi ataupun memperbaiki diri. Sebabnya, apalagi kalau bukan lantaran ia menganggap memang tak ada yang salah pada dirinya. Nah, runyam, kan?
Ironisnya, perilaku ngegampangin ini dilakukan secara sadar. Kendati di saat yang bersamaan, ia justru tak menyadari kekurangan yang dimilikinya. Ia menganggap dirinya begitu hebat dan mengharapkan orang lain memberi penilaian yang sama bahwa dirinya memang benar hebat. Makanya, kata Monty pula, dengan bersikap ngegampangin, ia sebetulnya sangat mengharapkan respon berupa pujian dan "tepuk tangan" dari orang lain. "Minimal, ia ingin dianggap dirinya hebat, kreatif dan pandai atau cerdas menyelesaikan masalah serumit apa pun. Kendati tak demikian adanya."
TAGIH TERUS JANJINYA
Menghadapi pasangan model ini, menurut Monty, kita harus mengkonfrontasikannya dengan kenyataan. "Tagih atau tanyakan terus apa yang pernah ia janjikan. Bila perlu minta ia menjelaskan secara detil kapan dan bagaimana ia dapat merealisasikan janjinya itu." Suka atau tidak suka, ia memang harus ditarik keluar dari mimpi-mimpinya itu. Dengan demikian ia sedikit demi sedikit tak lagi hidup dalam fantasi kebesarannya.
Tentu saja ini tak mudah. Bukan tak mungkin malah akan menimbulkan ketegangan-ketegangan baru di antara suami-istri. Soalnya, orang seperti ini tak mau mengakui dirinya bermasalah. Kendati begitu, tegas Monty, kita harus berusaha terus-menerus dengan berbagai cara untuk menyampaikan informasi bahwa kita cukup terganggu dengan kebiasaannya itu. Bahkan untuk kasus-kasus "berat" yang susah ditangani sendiri karena sudah begitu mendarah daging, bantuan dari ahli berupa terapi realitas (reality therapy) jelas sangat diperlukan.
Th. Puspayanti