Meski tak perlu dilarang, aturan tegas tetap dibutuhkan. Dengan begitu, keselamatannya tetap terjaga sementara rasa ingin tahunya terpenuhi.
Coba, deh, ingat-ingat lagi berapa kali kita pernah dibuat jengkel oleh si kecil dengan "hobi"nya yang satu ini. Seolah tak boleh ada air nganggur, begitu ada air di ember langsung diobok-obok, lihat genangan air di jalan, ia justru sengaja memain-mainkan atau menyepak-nyepak dengan kakinya. Belum lagi kala tak mau diangkat dari bak mandi, padahal kita harus bergegas berangkat kantor, sementara si sulung pun sudah tak sabar antri di depan kamar mandi. Pendeknya, tiada hari tanpa bermain air!
Ternyata, hampir tiap anak batita memang senang main air. Soalnya, terang Dra. Betty DK Zakianto, Msi., usia batita merupakan masa belajar dan ingin tahu. "Anak lagi getol-getolnya bereksplorasi menjelajahi lingkungannya, termasuk air." Jadi, ia hanya ingin memenuhi rasa ingin tahunya. Makanya, begitu melihat air, keinginannya bereksplorasi langsung tergugah dan dalam dirinya timbul aneka pertanyaan seputar air, "Kalau kuputar keran ini, kok, keluar airnya?" atau, "Kalau genangan air ini kusepak, airnya malah bisa muncrat jauh, tuh!" Belum lagi bunyi kecipak-kecipuk air yang terdengar seru di telinganya saat ia memukul-mukul air di ember/kolam. Tak heran jika semua hal yang berkaitan dengan air jadi sangat menarik buatnya.
MENGENALI BAKAT
Dibanding masa bayi, terang psikolog ini lebih lanjut, keinginan bereksplorasi yang besar di masa batita terdukung sepenuhnya oleh kemampuan motorik si kecil yang makin baik: gerakannya kian matang, seimbang, dan terkoordinasi. Tentu peningkatan motorik ini berpengaruh pada pemilihan permainannya. "Nah, air merupakan salah satu yang amat menarik baginya untuk dijadikan permainan. Terutama karena air ada di lingkungan terdekat, selain mengundang berbagai pertanyaan yang menarik." Hingga, tanpa disuruh pun ia akan main-main air, entah dengan menuangkan air dari satu wadah ke wadah lain atau sekadar menyembur-nyemburkan dan menciprat-cipratkannya ke dinding sampai buka-tutup keran.
Selain itu, tambah pengajar di Jurusan Psikologi Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, usia batita juga merupakan masa bermain. Jadi, si kecil butuh segala macam bentuk permainan. Di matanya, apa yang ada di sekelilingnya akan dianggap sebagai permainan menarik, termasuk air.
Jadi, bila selama ini kita mudah terpancing oleh rasa jengkel melihat si kecil main air, kini cobalah berusaha menahan diri. Terlebih, permainan yang satu ini bukan tanpa makna. "Minimal ada beberapa faedah yang terwakili di sini, yakni sebagai salah satu sarana mengenalkan anak pada alam sekelilingnya." Selain, bisa mengenali potensi/bakat yang dimilikinya. Siapa tahu, lo, si kecil kelak jadi perenang hebat atau surfer kelas dunia bila sejak kecil sudah gemar main air.
Bermain air juga membantu si kecil mengembangkan kemampuannya berfantasi, semisal berkhayal naik kapal selam atau jadi putri duyung yang cantik seperti yang sering ia dengar atau "baca" di buku-buku cerita.
TETAPKAN ATURAN
Namun, bukan berarti kita boleh membiarkan ia bermain air semaunya, lo. Apa pun, tegas Betty, peraturan dan tindakan preventif tetap dibutuhkan agar si kecil tetap aman sementara kebutuhannya bereksplorasi terpenuhi. Untuk itu, tetapkan kapan si kecil boleh main air serta kapan pula harus berhenti. Tetapkan pula berapa lama ia boleh bermain. Menurut Betty, untuk anak usia batita cukup 15-30 menit. Tanpa peraturan tegas, bukan tak mungkin si kecil malah memanfaatkan ketaktegasan sikap kita, semisal merengek mau main air sepanjang hari. Kalau sudah begini, bisa-bisa ia malah masuk angin. Kita juga yang repot, kan?
Agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan, kita pun perlu mewaspadai bila si kecil secara sembunyi-sembunyi atau selalu mencari-cari alasan ke kamar mandi hanya agar bisa main-main air. Perilakunya ini biasanya muncul bila kita kelewat mengekangnya. Namun bila rasa ingin tahunya terpuaskan, rasa penasarannya pun berkurang dan ia akan main air secara wajar. Betty pun wanti-wanti agar kita jangan sampai lengah, hingga si kecil jadi tak terawasi. Kalau sudah begitu, main air yang sebetulnya memberi manfaat malah berubah jadi ajang yang membahayakan, semisal ia terpeleset di kamar mandi atau bahkan kecemplung masuk bak mandi.
Tak kalah penting, pendampingan dan keterlibatan kita. Dengan begitu, kita bisa memastikan soal keselamatannya, sementara si kecil pun jadi bisa lebih mudah menangkap penjelasan yang kita sampaikan. Misal, "Dek, lihat deh. Kalau airnya kita tuang ke cangkir, bentuknya jadi kayak cangkir, kan? Nah, kalau kita tuang ke tempat lain, bentuknya juga jadi lain." Meski saat itu mungkin ia belum bisa menangkap sepenuhnya, tapi penjelasan tersebut merupakan "cetakan" bagi kemampuannya memahami ilmu pengetahuan kelak.