Pada usia batita, anak-anak punya tendensi belajar dengan cara modeling (meniru). "Ia mencontoh siapapun yang ada di dekatnya, bisa orangtua, saudara, caregiver, dan sebagainya. Jadi, jika anak perempuan pipis berdiri, sebetulnya masih normal, kok," kata Reynitta Poerwitto, MPsi., psikolog dari Eka Hospital, Tangerang.
Meski masih wajar, Reynitta menyarankan supaya Si Upik sebaiknya segera diberi tahu bahwa anak perempuan tidak diajarkan untuk pipis berdiri. Tapi, selama anak tidak menanyakan alasan kenapa anak perempuan harus pipis jongkok, sebaiknya tidak usah dijelaskan secara mendetail. Sebetulnya, kenapa anak perempuan harus pipis jongkok, semata hanya untuk kenyamanan. "Kalau anak perempuan pipis berdiri, kan, bisa mengotori kaki, misalnya," jelas Reynitta. Logikanya, setiap anak akan merasa tidak nyaman kalau air pipisnya mengotori kakinya.
Yang juga penting diperhatikan, jangan sampai anak lantas merasa nyaman pipis berdiri. Amannya, minta ia pipis dan buang air besar (BAB) di toilet. "Ajari ia untuk duduk di toilet. Sekarang, kan, banyak toilet duduk. Orangtua harus mengajarkan dan mengajak anak melihat orangtuanya pipis di toilet. Jadi, ia bisa melihat, nge-flush, dan membersihkan dirinya. Di usia batita, biasanya anak sudah bisa mengerti dan mengikuti."
Lihat Pertanda
Anak perempuan pipis berdiri ternyata juga ada hubungannya dengan kemampuannya dalam hal toilet training atau potty training. Ada anak di bawah usia setahun (18-24 bulan) yang sudah bisa diajari toilet training, tapi masih normal kalau anak usia 2-3 tahun belum bisa toilet training.
"Yang paling penting dari toilet training adalah kesiapan anak dan juga kesiapan orangtua," lanjut psikolog yang juga pengelola situs Web Konseling.
Sebetulnya, memang tidak ada ukuran normal kapan seorang anak harus cakap ber-toilet training. Yang dilihat adalah apakah orangtua cukup sabar dan cukup punya waktu untuk mengajari Si Anak. Sementara pada anak, dilihat apakah ada tanda-tanda ia sudah siap.
Tanda seorang anak sudah siap ber-toilet training bermacam-macam. Misalnya, anak mulai merasa tidak nyaman kalau pampers-nya basah atau ada pup di pampers-nya. Pada anak yang sudah bisa berbicara, ia bilang, "Ma, celananya ganti. Kotor, nih," atau ingin melepas celananya karena pipis atau BAB di celananya. Terkadang, ada anak yang karena merasa enggak nyaman, ia lalu menahan pipisnya. Ini berarti ia sudah siap.
Sebagai orangtua, 5 tahun pertama usia anak memang harus memerhatikan anak. "Orangtua harus rajin-rajin mengobservasi, melihat perubahan tingkah laku dan emosi anak. Jika orangtua memulai toilet training pada saat mereka maupun Si Anak belum siap, justru tidak akan efektif dan akan memperpanjang prosesnya."
Gangguan Kepribadian
Fase atau tahap yang oleh Freud disebut sebagai Anal Stage ini biasanya berlangsung sampai anak 3 tahun. Fase ini sangat penting karena akan melatih kontrol jasmani yang mengarah kepada rasa pencapaian atau prestasi dan kemandirian anak. Jika fase ini tidak terlewati dengan baik, misalnya karena orangtua terlalu lunak dalam mengajarkan toilet training, maka bisa berdampak pada personality atau kepribadian anak kelak.
Contohnya, anak sudah siap toilet training, tetapi Si Ibu malas karena capek. Anak sudah minta BAB, ibu atau orang di dekatnya sedang sibuk mengobrol dan malas mengantar anak ke kamar mandi. "Ini bisa mengembangkan yang namanya anal expulsive personality, di mana anak nantinya akan menjadi pemboros, berantakan, destructive terhadap diri sendiri, dan sebagainya," kata Reynitta.
Sebaliknya, jika orangtua terlalu keras dalam hal mengajarkan toilet training, maka yang terjadi adalah anal retentive personality, di mana anak bisa menjadi seorang yang rigid (kaku), tidak fleksibel, ketat pada diri sendiri, mengembangkan sikap obsesif terhadap sesuatu, dan sebagainya. Terlalu keras bisa terjadi karena anak belum siap, sementara orangtua melatih toilet training dengan punishment and reward.
"Padahal, di toilet training seharusnya tidak boleh ada punishment. Kalaupun ada, cuma sedikit," kata Reynitta. Misalnya, ketika anak BAB di celana, orangtua cukup mengatakan, "Ayo, kita bersihin yuk." Anak tidak boleh dimarahi, bahkan dimaki-maki. Punishment cukup berupa pemberian pengertian, misalnya, "Mudah-mudahan lain kali ditahan, yaa.." Sementara reward-nya bisa berupa pujian, seperti, "Wah, anak mama hebat, sudah bisa pipis di toilet..," dsb.
Penilaian Sosial
Yang tak kalah penting, setiap orang pasti akan melalui penilaian sosial. Pada anak-anak, biasanya penilaian itu datang dari teman-temannya karena dia "melakukan sesuatu yang tidak wajar". Nah, untuk menghindari rasa malu, bersalah, dan sebagainya, orangtua harus juga mengajarkan apa-apa yang biasanya dilakukan lingkungan.
Jadi, selain nilai-nilai dari keluarga yang mesti dipegang, ada juga nilai-nilai lingkungan yang harus ditanamkan ke anak. "Kalau tidak, anak akan susah untuk survive. Karena, anak-anak itu kan, masih rentan, diledekin sedikit sudah langsung sakit hati. Ke depan, ia bisa enggak pede, enggak mau bergaul, dan minder, karena jadi bahan tertawaan." pungkas Reynitta.
Hasto Prianggoro / bersambung