Senang Bercermin

By nova.id, Jumat, 13 Mei 2011 | 17:02 WIB
Senang Bercermin (nova.id)

Begitupun kala ia lagi sedih atau marah, kita bisa manfatkan cermin. Namun ingat, jangan sekali-kali memperburuk keadaan saat emosinya lagi negatif. Misal, kala si kecil menangis, lalu kita meledek, "Ih, lihat, tuh, wajah Adik kalau menangis, jelek banget!" Perkataan ini akan mematahkan semangatnya karena perasaannya yang sedang sedih akan bertambah sedih. Sebaiknya katakan, misal, "Aduh, Adik menangis karena sedih enggak boleh main di luar, ya? Bagaimana kalau kita bermain dengan cermin di kamar? Tuh, coba lihat, kalau Adik menangis, ada air matanya keluar."

ALIHKAN PERHATIAN

Namun jangan lupa hati-hati, ya, Bu-Pak, karena cermin terbuat dari kaca yang mudah sekali pecah. Apalagi biasanya kita meletakkan cermin dengan menggantungkannya di dinding pakai paku. Bila si kecil yang sedang antusias bereksplorasi menarik-nariknya, cermin bisa jatuh dan menimpa dirinya. Tentu hal ini tak diharapkan, bukan? Itu sebab, kita wajib mengantisipasi hal-hal yang bisa membahayakan si kecil, tapi bukan dengan melarangnya dekat-dekat cermin. "Larangan kita cuma membunuh rasa ingin tahunya. Lebih baik, selalu awasi kala ia sudah mulai mendekati benda yang membuatnya tertarik itu," bilang Lila.

Kita pun perlu siap-siaga agar si kecil jangan sampai memukul-mukul cermin saking penasaran pada "bayangan" di cermin. Jikapun terjadi, tak perlu marah. "Atasi saja sesuai usianya." Bila usianya di bawah 2 tahun, umumnya pemahaman bahasa si kecil masih terbatas. Jadi, agar efektif, "alihkan kegiatan tersebut pada hal lain." Misal, bawa si kecil ke kamar tidur agar ia bisa memukul-mukul bantal atau guling dengan bebas.

Bila pemahaman bahasanya sudah baik, tanyakan mengapa ia sampai memukul-mukul cermin. Bila jawabannya, "Habis setiap dipukul bunyi duk-duk, sih.", kita bisa terangkan dengan logis mengapa ia tak boleh melakukannya. Misal, "Nak, kalau dipukul-pukul seperti itu, cerminnya bisa pecah, lo. Kalau pecah terus kena kaki Adik, kan, bisa luka."

Namun bila si kecil melakukannya untuk mengungkapkan rasa marah, ajarkan cara lain yang lebih tepat untuk mengungkapkan perasaannya itu. Misal, "Oh, Adik marah karena Bunda menghalangi Adik melihat cermin, ya? Maaf, ya, Sayang, tapi lain kali bilang, 'Bunda, Adik, kan, mau lihat cermin, kok, Bunda ada di situ, sih? Kalau Adik memukul-mukul cermin, tangan Adik jadi sakit, kan?"

Biarkan Si Buyung Bercermin

Enggak apa-apa, kok, Bu-Pak, si Buyung bermain cermin. Toh, cermin bukan cuma milik si Upik. Lagian, si Buyung juga berhak, kok, bereksplorasi dengan cermin.

Di usia batita, terang Lila, anak sudah tahu dirinya laki-laki dan saudaranya perempuan, misal. Terlebih bila lingkungan di sekitarnya juga menutuntut agar si Buyung maupun Upik berperilaku sesuai jenis kelaminnya. "Contoh paling gampang, biasanya mainan untuk anak laki dan perempuan sangat dibedakan. Anak laki enggak boleh main boneka, sedangkan perempuan akan terlihat aneh bila senang main mobil-mobilan."

Namun begitu, anjurnya, kita tak perlu membedakan anak laki dan perempuan, termasuk dalam bercermin. Jangan sampai kita mengatakan, "Lo, Adik, kan, anak laki, kok, suka ngaca, sih?" Kalau tidak, bisa-bisa ia tumbuh jadi orang yang sangat membedakan gender. "Ia jadi mengidentikan anak laki enggak boleh nangis atau anak laki harus jadi tentara, dan sebagainyaa. Ini, kan, jadi membatasi dirinya dan juga kreativitasnya."

Lagi pula, dengan si Buyung bercermin, toh, bukan lantaran ia genit, melainkan hanya untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Jangan lupa cermin dapat digunakan sebagai sarana pendidikan. Nah, bukankah dalam pendidikan kita tak perlu membedakan anak laki dan perempuan?

  Faras Handayani/nakita