Neuropati merupakan istilah untuk kerusakan saraf yang dapat disebabkan oleh penyakit, trauma pada saraf, atau juga karena efek samping dari suatu penyakit sistemik.
Kerusakan saraf ini biasanya diawali gejala yang dianggap biasa oleh kebanyakan orang. Sebut saja nyeri, rasa baal, mati rasa, kram, kaku-kaku, dan kesemutan. Gejala lain yang lebih spesifik dari neuropati adalah rasa terbakar, kulit hipersensitif, kulit mengilat tidak wajar, rambut rontok pada area tertentu, kelemahan tubuh dan anggota gerak, serta atrofi atau otot mengecil.
Kebanyakan Orang Tua
Sebenarnya, semua orang bisa saja terkena neuropati. Namun mereka yang berusia tua atau penderita diabetes memiliki kemungkinan terbesar. Tak menutup kemungkinan juga jika neuropati didapat karena keturunan, hipertensi, perokok, atau sering mengonsumsi alkohol.
"Penderita penyakit pembuluh darah seperti jantung, terinfeksi penyakit tertentu, atau mengonsumsi obat-obatan yang menyebabkan neuropati juga bisa," jelas dr. Manfaluthy Hakim, SpS(K)., Konsultan Neurologis dan Ketua Kelompok Studi Neurofisiologi dan Saraf Tepi, PERDOSSI (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia) Pusat.
Dokter yang akrab dipanggil Luthy ini juga menuturkan, lebih dari 26 persen orang yang berusia di atas 40 tahun menderita neuropati. Orang yang berusia tua memang berisiko terkena neuropati karena kemungkinan besar memiliki banyak gangguan saraf. Jika tidak diterapi dengan benar, bukan tak mungkin ia akan mengalami penyakit saraf yang lebih berat.
Yang patut dikhawatirkan adalah, lebih dari 50 persen pasien diabetes mengalami neuropati yang dinamai neuropati diabetikum. Gangguan ini bisa timbul kapan saja alias tidak bisa diprediksi seiring pertambahan usia dan durasi penyakit diabetes yang diderita. Gejala juga dapat timbul ketika kadar gula pasien tidak terkontrol.
Neuropati juga dapat disebabkan kurangnya vitamin B. Gejala bisa timbul di satu area atau mononeuropati atau banyak area atau polineuropati. Selain malnutrisi, neuropati juga bisa muncul karena penggunaan obat-obatan dalam jangka panjang, seperti obat TBC.
Cegah dengan Vitamin B
"Banyak sekali orang yang awam mengenai neuropati dan mengabaikan gangguan ini. Padahal pencegahan dan cara mengatasinya mudah sekali," ujar konsultan neurologis, Prof. Dr. dr. Moh. Hasan Machfoed, SpS(K), M.S.
Pencegahan dan pengobatan yang dimaksud Ketua PERDOSSI Pusat ini adalah konsumsi vitamin B. Kerja saraf manusia ternyata bergantung pada suplai vitamin B. Ibaratnya, vitamin ini merupakan "makanan" saraf yang sangat dibutuhkan untuk melindungi dan meregenerasi saraf. Oleh karena itu, lanjut Hasan, tidak heran jika orang yang di masa mudanya kekurangan vitamin B1 bisa saja mengalami neuropati di masa tuanya.
Selain vitamin B1, vitamin B6 juga sangat diperlukan sistem saraf dan sistem imun. Vitamin B6 juga menjaga metabolisme sel darah merah dan pembentukan hemoglobin. Kekurangan vitamin B6 bisa menyebabkan peradangan kulit, mukrosa mulut, lidah, anemia, dan kelainan saraf seperti depresi, kebingungan, bahkan kejang.
Vitamin B12 juga tak kalah penting untuk pertumbuhan sel dan reproduksi, dan pembentukan selubung mielin yang mengelilingi serta melindungi saraf dan nukleoprotein. Mielin juga penting untuk menyampaikan pesan dari otak ke seluruh tubuh.
Jika seseorang kekurangan vitamin B12, maka selubung mielinnya akan rusak dan akibatnya Anda akan mudah terkena gangguan saraf, seperti baal, mati rasa, kesemutan, kram, dan kaku-kaku.
Hindari Cedera
Saat ini, sudah tersedia vitamin neurotropik yang menggabungkan vitamin B1, B6, dan B12 untuk menangkal ancaman neuropati. Vitamin ini juga bisa menghambat gejala neuropati tidak bertambah parah. Pasien diabetes yang terkena neuropati juga bisa mengonsumsi vitamin neuroropik.
Vitamin ini bekerja dengan menormalkan fungsi saraf. Caranya, vitamin ini memperbaiki gangguan sel saraf dengan memberikan asupan yang dibutuhkan. Tentu saja, penggunaan vitamin ini harus disesuaikan dengan penyebab kerusakan saraf dan penyakit lain yang mengikutinya.
"Di luar faktor genetik (diabetes, hipertensi), kita bisa menghindari penyakit ini sejak dini. Caranya dengan tetap menjaga pola hidup sehat sejak dini, khususnya bagi yang belum berusia 40 tahun," papar Luthy. Di antaranya, makan makanan yang bergizi, olahraga teratur, tidak mengonsumsi alkohol, serta menghindari cedera dan bahan kimia beracun.
Mononeuropati VS Polineuropati
Kerusakan saraf yang dialami penderita neuropati terbagi menjadi dua jenis yaitu mononeuropati dan polineuropati. Carpal tunnel syndrome merupakan jenis kerusakan yang paling umum pada mononeuropati. Cedera fisik atau trauma kecelakaan ini biasanya menyebabkan tangan atau kaki mati rasa. Selain itu, nyeri juga timbul di tiga jari pertama dari ibu jari, kesemutan, dan seperti rasa terbakar di bahu.
Gejala ini bisa timbul jika ada tekanan yang berkepanjangan atau berulang-ulang pada saraf, seperti menekan keyboard komputer terlalu lama, bertukang, tidur dengan posisi kepala bertumpu pada tangan, dan lain sebagainya.
Kerusakan ini dapat memengaruhi saraf yang mengontrol gerakan otot motorik dan otot sensorik yang mendeteksi dingin dan panas. Bahkan dalam beberapa kasus, carpal tunnel syndrome dapat memengaruhi organ lainnya seperti jantung, pembuluh darah, kandung kemih, atau usus.
Sementara polineuropati lebih disebabkan karena paparan racun tertentu, gizi buruk (terutama defisiensi vitamin B), dan komplikasi dari penyakit seperti kanker atau ginjal. Polineuropati yang paling patut diwaspadai adalah neuropati diabetikum. Gejalanya hampir sama dengan mononeuropati, namun disertai disfungsi seksual dan tekanan darah yang tak normal.
Saraf persendian pada pasien polineuropati juga lebih sensitif terhadap rasa sakit. Oleh karena itu, saraf sangat rentan terhadap stres. Penderita juga bisa kehilangan kemampuan merasakan suhu dan nyeri.
Salah satu polineuropati yang paling serius adalah Guillain-Barre syndrome. Penyakit langka ini bisa menyerang seseorang ketika sistem kekebalan tubuhnya tiba-tiba menyerang saraf. Gejala awalnya sama seperti neuropati lainnya, akan tetapi gejala ini menyerang dengan cepat dan memburuk dengan cepat juga. Risiko kelumpuhan juga menghantui penderitanya.
Ester Sondang/dari berbagai sumber