Menantu vs Mertua

By nova.id, Senin, 28 Maret 2011 | 17:06 WIB
Menantu vs Mertua (nova.id)

Jadi, apa yang  harus dilakukan? "Pihak yang lebih muda sebaiknya melakukan pendekatan. Alasannya, mertua adalah pihak yang ditumpangi. Yang kedua, karena mertua lebih tua. Orang yang lebih tua biasanya cenderung lebih sukar mengubah habit dan lifestylenya, sehingga yang muda-lah yang harusnya memahami value mereka. Kalau memang tidak terlalu memengaruhi hidup dan rumah tangga, why not, ikuti saja? Kalau dampaknya besar, baru dibicarakan."

Satu lagi, dalam hal hubungan bersama, termasuk dengan mertua, harus selalu ada hubungan eksklusif. "Sekali sebulan belanja bareng, atau makan berdua di restoran. Kalau sebulan berat, dua minggu sekali atau seminggu sekali," saran Vera.

Ikuti Aturan

Konflik biasanya tidak muncul spontan, kecuali jika sejak awal salah satu pihak sudah menolak, misalnya pernikahannya tidak direstui. Nah, jika awalnya baik-baik saja kemudian muncul konflik, artinya ada sesuatu yang dipendam. "Yang muda yang harus introspeksi, harus lebih fleksibel. Orang Indonesia suka enggak enakan dan suka sungkan. Akibatnya, kalau marah, marahnya jadi emosional."

Membicarakan sesuatu dengan mertua pun sebaiknya mempertimbangkan hal-hal tertentu. Utarakan dampaknya dan pilihlah waktu informal dan santai. Pasalnya, kondisi lelah akan membuat rentang toleransi jadi rendah, sehingga mudah marah.

Kemudian, karena masih nebeng, menantu sebaiknya mengikuti aturan mertua. "Utarakan pada saat mengobrol santai, mertua punya aturan seperti apa, kita seperti apa, dan sebagainya," kata Vera.

Bicarakan Langsung

Yang tak kalah penting, kalau ada yang mau dibicarakan, bicarakan langsung dengan mertua, jangan lewat pihak ketiga, lewat suami misalnya. Langkah ini menjadi penting karena bisa membuat menantu lebih mengenal mertua dan mertua juga bisa paham batasan-batasan menantu, sehingga hubungannya lebih hangat, terbuka dan mendapat penyelesaian. Hindari juga mengadu ke orang tua. Pasalnya, setiap orang tua punya kebutuhan untuk melindungi anaknya. "Bisa jadi, kita sudah baikan, orangtua masih dongkol ke besan," lanjut penulis buku laris, Love Cold ini.

Jika upaya meredam konflik tak berhasil (deadlock) dan komunikasi sudah buntu, sah-sah saja meminta bantuan pihak ketiga. Namun, pilihlah yang betul-betul obyektif dan kalau bisa tidak cuma satu orang. Jika masih saja tak mendapat solusi, tak ada salahnya bertemu psikolog agar kita lebih fleksibel melihat persoalan. "Setiap konflik butuh solusi. Jadi, yang harus dilawan atau dipecahkan adalah problemnya."

Akhirnya, jika tinggal bersama justru dirasa menciptakan konflik, tak ada salahnya memutuskan tinggal terpisah dari mertua. "Walau bagaimanapun, mertua adalah orangtua sendiri. Jadi, konflik adalah sebuah kelebihan, artinya menunjukkan bahwa hubungan menantu dan mertua cukup dekat. Kalau jauh, kan enggak mungkin ada konflik." pungkas Vera.

 Hasto Prianggoro