Kala Bunda Tiada

By nova.id, Selasa, 11 Januari 2011 | 17:00 WIB
Kala Bunda Tiada (nova.id)

Jangan langsung "mengungsikan" si kecil ke rumah neneknya, ya, Pak, hanya karena khawatir tak bisa mengurusnya. Jangan pula buru-buru cari istri pengganti. Soalnya, keterampilan merawat, mengasuh, dan mendidik anak bisa dipelajari, kok.

Saat melayat kenalan atau kerabat yang meninggal dunia selagi anaknya masih balita atau bayi, kita pasti trenyuh. Tak terbayangkan bagaimana si kecil bisa menjalani kehidupannya. Komentar senada pun lantas terlontar, "Duh... kasihan banget, ya, anak segitu sudah ditinggal ibunya. Ikut siapa dia nantinya?" Seolah nasib baik si anak untuk mendapat pengasuhan dan ketulusan cinta seorang ibu harus berakhir bersama ajal si ibu. Peluangnya untuk mengalami proses tumbuh-kembang wajar pun, seakan tertutup sudah. Benarkah?

"Ah, enggak juga, kok!" tandas Ieda Poernomo Sigit Sidi. Menurut konsultan perkawinan ini, anggapan semacam itu muncul karena orang terjebak pada opini masyarakat yang terlanjur salah kaprah. Keluarga almarhumah, contoh, langsung memutuskan anak piatu tadi mesti ikut nenek, tante, bude atau siapapun yang berjenis kelamin perempuan. Pertimbangannya, anak nggak akan terurus di tangan bapak yang sibuk kerja. Dianggapnya, si bapak pasti tak akan mampu mengurus anak; beda dengan ibu yang jelas-jelas punya naluri keibuan.

Padahal, kata Ieda, perasaan keibuan pun sebenarnya tak terberi atau terbentuk begitu saja, melainkan melalui proses panjang, jauh sebelum anak dilahirkan. Jadi, bukan semata-mata karena ibu berjenis kelamin perempuan, secara otomatis bisa merawat, mengasuh, dan mendidik anak. Dengan demikian, meski ibu tiada, hidup anak bisa terus berlanjut hingga kita tak perlu kelewat mengkhawatirkan nasib dan masa depan si anak piatu ini. "Anak bisa tetap tumbuh normal, tak ubahnya anak yang ditunggui kedua orang tuanya."

Yang penting, tekan Ieda, anak punya sosok pengganti figur ibu yang bisa melakukan kewajibannya. Namun sosok pengganti ini tak harus selalu perempuan semisal nenek atau tante atau bahkan ibu tiri. "Ayah pun bisa menjadi sosok pengganti figur ibu." Jangan lupa, keterampilan merawat, mengasuh, dan mendidik anak bisa dipelajari. Jadi, ayah pun bisa belajar bagaimana memberi makan, menenangkan bayi/anak yang menangis, mendisiplinkan anak, mengajarinya membaca, dan sebagainya. "Enggak usah tokoh genderis, deh," tandasnya.

Lain hal bila anak tak punya sosok pengganti figur ibu atau punya tapi tak optimal memainkan perannya, barulah ia merasa kesepian dan terbuang. Bila hal ini berlanjut terus, tak heran jika pertumbuhan dan perkembangannya enggak optimal.

KONSEKUENSI PERKAWINAN

Sebenarnya, tutur Ieda, ada banyak pilihan yang bisa dilakukan ayah bagi anaknya tanpa kehadiran istri. Pertama, coba rumuskan kembali apa makna anak dalam keluarga. "Bila kita menganggap anak merupakan konsekuensi sebuah perkawinan, apa pun yang terjadi, anak seutuhnya tetap milik keluarga. Dengan demikian, meninggalnya ibu tak harus membuat anak tercabut dari akar dalam keluarganya," terang psikolog lulusan Fakultas Psikologi UI ini.

Nah, bila si ayah menganggap anak merupakan konsekuensi perkawinan, berarti ia tak akan rela anak-anak tercerai-berai lantaran dititipkan ke sana ke mari. Sekalipun ia merasa enggak pas menggantikan posisi ibu, si kecil tetap bersamanya karena yang ada dalam benaknya, "Mereka adalah anak-anakku, tanggung jawabku sepenuhnya, dalam kondisi apapun." Meski pada prakteknya sah-sah saja bila ia menempatkan orang yang bisa diandalkan semisal babysitter untuk memenuhi kebutuhan si kecil.

Hanya saja, pesan Ida, bila menetapkan pilihan ini, ayah harus tetap hadir dalam kehidupan anak sebagai ayah sekaligus ibu dengan segala konsekuensinya. Jadi nggak ada lagi cerita, ya, Pak, sepulang kerja keluyuran sesuka hati dan baru tiba larut malam, misal. "Saat tak bekerja pun, ayah harus turun tangan mengambil alih semua tugas yang semula taken for granted kewajiban istrinya." Dengan begitu, hubungan ayah-anak tak harus terputus, kan, hanya gara-gara ibu meninggal?

Seandainya memang tak ada orang yang diandalkan untuk menjaga si kecil di rumah, masih ada pilihan lain, yakni model ayah week end. Artinya, selama hari-hari kerja, anak "diungsikan" ke rumah kerabat sambil tetap sesekali ditengok, entah saat berangkat atau sepulang kantor, dan baru dijemput kembali saat ayah libur. Dengan cara begini, "anak tetap menjadi bagian dari keluarganya karena secara fisik dan mental tak 'dikucilkan' dari rumah."

Pilihan ketiga, ayah benar-benar angkat tangan hingga anak harus dititipkan dalam arti sebenarnya. Bila pilihan ini yang memang harus ditempuh, tak ada salahnya, kok, Pak. Cuma, ada hal-hal yang perlu dipertanyakan lebih jauh. Misal, apa iya, sih, anak harus diungsikan dari rumahnya sendiri hanya karena ibu meninggal? "Kalau si anak punya bapak dan rumah sendiri, kenapa cuma dianggap barang pajangan atau manusia pengungsian?" ujar Ieda.