Pijakan Awal di Pernikahan

By nova.id, Rabu, 13 Juli 2011 | 23:45 WIB
Pijakan Awal di Pernikahan (nova.id)

Pijakan Awal di Pernikahan (nova.id)

"Foto: Getty Images "

Belakangan ini, Meidi sibuk sekali mempersiapkan acara pernikahannya. Dari mulai cincin, katering, hingga urusan gedung, semua tak luput dari perhatiannya.

Yang paling membuatnya pusing adalah soal biaya. Sudah bolak-balik ia mengulang perhitungan biaya, tapi tetap saja jumlahnya yang harus disiapkannya tidak berkurang dan malah membengkak. Meidi seakan lupa bahwa selain acara pernikahan ia juga harus mempersiapkan fisik, mental, dan psikologisnya sebelum benar-benar menjadi seorang istri.

Ratna Mardiati, Psikiater perkawinan menegaskan, "Saya setuju persiapan yang baik, logis dan realistis. Banyak orang yang mengeluarkan (dana) besar sekali pada saat menikah untuk sekadar menunjukan mereka orang mampu, tapi setelah itu mereka meninggalkan banyak utang. Selain itu, berharap mendulang untung dari angpau dengan mengundang banyak tamu. Itu tidak mungkin!"

Dari Fisik Hingga Tekanan

Sebenarnya, apa yang membuat seseorang ingin menikah? Menurut Ratna, alasan seseorang ingin menikah adalah agar dapat memenuhi kebutuhannya secara fisik, sosial, dan psikologi.

Kebutuhan fisik sendiri terdiri dari seks namun bukan nafsu belaka, melainkan dari segi hormon. Aspek lainnya adalah keinginan untuk dilindungi sehingga seseorang memutuskan melepas masa lajangnya. Wanita biasanya berharap lelaki bisa memberikan rasa aman dengan mendampinginya setiap saat. Sedangkan lelaki butuh wanita untuk "tempat pulang". Maksudnya, dengan adanya istri, suami mempunyai alasan kuat untuk pulang ke rumah. Kebutuhan fisik lainnya adalah reproduksi alias mempunyai keturunan.

Sementara kebutuhan sosial meliputi keuangan, status, hingga tekanan keluarga. Keuangan misalnya, biasanya para wanita merasa memiliki jaminan hidup lebih aman ketika ia menikah. Status dan tekanan keluarga juga bisa dijadikan alasan menikah. Apalagi jika keluarga termasuk konservatif, sehingga apapun pencapaian karier atau prestasi yang Anda dapatkan, tak akan ada artinya jika Anda belum menikah.

Sedangkan kebutuhan psikologi dalam hal ini, kebutuhan untuk dicintai-mencintai dan dimiliki-memiliki. Ketika seseorang merasa ada orang lain yang mencintai serta memilikinya dan ia bisa mencintai juga memiliki orang lain, ia akan merasa sangat berharga dan dibutuhkan. Meskipun secara fisik pasangan tersebut terpisah oleh jarak, tapi dengan menikah secara psikologis, ia akan merasa nyaman karena adanya ikatan saling membutuhkan.

Pentingnya Bimbingan Pranikah

Di antara tumpukan rincian biaya resepsi hingga desain gaun pengantin, bimbingan pranikah sering terlupakan. Padahal tujuan dan manfaatnya tak sepele, lho. Selain untuk mengetahui tujuan mereka menikah, konselor juga bisa mengetahui dan mengatakan kepada kedua pasangan seperti apa karakter mereka masing-masing.

Bimbingan pranikah juga memberitahu strategi apa yang bisa diterapkan keduanya saat diperhadapkan pada masalah-masalah rumah tangga. Entah itu soal keuangan, keturunan, keluarga besar, atau kesehatan. Layak dicoba, kan?

Yang Harus Disiapkan

Banyak aspek yang harus disiapkan semata-mata agar pernikahan berhasil dan kedua belah pihak bahagia. Tanyalah diri sendiri, apakah Anda dan calon suami sanggup saling menyesuaikan diri dan menerima kekurangan juga kebiasaan pasangan?

Misalnya, istri tipe pecemburu dan mudah marah ketika tahu suaminya menawarkan membonceng teman kantor wanitanya. Siapkah suami dengan sikap pecemburu istri? Ada juga suami yang menyarankan istri tidak lagi nongkrong bersama teman-temannya agar bisa fokus mengurus pekerjaan rumah tangga. Siapkah istri dengan kebijakan itu?

Jangan lupa, pernikahan di Indonesia biasanya terkenal dengan sebutan pernikahan kultur (kekeluargaan). Jadi sebelum menikah, pelajarilah seperti apa kultur adat-istiadat pasangan Anda. Misalnya jika suami orang Batak dan istri Jawa, siapkah istri jika di setiap akhir pekan mereka disibukkan dengan acara-acara keluarga besar suami?

Pernikahan yang ideal juga dipengaruhi dengan kesiapan kedua pasangan menjaga harkat dan martabat pasangan di tengah-tengah keluarga besar dan masyarakat. Pasalnya, banyak kemungkinan yang harus dihadapai suatu hari nanti. Dan, tak semua kemungkinan itu berupa kabar baik. Misalnya saja, belum diberikan keturunan, jabatan istri lebih tinggi di perusahaannya, suami kehilangan pekerjaan, atau pasangan bukan orang yang diinginkan keluarga kita.

Tak Tabu Soal Uang

Masalah keuangan memang selalu tabu dibicarakan, tapi hal ini perlu dibicarakan. Malah, sebelum Anda menikah, pun tak masalah. Asalkan memang hubungan sudah sampai ke jenjang perencanaan pernikahan.

Jika keduanya bekerja, segera bagi tugas siapa yang membiayai keperluan harian-bulanan, siapa yang membayar keperluan lain seperti cicilan rumah dan mobil, pendidikan anak, kesehatan, liburan, deposito serta keluarga besar. Jangan lupa juga, selalu sisakan sedikit dari penghasilan Anda untuk kebutuhan pribadi.

Besar kecilnya presentase pembagian keuangan tidak harus selalu sama (suami 50-istri 50), bisa juga 70-30, 100-0 atau sebagainya. Soal siapa yang mengatur keuangan, sebaiknya yang paling mampu saja, tidak harus selalu istri. Yang perlu diingat juga, harta sebelum nikah itu mutlak milik masing-masing individu. Sedangkan harta yang dihasilkan di dalam pernikahan adalah milik berdua, meskipun penghasilan istri saat itu lebih besar. Namun, Anda berdua bisa memiliki kesepakatan lain dengan perjanjian pranikah.

Selain kesepakatan mengenai uang, anak juga harus dimasukkan ke dalam pertimbangan saat memutuskan menikah. Apakah di antara keduanya, mau punya anak atau tidak. Atau, jika ingin mempunyai anak, berapa yang diinginkan. Jangan sampai kehadiran anak justru mengganggu hubungan relasi suami istri apalagi menyulitkan masa depan Si Anak. Intinya jika memutuskan untuk punya anak, pasangan harus siap melakukan investasi pendidikan, kesehatan, mental, emosional, dan sebagainya.

Pentingnya Tes Kesehatan

Tes kesehatan tidaklah kalah penting dari persiapan-persiapan di atas. Di sini, pasangan dapat mengetahui penyakit menular dan tidak menular serta penyakit keluarga yang diidapnya yang mungkin akan mempengaruhi pola hubungan intim dan masalah reproduksi pasangan.

Biasanya, calon suamilah yang paling sulit diajak melakukan tes kesehatan. Mereka lebih takut menerima kenyataan bila ada yang tak beres dengan kesehatannya, berbeda dengan wanita yang lebih siap. Jujurlah soal riwayat kesehatan Anda kepada pasangan. Jika tidak dibicarakan takutnya malah akan menimbulkan masalah baru saat sudah menikah nanti.

"Dalam hal reproduksi misalnya, jika kedua calon mempelai mengidap asma mereka bisa saja menikah, tapi keduanya harus menerima kemungkinan untuk tidak memiliki anak dengan alasan Si Anak akan berisiko tinggi mengidap asma juga," terang Ratna.

Hindari Mengancam Bercerai

Tetapkan dalam hati kalau menikah itu untuk seumur hidup. Jangan cepat putus asa dengan mengatakan "kita cerai saja" saat Anda dan pasangan bertengkar. Tidak ada perkawinan yang mulus. "Kalau kita dihadapkan pada konflik bukankah kita akan semakin pandai dan kuat. Fakultas paling baik mendidik orang itu adalah perkawinan. Never ending story. Setiap hari penyesuaian diri. Sulit, kan?" terang Ratna.

 Ester Sondang