Katanya Pinjam, Tapi, Kok, Nggak Bilang-Bilang

By nova.id, Jumat, 20 Mei 2011 | 17:02 WIB
Katanya Pinjam Tapi Kok Nggak Bilang Bilang (nova.id)

Wajar, kok, Bu-Pak. Ia, kan, belum mengerti konsep meminjam. Namun tetap tak boleh dibiarkan. Jangan sampai ia menganggap, mengambil diam-diam itu sah-sah saja.

Saat membereskan barang-barang si kecil, coba, deh, perhatikan dengan teliti. Bukan tak mungkin Ibu-Bapak menemukan benda-benda "asing" di situ, entah dompet kecil milik Ibu atau bolpen kepunyaan Bapak yang "hilang" maupun benda-benda lain yang jelas-jelas bukan milik si kecil. Kala hal tersebut ditanyakan, si kecil dengan polos menjawab, "Iya, itu dompet Ibu. Kan, aku pinjam." Padahal, ia jelas-jelas tak pernah bilang "pinjam" kala mengambil dompet itu. Malah, Ibu sama sekali tak tahu kala ia "meminjam" dompet itu.

Mungkin kita takkan terlalu mempersoalkan jika barang-barang "asing" itu kepunyaan kita sendiri atau anggota keluarga lain yang terbilang amat dekat. Namun bila benda-benda itu kepunyaan teman kita yang "dipinjam" si kecil kala kita mengajaknya berkunjung ke rumah si teman, atau mainan milik anak tetangga yang si kecil "pinjam" saat bermain ke rumahnya, tentu persoalannya akan lain, "Mau ditaruh di mana mukaku?" Katanya pinjam, tapi, kok, enggak bilang sama pemiliknya. Bukankah sama saja dengan mencuri? Jadi, wajarlah bila kita malu.

Namun, jangan buru-buru mengumbar amarah pada si kecil apalagi sampai menuduhnya pencuri. Soalnya, anak usia prasekolah masih rancu pada konsep meminjam. "Ia belum mengerti bahwa mengambil sesuatu milik orang lain harus meminjam dulu pada si empunya barang. Ia pun belum mengerti bahwa mengambil barang milik orang lain tanpa seijin empunya sama saja mencuri," terang Sherly Saragih Turnip, Psi. dari Klinik Anakku, Bekasi.

KEBUTUHAN TAK TERPENUHI

Buat anak usia prasekolah, lanjut Sherly, semua barang yang ada di depannya adalah miliknya. Hal ini terjadi karena anak masih sangat egosentris. Ia melakukan perbuatan ini tak lain untuk pemuasan kebutuhannya semata gara-gara ada kebutuhannya yang tak terpenuhi. "Jadi, bukan untuk membuat orang tunya malu, marah, atau menyusahkan si empunya barang. Juga, tak ada maksud sedikit pun ia melakukan kejahatan." Misal, si kecil "meminjam" pensil tantenya. Mungkin saja ia butuh pensil tersebut untuk belajar menulis atau menggambar sesuatu tapi ia tak memilikinya. Hingga, kala melihat pensil si tante tergeletak di meja belajarnya, si kecil langsung "meminjam"nya alias mengambilnya tanpa bilang lagi pada si tante.

Perilakunya ini, boleh jadi lantaran orang tua kurang memperhatikan kebutuhan anak. Namun bila kebutuhannya terpenuhi, ia pun akan berpikiran, "Ngapain aku 'meminjam' punya Tante? Aku, kan, sudah punya.", misal. Terlebih jika pensil miliknya, menurutnya, jauh lebih bagus ketimbang pensil si tante, pastilah ia tak sedikit pun tertarik pada pensil si tante. Itulah mengapa, tegas Sherly, orang tua harus yakin bahwa kebutuhan anaknya terpenuhi.

Namun jangan salah, bukan berarti kita lantas jarus penuhi segalanya, lo. Kalau apa-apa selalu dipenuhi, juga tak mendidik, karena hanya akan membuatnya manja atau selalu memaksakan diri. Tentu ini akan jadi masalah baru kala kita terbentur pada dana dan kemampuan, misal.

ANTI SOSIAL

Hal lain yang perlu diperhatikan, perkembangan kognitif anak juga masih terbatas. Ia beranggapan, jika tak ada yang tahu, nggak apa-apa, kok, mengambil atau "meminjam" sesuatu milik orang lain.

Kendati tak tertutup kemungkinan anak melakukannya lantaran ingin diperhatikan orang tua. Misal, si kecil baru punya adik bayi. Bukankah dengan adanya bayi, waktu ibu lebih banyak bersama si bayi? Sementara sebelum lahirnya si adik, dirinyalah yang jadi pusat perhatian. Hingga, muncullah perilaku tersebut karena ia tahu ibunya pasti kesal dengan perilakunya itu. "Makanya, sebagai orang tua harus selalu dapat membagi perhatian, kasih sayang, dan cinta adil kepada semua anaknya," tandas Sherly.

Penyebab lain, bisa jadi karena karakter si anak memang demikian, yaitu karakter anti sosial. "Anak-anak seperti ini cenderung cuek dan tak merasa bersalah dengan perbuatannya itu. Pun setelah kita beri tahu," jelas staf pengajar di Fakultas Psikologi UI ini. Hingga, tak heran jika perilaku ini akan diulang-ulang. Beda dengan anak yang tak punya karakter ini, "setelah diberi tahu bahwa meminjam diam-diam itu sama saja dengan mencuri, ia takkan melakukannya lagi."

Adapun yang membentuk karakter anti sosial bisa berbagai hal. Salah satunya, faktor gen. Bukankah gen-gen yang membentuk sifat manusia? "Nah, pada saat pembentukan, gen-gen ini bisa saja mengalami kegagalan pembelahan, hingga terjadilah mutasi-mutasi gen tertentu yang bisa menyebabkan seorang anak punya karakter tertentu. Antara lain, karakter anti sosial ini."

Pengaruh luar semacam obat-obatan yang diperoleh anak sesudah lahir pun bisa mempengaruhi simpul-simpul saraf anak, hingga memungkinkan anak berkarakter anti sosial. Bukan itu saja, pengaruh dan didikan lingkungan sekitar atau pemberian contoh tak baik yang kerap orang tua perlihatkan pada anak juga bisa jadi penyebabnya.

Bukan berarti karakter ini tak bisa diubah, lo. "Caranya, selalu beri pengertian dan contoh yang baik pada anak dalam segala bidang. Bagaimanapun, orang tua tetaplah tokoh sentral bagi anak seusia ini. Jadi, bila orang tuanya baik, tak menutup kemungkin anaknya pun akan menirukan hal yang sama." Jikapun penyebabnya pengaruh gen atau obat-obatan, bukan tak mungkin pula diobati. Caranya tentu dengan menjalani terapi dan diberi obat-obatan tertentu yang diresepkan dokter.

BERI CONTOH DAN KONSISTEN

Pun pada anak yang tak anti sosial dan si pencemas, kita harus memberinya pengertian bahwa main ambil saja tanpa bilang lebih dulu sama yang punya, meskipun enggak ada yang lihat, itu berarti mencuri. Bisa juga dengan menekankan pada agama, "Sekalipun enggak ada yang lihat perbuatan kita, tapi sebenarnya ada yang tahu, lo. Tuhan, kan, tahu kamu mengambil barang milik orang lain." Dengan begitu, anak pun akan berpikir bila hendak "meminjam" bahwa Tuhan selalu melihat apa yang sedang ia lakukan.

Pada anak pencemas, terang Sherly, biasanya akan merasa takut sekali untuk mengambil sesuatu. Namun yang ditakutkannya bukan takut bersalah ataupun berdosa, melainkan takut ketahuan. Soalnya, yang jadi masalah bagi anak dalam hal ini adalah ketahuannya, bukan benar-tidaknya perbuatan tersebut.

Namun dalam memberi pengertian harus dengan kalimat sederhana yang mudah dipahami anak. Misal, "Nak, Bunda tahu kamu hanya meminjam. Tapi yang namanya meminjam itu harus bilang dulu sama yang punya. Jadi, lain kali bilang sama yang punya, ya, kalau kamu ingin pinjam apa pun."

Tentunya, pengertian saja belum cukup bila tak dibarengi contoh sehari-hari dari orang tua. Jadi, bila kita membutuhkan barang milik anak, jangan sungkan untuk bilang padanya, "Nak, Bunda pinjam pensil kamu sebentar, ya. Bunda harus mencatat nomor telepon teman Bunda, nih.", misal.

Selain itu, kita pun harus konsisten. Jangan karena sedang buru-buru harus mencatat nomor telepon, misal, kita lantas main ambil saja pensil kepunyaan si kecil. Ia pasti akan bertanya, 'Kok, Bunda ambil pensil aku enggak bilang-bilang lagi?" Bila hal ini kerap terjadi, si kecil bisa saja punya anggapan, "Berarti, kalau aku mau pinjam, biarpun enggak bilang, aku bukan mencuri." Kalau sudah begitu, percuma, kan, apa yang sudah kita ajarkan selama ini?

JAGA KEDEKATAN HUBUNGAN

Tak kalah penting, yakinkan anak agar berani bilang atau minta pada orang tua maupun orang lain akan kebutuhannya. "Ia mesti dibiasakan, jika ingin sesuatu harus minta lebih dulu," bilang Sherly.

Namun pembiasaan ini baru bisa tercapai bila orang tua selalu menjaga kedekatan hubungan dengan anak, hingga anak pun tak canggung atau takut untuk mengungkapkan keinginannya. "Pokoknya, jangan sampai anak punya anggapan, jika aku ingin sesuatu dengan meminta pasti takkan dipenuhi." Sebab, lanjut Sherly, jika anak sudah punya anggapan demikian, pasti ia akan merasa percuma saja. "Ia akan merasa lebih baik mengambil sendiri ketimbang minta."

Selain itu, tentu saja orang tua harus mencukupi kebutuhan pokok anak dan menerapkan disiplin yang tepat. "Misal, bila kita selalu membiasakan anak makan berat 3 kali dan makanan ringan 2 kali secara teratur, ia pasti tak menginginkan makanan yang ditemukannya jika belum tiba saatnya, sekalipun makanan itu kesukaannya. Nah, dengan begitu, ia pasti takkan melakukan sesuatu di luar kebiasaannya."

TAK PERLU MEMARAHINYA

Jadi, tekan Sherly, tak perlu panik apalagi marah bila mendapati si kecil "meminjam". Kita pun tak boleh serta-merta menuduhnya, "Eh, kamu nakal, ya, masih kecil sudah mencuri!" Soalnya, sikap kita tersebut hanya akan membuat si kecil terheran-heran. Bukankah ia sebenarnya tak mencuri, melainkan pinjam? Nah, bila si kecil punya sifat anti sosial, tuduhan itu hanya membuatnya makin menjadi. "Ia bisa dendam, lo, pada kita. Ia akan melakukan perbuatan itu lagi, bahkan mungkin di tempat umum seperti supermarket, hanya demi membuat malu kita."

Itu sebab, meski si kecil melakukannya di rumah orang lain saat kita sedang bertamu, "kita tetap tak boleh memarahinya. Sekalipun kita kesalnya setengah mati." Jika dimarahi, terang Sherly, ia bukan cuma sebal sama kita, tapi juga akan menjadi-jadi. Ingat, perasaannya sudah berkembang, hingga bisa saja ia merasa kita tak menghargainya. Bukankah bagi anak seusia ini, hanya dirinya yang harus diperhatikan? Jadi, memarahinya sama saja menjauhkan hubungan si kecil dengan kita.

Selain itu, jika langsung memvonisnya sebagai pencuri ataupun kleptomania, label itu akan melekat pada dirinya dan susah sekali untuk melepasnya. Malah, ia dengan bangga akan bilang, "Aku, kan, kleptomania. Nih, lihat, aku hebat, kan, bisa mengambil ini.", misal. Apalagi kata "kleptomania" sesuatu yang baru dan dianggapnya keren. Ingat, anak mudah meniru maupun mengingat sesuatu yang baru baginya.

Jadi, bila ingin menegurnya, kita harus memberikan pengertian padanya bahwa perbuatan itu dilarang. Jikapun kita harus marah, misal, karena perbuatan itu diulang-ulang terus meski sudah diberi pengertian dan diajarkan nilai-nilai, saran Sherly, kita harus tegas dan ditujukan pada perbuatannya, bukan pada si anak. Misal, "Bunda ingin kamu tak berbuat seperti ini lagi. Bisa enggak, ya, kalau kamu seperti itu?!"

Demikian pula bila hendak menghukumnya, "jangan hukuman fisik karena tak mendidik." Anak pun takkan mengerti, "Kok, aku dihukum seperti ini, sih? Kan, aku cuma pinjam sebentar." Hukuman yang tepat, kata Sherly, yang menyangkut perasaan atau menyentuh emosi. "Anak itu, kan, paling sayang sama orang yang dekat dengannya, terutama ibu. Hingga, bila ibu merasa sakit karena perlakuannya, ia pun akan tersentuh hatinya." Jadi, katakan padanya, misal, "Bunda sedih, deh, kalau kamu melakukan perbuatan itu lagi." Dijamin si kecil akan menyesal karena ibunya harus menderita dan menanggung hasil perbuatannya. Itu sudah merupakan hukuman teramat berat buat anak.

Bisa juga dengan cara mengemukakan akibat dari perbuatannya itu terhadap orang lain yang dikaitkan dengan dirinya. "Anak akan lebih mengerti jika hal tersebut dia rasakan juga." Misal, "Bila kamu ambil barang itu, yang punya akan sedih dan sakit. Coba kalau cokelat kamu diambil oleh orang, apa yang kamu rasakan? Pasti kamu akan sedih, kan?"

JANGAN CUEK

Namun jangan sekali-kali bersikap cuek terhadap perbuatan ini. Banyak, kan, orang tua yang beranggapan, "Ah, enggak apa-apa, kok. Namanya juga anak kecil."? Hal ini sama saja menjerumuskan anak. Perilakunya makin menjadi-jadi dan ia pun tak pernah belajar bahwa mengambil diam-diam itu salah dan sama artinya dengan mencuri, sekalipun maksudnya meminjam.

Jangan pula beranggapan percuma saja memberikan penanaman moral pada anak karena ia, toh, masih terlalu kecil, hingga takkan mengerti. "Inilah kesalahan orang tua yang terbesar. Bukankah yang paling baik adalah mencegah daripada merehabilitasi?" bilang Sherly. Justru bila tak diajarkan, bisa jadi sampai besar ia tak tahu bahwa mengambil diam-diam itu perbuatan tak baik.

Memang, diakui Sherly, perilaku ini masih bisa diubah sekalipun orang tua baru menyadari hal tersebut setelah si anak masuk SD, "tapi akan sulit sekali, dibanding bila kita membenahinya selagi usia balita." Lagi pula, bila kita sampai "terlambat", bisa jadi anak mengalami gangguan sosial, "Ia dikucilkan temannya. Kita pun jadi malu, kan?"

Itu sebab, tekannya, memberi pengarahan dan pengertian sejak dini, yang diikuti contoh-contoh baik, amat penting karena lama-lama perbuatan yang menyimpang itu bisa hilang sendiri. "Jadi, bila sampai usia di atas 10 tahun si anak masih tetap melakukan perbuatan tak terpuji, maka orang tua harus introspeksi diri, sudahkan dirinya menjadi orang tua yang baik!" tandas Sherly mengakhiri.

Gazali Solahudin/nakita