Pasanganku Gila Belanja (1)

By nova.id, Minggu, 6 Maret 2011 | 17:02 WIB
Pasanganku Gila Belanja 1 (nova.id)

Pasanganku Gila Belanja 1 (nova.id)

""

Menurut Widiawati Bayu, S.Psi., konsumtif atau gila belanja, sebetulnya tergantung dari apa yang kita punya (keuangan). "Kalau soal keuangan rumah tangga, harusnya sudah disiapkan untuk pengeluaran pos-pos bulanan. Ada pos yang diperankan oleh istri dan ada yang diperankan oleh suami. Setiap rumah tangga pasti beda-beda pos dan kebutuhannya, tergantung komitmen yang sudah dibuat masing-masing pasangan," jelasnya.

Meskipun relatif jarang, tetapi Widiawati mengaku pernah punya klien yang bisa masuk kategori gila belanja. "Ia punya dorongan tersendiri, kalau belum belanja rasanya belum puas, jadi sangat impulsif," terangnya. Biasanya, orang-orang ini tidak bisa mengendalikan dorongan itu, dan bahkan membiarkan dirinya berbelanja.

Kebanyakan, perilaku konsumtif itu pasti dilakukan oleh mereka yang mempunyai duit. "Kalau enggak punya duit, apa yang mau dikonsumsi? Cuma, masalahnya bukan mentang-mentang punya duit terus konsumtif, tetapi bagaimana kita mengelola keuangan dengan baik. Kita kan, hidup bukan hari ini saja? Harus punya planning, untuk ke depan bagaimana mengelola keuangan, dan sebagainya," lanjut psikolog perkawinan dan keluarga dari Kasandra Associates ini.

Apalagi, zaman sekarang ini banyak istri yang bekerja, sehingga pasangan bisa membagi mana yang dilakukan istri dan mana yang dilakukan suami. "Istri juga lebih leluasa untuk berbelanja, karena merasa itu uangnya sendiri. Tetapi, sepanjang itu menyangkut keperluan keluarga, tetap harus ada kontrol dari kedua pihak," kata Widiawati.

Pengaruh Iklan dan Teman

Perilaku konsumtif dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor eksternal misalnya pengaruh iklan di media cetak/elektronik, dan "iklan" dari teman-teman (lingkungan).

"Bukan hanya apa yang dibeli teman, tapi apa yang dipakai oleh teman? Barangkali, Si Teman ini tidak secara eksplisit memengaruhi untuk membeli, tetapi dengan melihat, Si Impulsif ini punya keinginan untuk beli juga," kata Widiawati. Pengaruh ini yang menurut Widiawati sangat kuat. "Belum lagi dengan banyaknya media yang memberi kesempatan produsen untuk menawarkan beragam produknya."

Memang, akhirnya kembali lagi kepada pribadi masing-masing, apakah kita bisa mengontrol keinginan untuk membeli, juga harus bisa melihat sejauh mana posisi keuangan kita. "Dan, yang ketiga, apakah barang yang kita beli itu berguna atau tidak? Kalau hanya sekadar untuk pemuasan pribadi, lalu ketika sampai di rumah merasa tidak berguna atau ternyata sudah punya barang yang sama, jadinya percuma," jelas Widiawati.

Jadi, yang dibutuhkan adalah sebuah pemikiran yang cermat ketika kita memutuskan untuk membeli barang. "Sering kita dengar istilah lapar mata? Nah, itu artinya kita hanya ingin beli, tanpa memikirkan fungsinya," lanjutnya.

Pembeli Impulsif

Seperti yang sudah disinggung di bagian atas, ada juga beberapa orang yang punya sifat impulsif, artinya melakukan sesuatu tanpa pertimbangan. Impulsif bukan merupakan gangguan perilaku, dan bentuknya bisa macam-macam, misalnya impulsif dalam perilaku dan impulsif dalam berbicara. Contohnya, orang yang ceplas-ceplos kalau berbicara, tanpa memerhatikan lingkungannya.