TETAPKAN BATAS TOLERANSI
Untuk memperkecil konflik majikan-pembantu yang bisa berkembang menjadi konflik suami istri, saran Wieka, tentukan batas toleransi. Artinya, sejauh mana kelalaian dan kekurangan PRT bisa diterima. Misal, toleransi tertinggi yang kita berikan adalah anak, kita tak perlu tawar-menawar bila ia ternyata lalai pada keselamatan/keamanan si kecil. Atau jika keamanan rumah yang kita utamakan, kita berhak marah kala ia seenaknya meninggalkan rumah begitu saja tanpa dikunci. Sebaliknya, bila cuma cadangan gula atau garam melebihi biasanya, buat apa sih kelewat dipermasalahkan? "Enggak usah gampang terbawa emosilah," ujar Wieka. Lebih baik tentukan apa saja perbuatannya yang masih bisa ditolerir dan tidak. Dari situ, kan, kita bisa menilai apakah yang bersangkutan punya potensi dan bisa dididik/dikembangkan ke arah yang lebih baik, serta mampukah kita menempanya sesuai tenaga dan waktu yang kita miliki.
Begitu pula mengenai kebohongan-kebohongan kecil yang juga kerap dilakukan pembantu. Lagi-lagi sejauh mana bisa ditoleransi. Bila perlu, pelajari apa, sih, motivasinya, sekadar takut dimarahi atau menjadi strateginya untuk memanipulasi. Ajak bicara, misal, "Hari ini setrikanya enggak selesai, kenapa, Yem? Anak-anak rewel atau karena ada sinetron bagus? Bilang aja deh, Ibu enggak marah, kok." Begitu juga bila ia kedapatan memecahkan perabot dapur. Tentu saja bentuk-bentuk kelonggaran semacam itu tetap diarahkan untuk mendidiknya bertanggung jawab. Hingga, harus diberlakukan syarat berikut, semisal, "Tapi besok diselesaikan, ya," atau "lain kali hati-hati, lo."
Sikap begini jauh lebih aman ketimbang kebohongan demi kebohongan berlangsung terus dan semakin memperbesar peluang bahaya atau dampak negatif buat si kecil, semisal jatuh tapi tak dikatakan karena takut dimarahi. Apa pun, kita tetap perlu marah bila memang harus marah, terutama yang menyangkut keselamatan anak atau keamanan rumah. Minimal, kita perlu menegaskan padanya bahwa perbuatannya merupakan suatu kesalahan. "Enggak bener juga kalau kita 'steril', dalam arti enggak pernah marah. Hanya akan menyiksa diri bila cuma memendam semua kejengkelan lantaran tahu sulitnya cari pembantu." Toh, pasangan kita juga akan mengerti kalau kita marah sama si Iyem lantaran ia memang benar-benar salah.
Nah, Bu-Pak, kini sudah menemukan jalan keluarnya, kan, saat menghadapi masalah serupa?
Th. Puspayanti/nakita
Gara-gara Iyem Pegang Uang Belanja
Soal uang, tegas Wieka, sebetulnya masalah intern suami-istri. Jadi, Pak, kalau istri sampai marah besar gara-gara suami langsung menyerahkan uang belanja kepada PRT, wajarlah. Ia tentu merasa dilecehkan, "Lo, aku ini dianggap apa?"
"Bagaimanapun uang termasuk hal sensitif sekaligus cermin bagaimana suami-istri mengelola rumah tangga dan apa saja yang telah mereka sepakati bersama," terang Wieka.
Kendati tak lazim, toh, bisa saja pola ini yang diterapkan suami-istri. Tentu dengan catatan, sepanjang bisa diterima istri. "Kalau istri enggak keberatan, ya, enggak jadi masalah, kendati apa pun omongan orang. Masing-masing keluarga memiliki pola khas tipikal keluarga mereka, kok!"
Tumbuhkan Saling Percaya
Sebagai majikan, kata Wieka, kita wajib mengkondisikan situasi saling percaya. Caranya, jadikan PRT sebagai mitra kerja sekaligus bagian/anggota keluarga sendiri. Jadi, hubungan yang terjalin harus bersifat kekeluargaan, bukan bisnis semata-mata. Dengan begitu, kita bisa berkomunikasi secara baik sekaligus bekerja sama. Hingga, konflik dengan pasangan gara-gara urusan PRT pun dapat diminimalisir.
Namun tentu saja, untuk bisa menerima PRT sebagai bagian integral dalam rumah tangga, kita harus benar-benar mengenali dirinya, termasuk seperti apa kepribadiannya. Ini berarti, kita pun perlu tahu dengan jelas identitas dirinya, siapa keluarganya dan di mana mereka tinggal. Hingga, bila ternyata si PRT menyalahgunakan kepercayaan kita semisal kabur dari rumah dengan "menguras" isi rumah atau meninggalkan hutang, kita bisa langsung mendatangi keluarganya tanpa harus ribut mulut saling menyalahkan dengan pasangan.