"Aku Aja Yang Nyuci Baju, Ma"

By nova.id, Jumat, 1 April 2011 | 17:01 WIB
Aku Aja Yang Nyuci Baju Ma (nova.id)

JANGAN DIULANG

Selanjutnya, seusai si kecil melakukan pekerjaan tersebut, beri ia reward. Misal, pujian, "Wah, hebat, nih, anak Mama, sudah bisa membantu pekerjaan Mama. Bersih lagi nyapunya." Saran Evi, kita hendaknya tak memberi reward dengan membelikannya barang atau berupa hadiah. "Jika orang tua selalu memberi reward berupa hadiah, anak akan melakukan pekerjaan itu demi mendapatkan sesuatu, 'Kalau aku mau menyapu, berarti aku akan dibelikan mainan.' Beda kalau orang tua memberi pujian, anak akan memahami bahwa perilaku membantu merupakan perbuatan yang baik."

Tentu saja, pada awalnya hasil pekerjaan si kecil belum sempurna. Misal, masih ada kotoran yang belum tersapu atau mengelapnya belum bersih, dan sebagainya. Namun begitu, ingat Evi, jangan sekali-kali kita mengulang di depan si kecil, pekerjaan yang telah ia lakukan, tanpa memberikan penjelasan atau tanpa berkomuniksai lebih dulu dengannya. Soalnya, "anak akan merasa sebagai orang yang tak berguna. Akhirnya akan timbul dalam dirinya rasa tak percaya diri, pasif, dan minder."

Jadi, kalau kita mau mengulang pekerjaan tersebut, komunikasikan kepada si kecil tapi tanpa mematahkan semangatnya. Misal, "Kakak hebat, sudah bisa bantuin Mama, tapi bagian ini mungkin terlewat. Tuh, lihat, deh, bagian ini belum bersih, kan? Yuk, kita bersihin lagi sama-sama. Sebab, jika tak bersih, nanti kita akan sakit perut. Kan, sendok ini akan kita pakai untuk makan." Dengan begitu, si kecil akan merasa dirinya dihargai. "Ia akan tetap merasa mampu atau bisa melakukan pekerjaannya, hingga tumbuh kebanggaan dan kepercayaan dirinya," tutur Evi. Konsep dirinya juga meningkat, "Aku, dong, sudah pintar!" atau, "Aku sudah bisa menjadi anak kebanggaan Mama, nih!"

Nah, Bu-Pak, sekarang enggak merasa terganggu lagi, kan, dengan ulah si "penolong"?

Gazali Solahuddin/nakita

  

Tergantung Perkembangan Kognitif

Ternyata, keinginan atau perilaku selalu membantu ini tak selalu muncul pada setiap anak usia prasekolah. Jadi, bisa saja si kecil kita tak pernah menunjukkan keinginan untuk membantu, meskipun kita melihat banyak temannya yang menunjukkan perilaku tersebut. Bukan berarti si kecil kita mengalami kelainan perkembangan, lo, melainkan kemunculan perilaku ini memang berbeda-beda antara satu anak dengan anak lain. "Ada yang munculnya pas si anak menginjak usia prasekolah, ada pula yang munculnya di usia sekolah atau di atas balita," terang Evi.

Kadarnya pun berbeda-beda. Ada yang keinginan menolongnya tinggi sekali, tapi ada pula yang sedang-sedang saja. Hal ini juga wajar. Bukankah tahap perkembangan anak pun berbeda-beda?

"Jadi, ada yang cepat perkembangan sensitivitasnya terhadap lingkungan, tapi ada juga yang lamban." Hal ini tergantung dari lingkungan keluarga, terutama orang tua dalam memberikan contoh atau model buat anak. Ingat, anak usia prasekolah lagi gemar berimitasi terhadap apa yang ia lihat dari sosok atau figur orang tua.

Tentu saja, perkembangan ini pun tergantung perkembangan kognitif anak: bagaimana kemampuan kognitifnya mampu mencerna, mengamati, dan mempersepsikan feedback dari orang lain. "Semakin baik kemampuan kognitifnya, biasanya pemahaman dan penyerapannya pun akan lebih cepat." Nah, agar perkembangan kognitif bisa berjalan baik, saran Evi, kita harus selalu memberikan masukan-masukan positif pada si kecil. Terlebih di usia prasekolah, anak masih amat lekat dengan nilai-nilai khas yang ada dalam keluarganya.

Selain orang tua, anak juga bisa mendapat masukan atau contoh dari luar lingkungan rumahnya semisal "sekolah". "Umumnya anak usia ini, kan, sudah masuk preschool. Nah, bisa saja feedback atau contoh itu ia dapatkan dari gurunya, misal. Apalagi di preschool, selain dilatih perkembangan motorik kasar dan halusnya, juga kemampuan sosialnya." Jadi, bila ibu gurunya mengatakan, "Anak-anak, kalau di rumah melihat ayah atau ibu bekerja, maka kalian harus membantu. Itu tandanya anak yang baik", maka masukan ini akan dipraktekkan si kecil, baik di lingkungan rumahnya ataupun di lingkungan bermain. "Walau begitu, biasanya masukan dari orang tualah yang begitu kental mengena pada anak, karena bagi anak, orang tua tetaplah tokoh sentral."

Faktor lain yang bisa berperan dalam pembentukan keinginan membantu ialah pengaruh teman-teman."Mungkin anak sangat terkesan ketika melihat temannya suka membantu orang tuanya, hingga ia pun tertarik untuk melakukan hal yang sama di rumahnya." Namun ingat, bagaimanapun kitalah yang jadi tokoh sentral. Jadi, sekalipun si kecil sebenarnya ingin sekali mencontoh apa yang dilakukan temannya, tapi keinginan itu takkan terwujud jika kita tak pernah memberikan feedback positif mengenai hal itu. Maksudnya, anak takkan mengerti bahwa perilaku tersebut adalah perilaku yang baik dan positif tanpa diberikan masukan oleh orang tua. Misal, "Siapa temanmu itu, Kak? Baik benar, ya, suka membantu ibunya kerja di rumah." Namun bila tak ada masukan demikian, anak akan menganggap perbuatan si teman hanyalah perbuatan yang biasa-biasa saja.