Jangan langsung "mengungsikan" si kecil ke rumah neneknya, ya, Pak, hanya karena khawatir tak bisa mengurusnya. Jangan pula buru-buru cari istri pengganti. Soalnya, keterampilan merawat, mengasuh, dan mendidik anak bisa dipelajari, kok.
Saat melayat kenalan atau kerabat yang meninggal dunia selagi anaknya masih balita atau bayi, kita pasti trenyuh. Tak terbayangkan bagaimana si kecil bisa menjalani kehidupannya. Komentar senada pun lantas terlontar, "Duh... kasihan banget, ya, anak segitu sudah ditinggal ibunya. Ikut siapa dia nantinya?" Seolah nasib baik si anak untuk mendapat pengasuhan dan ketulusan cinta seorang ibu harus berakhir bersama ajal si ibu. Peluangnya untuk mengalami proses tumbuh-kembang wajar pun, seakan tertutup sudah. Benarkah?
"Ah, enggak juga, kok!" tandas Ieda Poernomo Sigit Sidi. Menurut konsultan perkawinan ini, anggapan semacam itu muncul karena orang terjebak pada opini masyarakat yang terlanjur salah kaprah. Keluarga almarhumah, contoh, langsung memutuskan anak piatu tadi mesti ikut nenek, tante, bude atau siapapun yang berjenis kelamin perempuan. Pertimbangannya, anak nggak akan terurus di tangan bapak yang sibuk kerja. Dianggapnya, si bapak pasti tak akan mampu mengurus anak; beda dengan ibu yang jelas-jelas punya naluri keibuan.
Padahal, kata Ieda, perasaan keibuan pun sebenarnya tak terberi atau terbentuk begitu saja, melainkan melalui proses panjang, jauh sebelum anak dilahirkan. Jadi, bukan semata-mata karena ibu berjenis kelamin perempuan, secara otomatis bisa merawat, mengasuh, dan mendidik anak. Dengan demikian, meski ibu tiada, hidup anak bisa terus berlanjut hingga kita tak perlu kelewat mengkhawatirkan nasib dan masa depan si anak piatu ini. "Anak bisa tetap tumbuh normal, tak ubahnya anak yang ditunggui kedua orang tuanya."
Yang penting, tekan Ieda, anak punya sosok pengganti figur ibu yang bisa melakukan kewajibannya. Namun sosok pengganti ini tak harus selalu perempuan semisal nenek atau tante atau bahkan ibu tiri. "Ayah pun bisa menjadi sosok pengganti figur ibu." Jangan lupa, keterampilan merawat, mengasuh, dan mendidik anak bisa dipelajari. Jadi, ayah pun bisa belajar bagaimana memberi makan, menenangkan bayi/anak yang menangis, mendisiplinkan anak, mengajarinya membaca, dan sebagainya. "Enggak usah tokoh genderis, deh," tandasnya.
Lain hal bila anak tak punya sosok pengganti figur ibu atau punya tapi tak optimal memainkan perannya, barulah ia merasa kesepian dan terbuang. Bila hal ini berlanjut terus, tak heran jika pertumbuhan dan perkembangannya enggak optimal.
KONSEKUENSI PERKAWINAN
Sebenarnya, tutur Ieda, ada banyak pilihan yang bisa dilakukan ayah bagi anaknya tanpa kehadiran istri. Pertama, coba rumuskan kembali apa makna anak dalam keluarga. "Bila kita menganggap anak merupakan konsekuensi sebuah perkawinan, apa pun yang terjadi, anak seutuhnya tetap milik keluarga. Dengan demikian, meninggalnya ibu tak harus membuat anak tercabut dari akar dalam keluarganya," terang psikolog lulusan Fakultas Psikologi UI ini.
Nah, bila si ayah menganggap anak merupakan konsekuensi perkawinan, berarti ia tak akan rela anak-anak tercerai-berai lantaran dititipkan ke sana ke mari. Sekalipun ia merasa enggak pas menggantikan posisi ibu, si kecil tetap bersamanya karena yang ada dalam benaknya, "Mereka adalah anak-anakku, tanggung jawabku sepenuhnya, dalam kondisi apapun." Meski pada prakteknya sah-sah saja bila ia menempatkan orang yang bisa diandalkan semisal babysitter untuk memenuhi kebutuhan si kecil.
Hanya saja, pesan Ida, bila menetapkan pilihan ini, ayah harus tetap hadir dalam kehidupan anak sebagai ayah sekaligus ibu dengan segala konsekuensinya. Jadi nggak ada lagi cerita, ya, Pak, sepulang kerja keluyuran sesuka hati dan baru tiba larut malam, misal. "Saat tak bekerja pun, ayah harus turun tangan mengambil alih semua tugas yang semula taken for granted kewajiban istrinya." Dengan begitu, hubungan ayah-anak tak harus terputus, kan, hanya gara-gara ibu meninggal?
Seandainya memang tak ada orang yang diandalkan untuk menjaga si kecil di rumah, masih ada pilihan lain, yakni model ayah week end. Artinya, selama hari-hari kerja, anak "diungsikan" ke rumah kerabat sambil tetap sesekali ditengok, entah saat berangkat atau sepulang kantor, dan baru dijemput kembali saat ayah libur. Dengan cara begini, "anak tetap menjadi bagian dari keluarganya karena secara fisik dan mental tak 'dikucilkan' dari rumah."
Pilihan ketiga, ayah benar-benar angkat tangan hingga anak harus dititipkan dalam arti sebenarnya. Bila pilihan ini yang memang harus ditempuh, tak ada salahnya, kok, Pak. Cuma, ada hal-hal yang perlu dipertanyakan lebih jauh. Misal, apa iya, sih, anak harus diungsikan dari rumahnya sendiri hanya karena ibu meninggal? "Kalau si anak punya bapak dan rumah sendiri, kenapa cuma dianggap barang pajangan atau manusia pengungsian?" ujar Ieda.
Lagi pula, harus diingat, kerabat yang menampung si anak, kan, juga punya keluarga dan kerepotan sendiri. Belum lagi jika si kerabat juga punya anak, lantas bagaimana posisi si kecil? Ingat, lo, Pak, mereka kini sama-sama berstatus sebagai anak. Jangan sampai perbedaan perlakuan membuat si kecil kehilangan haknya sebagai anak.
Tapi jangan lantas si kecil dititipkan di panti asuhan, ya, Pak, karena anak tak merasakan sebagai keluarga utuh. Lain hal bila dititipkan dalam sebuah keluarga, ia tetap bisa menikmati rasanya disayang dan diperhatikan sebagai anak, adik atau kakak. Tentu saja agar tercipta kondisi seperti itu, seluruh anggota keluarga baru yang dititipi harus siap mental memposisikan diri sebagai keluarga buat si anak.
JANGAN TURUNKAN POTRET
Bila pilihan-pilihan di atas dinilai tak ada yang pas, mungkin alternatif berikut bisa dipilih, yakni mencari istri baru yang diharapkan bisa menjadi ibu pengganti buat anak. Tapi keputusan ini hendaknya tak diambil tergesa-gesa mengingat si kecil baru saja kehilangan ibu. "Kita harus menempatkan kebutuhan anak pada prioritas pertama," kata Ieda. Coba, deh, bayangkan bila kita yang jadi si kecil, bagaimana perasaannya yang baru saja kehilangan ibu. Bukankah ia akan tambah bingung dan terpukul di saat ia masih bertanya-tanya apa yang terjadi, tiba-tiba muncul "orang baru" dalam keluarganya? Apalagi jika tanpa dibekali penjelasan apapun sebelumnya atau diminta pertimbangannya.
Jadi, tegas peminat masalah perkawinan, wanita, keluarga, dan anak ini, jika pilihan ini yang diambil, sebaiknya disertai pertimbangan yang betul-betul matang. "Jangan sampai kepentingan anak tersisihkan akibat pemaksaan hak karena kita menentu-nentukan sendiri tanpa memikirkan kepentingan anak. Belum lagi bila wanita pilihan si ayah tak siap mental menjadi ibu dalam arti sebenarnya." Jangan pula memutuskan menikah kembali hanya dengan dalih, "Habis kepaksa sih, anak-anak nggak ada yang ngurus." Soalnya, niat awal semacam ini biasanya malah sering terlupakan. Keadaan pun bisa jadi tambah runyam dan bukan tak mungkin muncul sederet masalah baru semisal istri yang cemburuan atau suami yang masih meratapi kepergian almarhumah.
Yang tak kalah penting, pikirkan pula dan pastikan bagaimana posisi anak dalam keluarga barunya; apakah hati ibu pengganti bisa sama adil kepada anak "titipan" dan anaknya sendiri yang kelak lahir? Selain itu, si ayah maupun istri barunya tak berhak menurunkan potret almarhumah. Bila istri pengganti memang keberatan lantaran cemburu, biarkan potret almarhumah tetap tergantung di kamar anak. Apa pun alasannya, ia tetap ibu si kecil. Biarkan si kecil berlama-lama memandangi foto tersebut sambil mengenang kebersamaan dengan ibunya karena dalam diri tiap anak pasti muncul angan-angan, "Coba, ya, kalau ibu masih ada."
Jangan pula halangi keinginan si kecil berziarah ke makam ibunya. Bila perlu manfaatkan kebersamaan ini buat memperkokoh hubungan si kecil dengan ibu pengganti. Tumbuhkan kepercayaan dalam diri si kecil, ibu pengganti ada untuk menyayanginya dan bukan merebut ayah dari ibu kandungnya.
Mudah-mudahan Bapak bisa menemukan solusi yang tepat agar si kecil bisa tetap tumbuh kembang optimal meski ibu tiada.
Th. Puspayanti/nakita