Mertua Gemar Meminta

By nova.id, Kamis, 20 Januari 2011 | 17:01 WIB
Mertua Gemar Meminta (nova.id)

*Batasi segala bentuk bantuan untuk mertua. Tekankan pada mertua, berkurangnya "derma" tak berarti berkurangnya bakti kita pada mereka.

*Biarkan pula mertua belajar untuk tak menganggap keluarga anak dan menantu sebagai tempat mengeruk rezeki.

*Biarkan pula mertua memahami bahwa bantuan tak harus selalu berbentuk uang, tapi bisa saja berupa perhatian.

* Bila memang ingin memberi bantuan, kita harus benar-benar iklas. Jangan pernah marah, menggerutu atau mengumpat, apalagi menyesal.

* Biasakan seluruh anggota keluarga untuk tak membebani hidup pada orang lain atas nama kekerabatan/keluarga besar atau dalih apa pun.

* Jangan mengharuskan diri menjadi menantu yang baik dengan cara "menyuap" mertua.

TAK MENDIDIK ANAK

Hati-hati, lo, Bu-Pak, bila kita terbiasa mengalah pada keinginan mertua tanpa berpegang pada skala prioritas, akan berdampak buruk buat anak. "Anak tak akan belajar menangkap hal-hal positif bila kita terbawa arus memenuhi kebutuhan sekunder orang tua atau mertua, sementara kebutuhan primer keluarga inti terlalaikan," tutur Catherine. Nah, ini, kan, sama sekali tak mendidik anak karena ia tak bisa melihat prioritas orang tuanya dengan jelas.

KENAPA, SIH, MERTUA DAN MENANTU PEREMPUAN SUKA KONFLIK?

Psikolog Ieda Poernomo Sigit Sidi mengakui, hubungan mertua dengan menantu perempuan memang rentan konflik. Soalnya, banyak sekali urusan sehari-hari dan kebiasaan hidup yang tersangkut paut di situ. Namun pada dasarnya, hubungan mertua-menantu ditentukan oleh pandangan orang tua terhadap anak. "Yang menganggap anak sebagai amanah tentu akan mendidik anak mereka sebaik mungkin tanpa pamrih. Yang mereka perbuat semata-mata sebagai bentuk tanggung jawab terhadap Sang Pencipta." Tak demikian bila orang tua menganggap anak sebagai "investasi", "mereka inilah yang biasanya bakal menimbulkan masalah dalam rumah tangga si anak."

Di sisi lain, menantu juga suka berprasangka buruk terhadap mertua, hingga makin mempertajam konflik. Kala mertua bermaksud baik mengulurkan bantuan, misal, si menantu malah mengartikannya sebagai bentuk campur tangan, sikap sok tahu atau sok ngatur dan mengekang kebebasan. Belum lagi persepsi dan opini masyarakat yang terlanjur salah kaprah, hingga hubungan menantu-mertua seolah-olah ajang persaingan yang tak pernah berakhir.

Nah, baik menantu maupun mertua harusnya sama-sama mampu bersikap bijak; minimal tahu menempatkan diri dan berusaha memahami orang lain. Jadi, daripada kita pusing terus-menerus gara-gara sikap mertua yang tak menyenangkan, apa nggak lebih baik bila kita berusaha menyesuaikan diri saja? Apalagi hidup, pada dasarnya merupakan proses penyesuaian diri secara terus menerus. Saran Ieda, jangan pernah lelah untuk mengenal dan mengenalkan diri pada orang lain; mengenali mertua dan berusaha mencari titik temu.

Tentu kita boleh melibatkan suami dalam hal ini. Bagaimanapun, kata Ieda, suami memang harus jadi jembatan agar ketidakpuasan istri bisa sampai pada mertua tanpa menyinggung perasaan atau harga diri si mertua. Nah, mengapa tak dibicarakan saja dengan suami mengenai persoalan yang kita hadapi dengan ibunya? Termasuk kebiasaan beliau minta ini-itu. Tentu secara baik-baik, lo.

Th. Puspayanti/nakita