Menantu vs Mertua

By nova.id, Senin, 28 Maret 2011 | 17:06 WIB
Menantu vs Mertua (nova.id)

Menantu vs Mertua (nova.id)

"Foto: Getty Images "

Di mata psikolog anak dan keluarga dari RS Pondok Indah, Jakarta, Roslina Verauli, M.Psi., konflik antara mertua dan menantu adalah sesuatu yang wajar. "Jangankan menantu dan mertua, orang tua sama anaknya saja bisa berantem, kok," jelas psikolog yang akrab dipanggil Vera ini.

Idealnya, saran Vera, pasangan suami istri segera tinggal terpisah dari orang tua begitu menikah, misalnya mengontrak rumah. Kecuali dalam beberapa kasus, seperti mertua meminta anak dan menantunya tinggal serumah karena mertua tidak memiliki teman. Atau, jika mertua sakit, sehingga memang butuh kehadiran anggota keluarga yang dianggap dekat. "Yang terakhir, jika memang kondisinya sangat terbatas alias sangat terpaksa," jelas Vera.

Biasanya, konflik muncul jika salah satu pihak sudah berpikiran subyektif. "Sedang emosi dan lelah, pulang kantor melihat anak masih nonton TV, bukannya belajar atau tidur, langsung marah. Semua dihajar, ibu mertua diprotes, anak dimarahi," kata Vera.

Padahal, kalau dilihat, pihak menantu yang sebetulnya tidak mampu menangani anak dan memberikannya ke mertua atau baby sitter. Jadi, wajar jika ada pengorbanan yang harus diberikan oleh ibu muda atas kondisi tadi, seperti gaya pengasuhan yang tidak sesuai atau anak jadi lebih dekat ke mertua.

Animal Kingdom

Konflik umumnya baru muncul ketika hubungan sudah semakin dekat dan terlalu lama (faktor waktu dan faktor kedekatan). Tapi, sekali lagi, konflik adalah hal yang wajar. "Dengan konflik, menantu jadi tahu batasan-batasan yang diberikan mertua itu seperti apa, dan sebaliknya," lanjut Vera.

Yang jelas, begitu muncul konflik, sebaiknya langsung dibicarakan. Jika memungkinkan, di awal tinggal bersama mertua dibicarakan juga pembagian tanggung jawab, seperti siapa yang membayar tagihan, untuk menghindari masalah. Apalagi jika di rumah yang sama, juga tinggal anak-anak lain dari mertua.

Tidak dibuatnya aturan dan batasan yang jelas antara menantu dan mertua bisa menimbulkan kekeliruan. Vera menyarankan, jika di dalam satu rumah ada dua kepala, pastikan batasan areanya, siapa punya apa, siapa boleh apa, dan sebagainya. "Persis seperti di animal kingdom-lah," ujar Vera.

Misalnya, lantai atas untuk anak dan menantu, sementara lantai bawah adalah area mertua. Atau, areanya cuma di kamar, yang berarti area privasi cuma kamar. Tak kalah penting adalah urusan pemenuhan kebutuhan keluarga. Misalnya, siapa yang bertanggung jawab soal urusan dapur, siapa yang membayar biaya reguler (listrik, air, dan telepon), dan lainnya.

Yang ketiga menyangkut peran masing-masing. Misalnya, soal pengasuhan anak. Anak-menantu meminta anak diasuh neneknya, yang jelas lebih murah dibanding jika memakai jasa baby sitter. Tetapi, ketika Sang Nenek menerapkan pola asuh dengan caranya, menantu protes. "Ini kan, enggak adil. Udah nitip, masih juga protes. Kecuali kalau memang terjadi hal yang sangat ekstrem, misalnya nenek terlalu memanjakan anak atau karena anak terlalu terabaikan, bolehlah dibicarakan," ujar Vera.

Lakukan Pendekatan

Jadi, apa yang  harus dilakukan? "Pihak yang lebih muda sebaiknya melakukan pendekatan. Alasannya, mertua adalah pihak yang ditumpangi. Yang kedua, karena mertua lebih tua. Orang yang lebih tua biasanya cenderung lebih sukar mengubah habit dan lifestylenya, sehingga yang muda-lah yang harusnya memahami value mereka. Kalau memang tidak terlalu memengaruhi hidup dan rumah tangga, why not, ikuti saja? Kalau dampaknya besar, baru dibicarakan."

Satu lagi, dalam hal hubungan bersama, termasuk dengan mertua, harus selalu ada hubungan eksklusif. "Sekali sebulan belanja bareng, atau makan berdua di restoran. Kalau sebulan berat, dua minggu sekali atau seminggu sekali," saran Vera.

Ikuti Aturan

Konflik biasanya tidak muncul spontan, kecuali jika sejak awal salah satu pihak sudah menolak, misalnya pernikahannya tidak direstui. Nah, jika awalnya baik-baik saja kemudian muncul konflik, artinya ada sesuatu yang dipendam. "Yang muda yang harus introspeksi, harus lebih fleksibel. Orang Indonesia suka enggak enakan dan suka sungkan. Akibatnya, kalau marah, marahnya jadi emosional."

Membicarakan sesuatu dengan mertua pun sebaiknya mempertimbangkan hal-hal tertentu. Utarakan dampaknya dan pilihlah waktu informal dan santai. Pasalnya, kondisi lelah akan membuat rentang toleransi jadi rendah, sehingga mudah marah.

Kemudian, karena masih nebeng, menantu sebaiknya mengikuti aturan mertua. "Utarakan pada saat mengobrol santai, mertua punya aturan seperti apa, kita seperti apa, dan sebagainya," kata Vera.

Bicarakan Langsung

Yang tak kalah penting, kalau ada yang mau dibicarakan, bicarakan langsung dengan mertua, jangan lewat pihak ketiga, lewat suami misalnya. Langkah ini menjadi penting karena bisa membuat menantu lebih mengenal mertua dan mertua juga bisa paham batasan-batasan menantu, sehingga hubungannya lebih hangat, terbuka dan mendapat penyelesaian. Hindari juga mengadu ke orang tua. Pasalnya, setiap orang tua punya kebutuhan untuk melindungi anaknya. "Bisa jadi, kita sudah baikan, orangtua masih dongkol ke besan," lanjut penulis buku laris, Love Cold ini.

Jika upaya meredam konflik tak berhasil (deadlock) dan komunikasi sudah buntu, sah-sah saja meminta bantuan pihak ketiga. Namun, pilihlah yang betul-betul obyektif dan kalau bisa tidak cuma satu orang. Jika masih saja tak mendapat solusi, tak ada salahnya bertemu psikolog agar kita lebih fleksibel melihat persoalan. "Setiap konflik butuh solusi. Jadi, yang harus dilawan atau dipecahkan adalah problemnya."

Akhirnya, jika tinggal bersama justru dirasa menciptakan konflik, tak ada salahnya memutuskan tinggal terpisah dari mertua. "Walau bagaimanapun, mertua adalah orangtua sendiri. Jadi, konflik adalah sebuah kelebihan, artinya menunjukkan bahwa hubungan menantu dan mertua cukup dekat. Kalau jauh, kan enggak mungkin ada konflik." pungkas Vera.

 Hasto Prianggoro