Nah, berbelanja tanpa pertimbangan termasuk impulsif perilaku. Sebetulnya, perilaku impulsif ini ada yang memang sudah menjadi ciri seseorang, tetapi ada juga beberapa orang yang sadar setelah sampai rumah bahwa ia berbelanja untuk hal-hal yang tidak penting.
"Pengendalian diri Si Impulsif ini sangat rendah dan harus ada yang memberi tahu. Kalau berharap sadar sendiri, susah. Yang jelas, semua perilaku bisa dikendalikan, kok," lanjutnya.
Sebagai Pelarian
Selain faktor eksternal, perilaku konsumtif juga dipengaruhi faktor internal. Dari beberapa klien yang ia temui, Widiawati menemukan bahwa perilaku gila belanja (konsumtif) ini hanya sebagai pelarian. Sama seperti pada saat seseorang sedang stres, kemudian ia melampiaskannya dengan banyak makan.
"Pada saat stres, kesal, banyak masalah, ia melampiaskannya dengan belanja barang-barang yang enggak penting," ujarnya. Ini sifatnya sangat internal dan kembali lagi, diperlukan pengendalian diri untuk bisa membuatnya berpikir, "Duh, saya stres kok malah belanja melulu, sih. Harusnya kan, tidak saya lakukan itu."
Faktor lain yang juga penting dipertimbangkan adalah pola asuh orangtua. Ketika masih kecil, orangtua sebaiknya memberikan pembelajaran mengenai bagaimana menggunakan uang sebaik-baiknya, tidak asal beli saja tetapi disesuaikan dengan kegunaannya. "Ajarkan juga, daripada membeli sesuatu yang hanya disimpan tidak berguna, kenapa tidak menabung saja?" kata Widiawati.
Pola asuh semacam ini akan membiasakan seseorang untuk selalu membuat pertimbangan ketika mau berbelanja, dan paling bagus diberikan pada periode kritis (critical period) seorang anak. Pasalnya, ketika SMP, anak biasanya sudah punya peer group. Biasanya, kalau ada satu anggota kelompok yang pakai, yang lain juga 'harus' pakai. Ini yang memicu seseorang untuk juga membeli.
Tinjau Kembali
Perilaku konsumtif atau gila belanja ini sepertinya wajar-wajar saja. Tetapi, bila dibiarkan terus-menerus, lama-lama bisa mengganggu hubungan suami-istri dan menimbulkan pertengkaran. "Kalau suami melihat istrinya sangat konsumtif, dia akan merasa apa yang dia dapatkan terbuang percuma, hanya dihambur-hamburkan. Suami biasanya menginginkan istri bisa mengelola keuangan dengan cara yang disepakati bersama, apakah dibelikan aset, investasi, dan sebagainya. Tapi, kalau duit habis dibelanjakan untuk hal-hal atau barang-barang yang tidak perlu, lama-lama bisa memicu pertengkaran," jelas Widiawati.
Jadi, selama perilaku konsumtif itu mengganggu keuangan keluarga, ada perlunya untuk meninjau kembali pengelolaan keuangan rumah tangga, termasuk misalnya mempertimbangkan pos-pos yang dipegang istri. Jika tidak, bisa-bisa kebobolan. Suami juga sebaiknya "menegur" istri supaya bisa mengerem hobi belanjanya. "Tentu, harus disampaikan secara asertif dengan bahasa yang tidak menyinggung pasangan," saran Widiawati.
Komitmen dalam hal pengelolaan keuangan juga sangat penting. Misalnya, bagian suami adalah membayar tagihan telepon, tagihan listrik, dan sebagainya, sementara istri urusan sekolah anak, misalnya. Selama kedua pihak mampu mengendalikan diri dan patuh pada komitmen, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Hasto Prianggoro / bersambung