Ini bagian dari eksplorasinya. Namun bila ia lebih senang berlama-lama di depan cermin, boleh jadi lantaran butuh teman bermain.
Kita tahu, di usia batita, anak lagi giat-giatnya bereksplorasi. Dibanding masa bayi, tentunya dunia eksplorasi si kecil makin luas. Antara lain karena keterampilan motoriknya, baik kasar maupun halus, yang makin berkembang. "Nah, sewaktu berkeliling rumah dan melihat ke cermin, ia menemukan sesuatu yang baru dan menarik. Maka, berdirilah ia di depan cermin sambil bertanya-tanya dalam hati, 'Ih, kok, tiap aku bergerak, benda ini juga bergerak-gerak, ya? Waktu Bunda jalan, ia juga bergerak. Benda apaan, sih, ini?' Dari situlah ketertarikannya pada cermin dimulai," papar Dra. Lila Pratiwi.
Meski, bisa juga ketertarikan tersebut disebabkan ia ingin meniru anggota keluarga yang senang bercermin. Misal, si kecil selalu melihat ibunya mematut-matut diri atau berdandan di depan cermin tiap pagi sebelum ke kantor, hingga ia pun "tergoda" untuk menirukan cara si ibu bercermin. "Bukankah di usia batita, anak lagi senang-senangnya mengikuti tingkah laku orang lain alias berimitasi atau meniru? Hingga, ia jadi betah berlama-lama di depan cermin," lanjut psikolog yang menjadi mitra kerja di Divisi Klinik dan Layanan Masyarakat Lembaga Psikologi Terapan UI ini.
TAK PUNYA TEMAN
Yang perlu dicermati, bila si kecil di rumah sehari-harinya hanya bersama orang tua atau babysitter-nya. Soalnya, jelas Lila, kebiasaan si kecil berlama-lama di depan cermin boleh jadi karena ia tak punya teman bermain hingga merasa kesepian atau bosan.
Apalagi buat si batita, benda-benda bergerak lebih menarik ketimbang yang diam. Jadi, saat melihat ke cermin, ia merasa melihat gerakan-gerakan yang disangka milik orang lain, "Wah, siapa, tuh, yang ada di sana?" Terlebih, ia belum bisa membedakan bayangan yang ada di cermin itu dirinya atau bukan, hingga ia pun tertarik untuk berlama-lama "main" dengan cermin. Tak heran, saat melihat bayangannya di cermin, si kecil akan memperlakukannya sebagai teman: diajak mengobrol, bersalaman, bahkan dicium.
Nah, bila demikian halnya, berarti si kecil perlu dipertemukan dengan teman sebaya. Sekalipun di usia batita, anak belum bisa bermain bersama karena kemungkinan besar mereka malah akan berebut mainan. Namun tak berarti kita lantas buru-buru memasukkan si kecil ke "sekolah", lo. Memang, salah satu tujuan anak balita di"sekolah"kan untuk berinteraksi, tapi, kan, tak harus melulu lewat "sekolah". Asalkan lingkungan sosialnya di rumah sudah cukup luas, dalam arti ada tetangga yang punya anak sebaya atau saudara yang bisa diajak bermain oleh si kecil, "itu sudah cukup, kok!"
Jadi, yang penting si kecil punya teman bermain yang sebaya. Soalnya, bila si kecil cuma bermain dengan orang tua atau pengasuhnya, bisa-bisa kelak ia jadi bossy karena kehendaknya selalu dituruti, atau sebaliknya malah jadi pengikut lantaran idenya selalu datang dari orang yang lebih tua. Namun bila si kecil juga bermain dengan teman sebaya, ia belajar berinteraksi dan bertoleransi bahwa di dunia ini bukan cuma ada dirinya tapi juga orang lain yang perlu dipertimbangkan. Selain, ia pun bisa membedakan gerakannya sendiri dengan gerakan orang lain, hingga lama-lama ia sadar bahwa yang ada di cermin adalah bayangan dirinya sendiri.
SARANA PENDIDIKAN
Sebenarnya, kegemaran si kecil bercermin bisa dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, lo. Misal, sarana mengenalkan nama-nama anggota tubuh, "Coba, Nak, mana, sih, yang namanya kepala?" atau, "Ini rambut Bunda, ini rambut Adik. Nah, yang ini mata, jumlahnya ada dua."
Cermin dapat pula dijadikan salah satu media mengenalkan emosi. Ketika si kecil tertawa, coba katakan, "Lihat, Adik cantik, lo, kalau tertawa." Atau, "Wah, gigi Adik yang putih jadi kelihatan kalau tertawa. Rajin sikat gigi, ya?"
Bahkan bila kreatif, kita bisa menciptakan mimik-mimik lucu yang dapat membuat si kecil terhibur, seperti mimik muka si badut atau buatlah coretan-coretan di wajah dengan menggunakan bedak, "Lihat, nih, wajah Ayah kalau begini kayak orang Indian, ya?"