Salah kita juga kalau anak sampai "hilang" kala diajak jalan-jalan. Bekali ia dengan berbagai informasi yang dibutuhkan.
"Dasar anak nakal! Mama, kan, sudah bilang jangan pergi jauh-jauh! Tuh, rasain,kamu jadi bingung sendiri, kan? Untung ketemu Mama, gimana kalau enggak?"
Rentetan "ceramah" seperti itu, bilang psikolog Sritje Hikmat, hanya akan meruntuhkan kepercayaan anak pada dirinya maupun orang tua. Apalagi bila dilakukan di depan orang banyak dan disertai cubitan, bentakan atau tindakan mengecilkan lainnya. Padahal, bukan kesalahan si anak kalau ia sampai tersesat, melainkan akibat kelalaian orang tua. "Bukankah orang tua tak jarang kelewat asyik sendiri dengan kesibukannya berbelanja hingga lupa pada anaknya?" ujar alumnus Fakultas Psikologi UNISBA (Universitas Islam Bandung) ini.
Jadi, jangan si kecil malah "disemprot" habis-habisan, ya, Bu-Pak. Menurut psikolog yang akrab disapa Itje ini, jauh lebih bijaksana bila kita menenangkan anak, mengajaknya ke sudut sepi sambil mendekap dan membesarkan hatinya penuh kelembutan. Pengalaman manis ini membuat anak merasa dihargai, yang akan membantunya keluar dari situasi tak mengenakkan sesegera mungkin.
KEHILANGAN RASA AMAN
Buat anak, jelas Itje, tersesat merupakan pengalaman tak mengenakkan. Bagaimana reaksinya kala tersesat, berkait erat dengan kepribadiannya. "Anak pemalu akan mudah panik dan menangis sejadi-jadinya, hingga kurang mampu menjalin kerja sama dengan orang yang menemukannya." Begitu juga anak "kuper" alias kurang pergaulan akibat selalu "dikurung" di rumah oleh orang tua yang overprotective atau kelewat melindungi. Sementara anak yang luwes bergaul, umumnya lebih tenang menghadapi kondisi tersebut. "Ia lebih jelas memberi informasi mengenai jati dirinya, hingga memudahkan orang lain mempertemukannya dengan orang tuanya."
Sementara dampaknya yang paling nyata adalah sikap ekstra hati-hati dan menarik diri. Sampai-sampai, ia tak mau lagi diajak ke mana-mana. Namun seberapa parahnya, tergantung banyak aspek, salah satunya, kemampuan beradaptasi dan kesiapan mental si anak. "Anak yang mudah bersosialisasi relatif lebih mudah menghilangkan dampak buruk dibanding anak pemalu atau sulit beradaptasi. Kendati kemampuan ini pun harus berjalan sinkron dengan kemampuan lain semisal kemampuan menghapal informasi atau pengetahuan yang diperolehnya, dan kematangan emosional yang memungkinkannya mampu bersikap lebih tenang."
Tempat si anak tersesat juga ikut berpengaruh. Jika tempatnya kerap atau minimal pernah dikunjungi, maka anak tak sepanik saat ia merasa asing dengan tempat itu. Namun begitu, di mana pun tempatnya, menurut Itje, pengalaman tersesat memberi dampak yang sama-sama buruk, yaitu menghilangkan atau menurunkan rasa aman dan nyaman. Terlebih bila ia terpisah cukup lama dari orang tuanya dan sikap orang-orang yang menemukannya juga tak bersahabat, semisal menyalah-nyalahkan orang tua, "Gimana, sih, orang tuanya! Anak sekecil ini, kok, bisa kesasar!" Sikap "heboh" begini hanya akan memunculkan rasa bersalah pada anak bahwa gara-gara dirinyalah semua jadi berantakan.
Itu sebab, tegas Itje, siapa pun tak berhak menyangkal perasaan kecut/takut pada anak, apalagi melecehkannya, "Masak gitu aja nangis, sih. Pengecut, ah!", misal. Kita pun tak berhak memaksa anak bila ia kemudian menolak diajak pergi lagi. Yang harus kita lakukan adalah menunjukkan sikap empati. Dengan begitu, kita pun bisa menjadikan pengalaman tersebut sebagai ajang untuk melatih kecerdasan emosional anak. "Individu yang memiliki kecerdasan emosional, umumnya tak berlarut-larut dalam kesedihan, hingga kondisinya cepat pulih dan pengalaman tak enaknya segera bisa dilupakan," jelas Itje.
BEKALI INFORMASI
Untuk si prasekolah, terang Itje, kita bisa memberikan pengertian karena kemampuannya sudah makin komplet, hingga mampu mencernanya. Beda dengan si batita, mau tak mau, kita harus selalu mengikuti ke mana ia bergerak, meski hanya dengan ekor mata. Tapi jangan lantas kita "mencencang"nya, lo, hanya gara-gara takut ia "hilang". "Tindakan ini sangat tak manusiawi!" tandas Itje. Bila memang keberatan membawa anak, menurutnya, lebih baik tinggalkan ia di rumah dengan orang yang bisa diandalkan. Jika tak mungkin, "titipkan pada kerabat atau tetangga bila memang harus pergi tanpa mengikutsertakan anak. Daripada anak dibawa tapi tak bisa bebas bergerak, tak ubahnya seperti kerbau dicocok hidungnya. Kemandirian anak pun jadi tak berkembang karena tak ada pilihan."
Kita pun tak dibenarkan menakut-nakuti anak, "Nanti ada penculik, lo! Jadi, kamu jangan jauh-jauh dari Ayah dan Bunda, ya!", misal. Nasihat ini, menurut Ijte, hanya akan membuat anak makin ciut dan menempel terus pada orang tua. "Ia jadi sangat tergantung." Yang terbaik, lanjutnya, asah keterampilan anak mengungkapkan perasaannya sambil menggali argumentasinya. Misal, "Kalau banyak orang begini, apa iya kamu bisa ketemu Ayah dan Bunda kalau cuma menangis atau teriak-teriak?" Dengan begitu, anak selalu terlatih untuk berpikir mencari solusi.