Contohnya, anak sudah siap toilet training, tetapi Si Ibu malas karena capek. Anak sudah minta BAB, ibu atau orang di dekatnya sedang sibuk mengobrol dan malas mengantar anak ke kamar mandi. "Ini bisa mengembangkan yang namanya anal expulsive personality, di mana anak nantinya akan menjadi pemboros, berantakan, destructive terhadap diri sendiri, dan sebagainya," kata Reynitta.
Sebaliknya, jika orangtua terlalu keras dalam hal mengajarkan toilet training, maka yang terjadi adalah anal retentive personality, di mana anak bisa menjadi seorang yang rigid (kaku), tidak fleksibel, ketat pada diri sendiri, mengembangkan sikap obsesif terhadap sesuatu, dan sebagainya. Terlalu keras bisa terjadi karena anak belum siap, sementara orangtua melatih toilet training dengan punishment and reward.
"Padahal, di toilet training seharusnya tidak boleh ada punishment. Kalaupun ada, cuma sedikit," kata Reynitta. Misalnya, ketika anak BAB di celana, orangtua cukup mengatakan, "Ayo, kita bersihin yuk." Anak tidak boleh dimarahi, bahkan dimaki-maki. Punishment cukup berupa pemberian pengertian, misalnya, "Mudah-mudahan lain kali ditahan, yaa.." Sementara reward-nya bisa berupa pujian, seperti, "Wah, anak mama hebat, sudah bisa pipis di toilet..," dsb.
Penilaian Sosial
Yang tak kalah penting, setiap orang pasti akan melalui penilaian sosial. Pada anak-anak, biasanya penilaian itu datang dari teman-temannya karena dia "melakukan sesuatu yang tidak wajar". Nah, untuk menghindari rasa malu, bersalah, dan sebagainya, orangtua harus juga mengajarkan apa-apa yang biasanya dilakukan lingkungan.
Jadi, selain nilai-nilai dari keluarga yang mesti dipegang, ada juga nilai-nilai lingkungan yang harus ditanamkan ke anak. "Kalau tidak, anak akan susah untuk survive. Karena, anak-anak itu kan, masih rentan, diledekin sedikit sudah langsung sakit hati. Ke depan, ia bisa enggak pede, enggak mau bergaul, dan minder, karena jadi bahan tertawaan." pungkas Reynitta.
Hasto Prianggoro / bersambung