Nah, bila itu semua sudah diketahui dan dibicarakan selagi masih pacaran, tentunya tak akan menjadi gangguan selama tahun-tahun pertama. Kalaupun ada gangguan, maka hanya berupa kerikil-kerikil kecil yang masih bisa disepak. Itulah mengapa Yati menganjurkan sebelum menikah sebaiknya kita sudah benar-benar tahu dengan siapa kita akan menikah, baik kelebihan maupun kekurangan.
Tentunya setelah tahu kita harus bersungguh-sungguh menerima dia apa adanya. Bukan menerima dengan setengah hati dan lantas berpikir, toh, nanti aku akan mengubah dia seperti apa maunya aku. "Itu kesalahan fatal," tandas Yati. Sebab, kita menikah dengan orang yang ketika bertemu sudah dewasa, yang pribadinya sudah terbentuk hingga ia dewasa itu. Jadi, kita tak mungkin bisa mengubahnya kecuali kalau ia memang mau mengubahnya sendiri.
Kecuali itu, pasangan juga harus sadar bahwa dalam perkawinan ada hak dan kewajiban. "Kadang orang hanya ingat pada hak dan lupa pada kewajibannya," ujar Yati. Adalah tugas kita untuk mengingatkan pasangan kalau ia sampai lupa pada kewajibannya, bahwa kewajibannya kini sudah menyangkut dua orang dan akan bertambah setelah punya anak, bukan sendiri lagi.
KOMUNIKASI DAN TOLERANSI
Tapi sebenarnya belum terlambat, kok, jika plus-minus tersebut tak diketahui saat masih pacaran. Toh, kita bisa melakukannya di awal perkawinan. Tapi hal ini hanya bisa terjadi apabila ada komunikasi, masing-masing saling membuka diri dan saling mendengarkan. Maklumlah, di tahun pertama perkawinan biasanya ego masing-masing masih sangat besar, selalu berbicara dalam konteks "aku" dan "dia", bukan "kami". "Padahal kalau orang sudah menikah berarti mereka telah menjadi satu. Jadi, dalam berbicara konteksnya bukan lagi 'aku' dan 'dia' tapi 'kami'. Pola 'demi kami' ini harus mulai dibiasakan sejak awal perkawinan," tutur Yati.
Misalnya, pasangan bilang, "Aku nggak suka kalau kamu marah terus lempar-lempar barang." Jangan malah kita bilang, "Kalau kamu nggak suka, kenapa kamu kawin sama aku?" Karena hal ini malah akan memperuncing konflik. Si pasangan tentu akan bilang, "Karena aku nggak menyangka kamu sejelek itu makanya aku mau kawin sama kamu." Akibatnya, malah perang", kan! Yang terbaik adalah bersikap mengerti, "Jadi, menurut kamu aku mesti berubah? Tapi kalau aku harus berubah, sedikit saja, ya. Soalnya sejak kecil aku sudah begitu. Jadi susah, kan, kalau aku langsung berubah banyak. Tapi kalau menurut argumentasi kamu, aku harus mengubah diri, ya, aku akan berusaha." Nah, dengan begitu, kan, enak jadinya.
Intinya adalah membuka keran komunikasi lebar-lebar dan bersikap toleransi karena kita tak bisa mengubah pasangan seperti yang kita inginkan. "Dengan adanya toleransi kita akan sadar bahwa manusia tak ada yang sempurna. Lagipula, ketika kita memilih dia untuk menjadi pasangan kita, mestinya dalam kepala kita yang terpikir adalah he is the best for me. Nah, kenapa sekarang hanya lihat yang kurangnya saja?"
Jangan lupa, Yati mengingatkan, bila sampai terjadi pecah "perang" berarti bukan hanya satu yang kecewa. "Saya yakin pasangannya juga kecewa." Munculnya rasa kecewa ini menandakan belum seluruh "dirinya yang diketahui, sehingga yang terjadi adalah adalah ia hanya melihat sisi negatifnya saja. Nah, agar kita juga bisa melihat sisi positif pasangan, saran Yati, buatlah daftar tentang apa saja yang kita sukai dari pasangan. "Mestinya yang bagusnya juga banyak. Bukankah karena yang bagus-bagus itu makanya dulu kita mau kawin dengannya?"
Perlu disadari pula, tambah Yati, semua orang menikah pasti akan kecewa. Jadi, jangan berpikir bahwa hanya kita yang kecewa. Pasangan kita pun pasti punya kekecewaan juga. Selain itu, bila salah satu marah pada saat berkomunikasi, maka yang dingin sebaiknya meredakan. Kalau sudah reda barulah dilakukan pendekatan. Bila perlu, saran Yati, pergilah ke suatu tempat untuk membicarakannya.
INSTROPEKSI BERDUA
Sering terjadi, pasangan muda segan untuk mengungkapkan kekecewaannya. Dipikirnya, "Masak, sih, baru tahun pertama saya sudah merasa kecewa, sudah memancing keributan." Akibatnya, demi menghindari keributan, dipendamlah rasa kecewa tersebut. Padahal, akhirnya, toh, akan ribut juga karena suatu saat akan meledak juga setelah tak tahan memendam kekecewaan demi kecewaan.
Oleh sebab itu, pesan Yati, "kalau sudah mulai ada yang mrengkel di dada, kita harus membicarakannya dengan pasangan. Sebaliknya, kalau kita melihat pasangan sudah mulai merengut melulu tapi tak dikeluarkan, maka kita harus peka bahwa ada sesuatu yang salah." Nah, segera lakukan introspeksi berdua, "Kita ngomong, yuk. Apa, sih, yang kamu tak suka dari aku?" Lalu diskusikan, "Bagaimana caranya, ya, supaya aku tidak lempar-lempar barang lagi?" Dengan demikian, kita ataupun si pasangan bisa mengubah diri. "Tapi jangan salah persepsi, lo. Kita memang harus memulai perkawinan dengan tak berpikir bahwa kita bisa mengubah dia sesuai kehendak kita. Tapi dilain pihak, orang bisa berubah kalau ia mau berubah. Jadi, yang jelek bisa berubah bagus tapi perubahan itu atas kemauannya sendiri, bukan kita yang maksain."