Menurut Widiawati Bayu, S.Psi., konsumtif atau gila belanja, sebetulnya tergantung dari apa yang kita punya (keuangan). "Kalau soal keuangan rumah tangga, harusnya sudah disiapkan untuk pengeluaran pos-pos bulanan. Ada pos yang diperankan oleh istri dan ada yang diperankan oleh suami. Setiap rumah tangga pasti beda-beda pos dan kebutuhannya, tergantung komitmen yang sudah dibuat masing-masing pasangan," jelasnya.
Meskipun relatif jarang, tetapi Widiawati mengaku pernah punya klien yang bisa masuk kategori gila belanja. "Ia punya dorongan tersendiri, kalau belum belanja rasanya belum puas, jadi sangat impulsif," terangnya. Biasanya, orang-orang ini tidak bisa mengendalikan dorongan itu, dan bahkan membiarkan dirinya berbelanja.
Kebanyakan, perilaku konsumtif itu pasti dilakukan oleh mereka yang mempunyai duit. "Kalau enggak punya duit, apa yang mau dikonsumsi? Cuma, masalahnya bukan mentang-mentang punya duit terus konsumtif, tetapi bagaimana kita mengelola keuangan dengan baik. Kita kan, hidup bukan hari ini saja? Harus punya planning, untuk ke depan bagaimana mengelola keuangan, dan sebagainya," lanjut psikolog perkawinan dan keluarga dari Kasandra Associates ini.
Apalagi, zaman sekarang ini banyak istri yang bekerja, sehingga pasangan bisa membagi mana yang dilakukan istri dan mana yang dilakukan suami. "Istri juga lebih leluasa untuk berbelanja, karena merasa itu uangnya sendiri. Tetapi, sepanjang itu menyangkut keperluan keluarga, tetap harus ada kontrol dari kedua pihak," kata Widiawati.
Pengaruh Iklan dan Teman
Perilaku konsumtif dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor eksternal misalnya pengaruh iklan di media cetak/elektronik, dan "iklan" dari teman-teman (lingkungan).
"Bukan hanya apa yang dibeli teman, tapi apa yang dipakai oleh teman? Barangkali, Si Teman ini tidak secara eksplisit memengaruhi untuk membeli, tetapi dengan melihat, Si Impulsif ini punya keinginan untuk beli juga," kata Widiawati. Pengaruh ini yang menurut Widiawati sangat kuat. "Belum lagi dengan banyaknya media yang memberi kesempatan produsen untuk menawarkan beragam produknya."
Memang, akhirnya kembali lagi kepada pribadi masing-masing, apakah kita bisa mengontrol keinginan untuk membeli, juga harus bisa melihat sejauh mana posisi keuangan kita. "Dan, yang ketiga, apakah barang yang kita beli itu berguna atau tidak? Kalau hanya sekadar untuk pemuasan pribadi, lalu ketika sampai di rumah merasa tidak berguna atau ternyata sudah punya barang yang sama, jadinya percuma," jelas Widiawati.
Jadi, yang dibutuhkan adalah sebuah pemikiran yang cermat ketika kita memutuskan untuk membeli barang. "Sering kita dengar istilah lapar mata? Nah, itu artinya kita hanya ingin beli, tanpa memikirkan fungsinya," lanjutnya.
Pembeli Impulsif
Seperti yang sudah disinggung di bagian atas, ada juga beberapa orang yang punya sifat impulsif, artinya melakukan sesuatu tanpa pertimbangan. Impulsif bukan merupakan gangguan perilaku, dan bentuknya bisa macam-macam, misalnya impulsif dalam perilaku dan impulsif dalam berbicara. Contohnya, orang yang ceplas-ceplos kalau berbicara, tanpa memerhatikan lingkungannya.
Nah, berbelanja tanpa pertimbangan termasuk impulsif perilaku. Sebetulnya, perilaku impulsif ini ada yang memang sudah menjadi ciri seseorang, tetapi ada juga beberapa orang yang sadar setelah sampai rumah bahwa ia berbelanja untuk hal-hal yang tidak penting.
"Pengendalian diri Si Impulsif ini sangat rendah dan harus ada yang memberi tahu. Kalau berharap sadar sendiri, susah. Yang jelas, semua perilaku bisa dikendalikan, kok," lanjutnya.
Sebagai Pelarian
Selain faktor eksternal, perilaku konsumtif juga dipengaruhi faktor internal. Dari beberapa klien yang ia temui, Widiawati menemukan bahwa perilaku gila belanja (konsumtif) ini hanya sebagai pelarian. Sama seperti pada saat seseorang sedang stres, kemudian ia melampiaskannya dengan banyak makan.
"Pada saat stres, kesal, banyak masalah, ia melampiaskannya dengan belanja barang-barang yang enggak penting," ujarnya. Ini sifatnya sangat internal dan kembali lagi, diperlukan pengendalian diri untuk bisa membuatnya berpikir, "Duh, saya stres kok malah belanja melulu, sih. Harusnya kan, tidak saya lakukan itu."
Faktor lain yang juga penting dipertimbangkan adalah pola asuh orangtua. Ketika masih kecil, orangtua sebaiknya memberikan pembelajaran mengenai bagaimana menggunakan uang sebaik-baiknya, tidak asal beli saja tetapi disesuaikan dengan kegunaannya. "Ajarkan juga, daripada membeli sesuatu yang hanya disimpan tidak berguna, kenapa tidak menabung saja?" kata Widiawati.
Pola asuh semacam ini akan membiasakan seseorang untuk selalu membuat pertimbangan ketika mau berbelanja, dan paling bagus diberikan pada periode kritis (critical period) seorang anak. Pasalnya, ketika SMP, anak biasanya sudah punya peer group. Biasanya, kalau ada satu anggota kelompok yang pakai, yang lain juga 'harus' pakai. Ini yang memicu seseorang untuk juga membeli.
Tinjau Kembali
Perilaku konsumtif atau gila belanja ini sepertinya wajar-wajar saja. Tetapi, bila dibiarkan terus-menerus, lama-lama bisa mengganggu hubungan suami-istri dan menimbulkan pertengkaran. "Kalau suami melihat istrinya sangat konsumtif, dia akan merasa apa yang dia dapatkan terbuang percuma, hanya dihambur-hamburkan. Suami biasanya menginginkan istri bisa mengelola keuangan dengan cara yang disepakati bersama, apakah dibelikan aset, investasi, dan sebagainya. Tapi, kalau duit habis dibelanjakan untuk hal-hal atau barang-barang yang tidak perlu, lama-lama bisa memicu pertengkaran," jelas Widiawati.
Jadi, selama perilaku konsumtif itu mengganggu keuangan keluarga, ada perlunya untuk meninjau kembali pengelolaan keuangan rumah tangga, termasuk misalnya mempertimbangkan pos-pos yang dipegang istri. Jika tidak, bisa-bisa kebobolan. Suami juga sebaiknya "menegur" istri supaya bisa mengerem hobi belanjanya. "Tentu, harus disampaikan secara asertif dengan bahasa yang tidak menyinggung pasangan," saran Widiawati.
Komitmen dalam hal pengelolaan keuangan juga sangat penting. Misalnya, bagian suami adalah membayar tagihan telepon, tagihan listrik, dan sebagainya, sementara istri urusan sekolah anak, misalnya. Selama kedua pihak mampu mengendalikan diri dan patuh pada komitmen, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Hasto Prianggoro / bersambung