Jangan dilarang bila si kecil maunya ngebantuin melulu. Justru dari situ ia mengasah kepekaannya terhadap lingkungan. Kelak, ia bakal punya banyak teman.
Tentu saja si kecil yang berusia prasekolah belum mampu mencuci baju ataupun melakukan pekerjaan rumah tangga lain yang memang bukan diperuntukkan anak seusianya. Namun itulah yang terjadi, si kecil selalu saja ingin membantu apa pun yang kita lakukan.
Kala kita tengah bersiap-siap mencuci baju, misal, ia langsung berteriak, "Aku aja yang nyuci baju, Ma!" Atau, baru saja kita pegang sapu ijuk, ia buru-buru meninggalkan mainannya dan menghampiri kita sambil berseru, "Aku aja yang nyapu!" Begitu pun kala kita hendak mencuci piring, mengepel, menyiram tanaman, mencuci mobil, dan sebagainya. Pendeknya, Bu-Pak, tiap kali sepasang mata kecilnya menangkap kita hendak melakukan sesuatu pekerjaan, ia langsung menawarkan bantuannya.
Senang dan bangga tentunya yang pertama menghinggapi dada kita. Betapa tidak? Kecil-kecil sudah bisa membantu orang tua. Kendati tak sedikit pula orang tua yang malah merasa terganggu dengan "ulah" si kecil tersebut. Soalnya, si kecil "tak peduli" apakah kita sedang terburu-buru atau tidak. Ia pun "tak peduli" apakah pekerjaan tersebut berbahaya atau tidak, hingga membuat kita cemas.
Misal, mencuci barang pecah-belah seperti gelas. Bisa-bisa nanti ia malah celaka jika gelasnya pecah dan melukai tangannya yang mungil. Sudah begitu, jika dilarang, ia malah ngotot. Bila kita juga ikut ngotot, tetap melarang, langsung, deh, ia keluarkan jurus pamungkasnya, yaitu menangis. Duh, pusing jadinya!
INGIN DIANGGAP ANAK BAIK
Sebenarnya, perilaku si kecil yang demikian wajar, kok, Bu-Pak. Soalnya, terang Evi Sukmaningrum, Psi., anak usia prasekolah tengah mengembangkan kemampuan prososial behavior-nya dalam bentuk penunjukkan bahwa dirinya memiliki keinginan, interes, dan kemauan untuk menolong orang lain.
Dari sudut perkembangan moral pun, anak usia ini sedang masanya ingin dianggap sebagai good boy atau good girl oleh orang tuanya. Hingga, ia ingin sekali menunjukan pada orang tuanya bahwa dirinya adalah anak yang dapat dibanggakan atau anak baik.
Dalam bahasa lain, perilakunya itu merupakan perwujudan dari keinginannya untuk diperhatikan oleh orang tuanya. Jadi, dari perbuatannya membantu, ia mengharapkan feedback positif dari orang tuanya. Ia ingin orang tuanya memperhatikannya sebagai anak yang baik. Makanya, si kecil maunya ngebantuin kita terus. Sekalipun ia belum tentu bisa mengerjakan pekerjaan tersebut.
Bukan cuma itu, di usia prasekolah, anak pun tengah berkembang kemampuan inisiatifnya. Kemampuan ini akan tertunjang bila prososial behavior-nya sudah mulai muncul. Itu sebab, tak jarang si kecil dianggap sebagai penganggu. Padahal penyebabnya akibat inisiatif si kecil lagi tinggi-tinggi. Terlebih lagi kemampuan motoriknya, baik motorik halus maupun kasar, juga mulai berkembang baik. Hingga, ia terdorong ingin melakukan atau mencoba-coba sesuatu, termasuk ingin selalu membantu semua atau apa saja yang tengah dikerjakan oleh orang tuanya.
JADI PEKA PADA LINGKUNGAN
Makanya, bila dilarang, ia jadi menangis dan malah berkeras ingin melakukannya. Namun yang terpenting dari itu, "larangan orang tua akan mematahkan motivasi atau inisiatif anak yang sedang berkembang," terang Evi. Bahkan, tambahnya, si kecil juga akan merasa bersalah, merasa tak dibutuhkan dan tak berguna, tak punya rasa percaya diri, serta tak punya keinginan sama sekali atau pasif. Selain, ia pun selalu ketakutan jika ingin melakukan sesuatu hal, "Kata Mama, aku tak boleh melakukannya," hingga eksplorasinya jadi terkekang. Bukan cuma itu, si kecil pun jadi bertanya-tanya, "Kenapa, kok, aku enggak boleh melakukannya? Memangnya ada apa, sih?"
Nah, terdorong oleh keingintahuannya yang besar ini, bisa terjadi si kecil nantinya mencari tahu di luar, yang bukan tak mungkin malah akan membahayakan dirinya. Misal, ia dilarang membantu ibunya memotong sayuran karena harus pakai pisau. Nah, saat ibunya pergi, ia mencoba memotong sesuatu dengan pisau, hingga tangannya jadi terluka. Celaka, kan?
Jadi, tak ada gunanya, kan, kita melarang? Justru kalau kita ijinkan ia membantu, manfaatnya malah banyak buat perkembangan si kecil. Pertama, tutur Evi, kala ia berhasil menolong orang lain, dalam dirinya secara otomatis akan muncul rasa kepuasan. "Anak merasa dirinya berharga untuk orang lain, hingga konsep dirinya pun meningkat bahwa dia mampu melakukan sesuatu untuk orang lain."
Kedua, kebiasaan ini akan mengasah kemampuan motoriknya dan mengembangkan social skill-nya, yaitu sensitivitas atau kepekaan pada lingkungan akan lebih terasah. "Kalau dipupuk terus akan terbawa hingga dewasa. Hingga, di lingkungan mana pun ia berada, kepekaan ini akan terus muncul." Dengan demikian, ia akan diakui di lingkungannya dan mendapatkan banyak teman karena selalu membantu orang lain.
ALIHKAN PERHATIANNYA
Bukan berarti kita enggak boleh melarangnya, lo. Kalau ia ingin melakukan pekerjaan yang berbahaya semisal memotong atau mencuci barang pecah-belah, tentu kita tak boleh mengijinkannya. Hanya caranya bukan dengan serta merta melarang, "Enggak boleh!", melainkan dialihkan perhatiannya dengan cara memberi pengertian kepadanya.
Misal, 'Kak, terima kasih, ya, mau ngebantuin Mama. Tapi sekarang Kakak belum saatnya mencuci gelas kaca ini. Lebih baik Kakak ngebantuin Mama yang lain saja, ya. Tolong,ambilkan Mama sabun cuci di rak sebelah sana itu." Atau, " Mama percaya Kakak bisa membantu Mama, tapi sekarang Kakak belum saatnya membantu Mama memotong sayuran pakai pisau. Kan, pisau ini tajam. Nanti tangan Kakak bisa luka dan berdarah. Kalau Kakak mau bantu, Kakak memotongnya dengan pisau plastik kepunyaan Kakak saja, ya? Atau Kakak ambilkan sayuran yang hendak Mama potong."
Dengan demikian, si kecil jadi tahu mana yang boleh dan tak boleh, mana yang berbahaya buat dirinya dan yang tidak, tanpa mematahkan keinginannya untuk membantu. Pun kalau kita sedang terburu-buru, jangan larang begitu saja keinginannya untuk membantu tapi berilah pengertian, " Mama senang, deh, Kakak mau membantu pekerjaan Mama, tapi sekarang Mama sedang terburu-buru untuk berangkat ke kantor. Bagaimana kalau Kakak membantunya lain waktu saja. Sekarang mendingan Kakak membantu Mama mengelap sepatu Mama."
Lambat laun, si kecil pun bisa memahami dan menerima saran kita, asalkan kita konsisten. Soalnya, terang Evi, cara ini sekaligus bisa melatih si kecil untuk mengembangkan sensitivitasnya pada orang tua, "Oh, sekarang Mama lagi buru-buru, jadi aku lebih baik mengerjakan pekerjaan lain saja. Sebab, kalau aku ikut ngebantuin Mama, bisa-bisa nanti Mama terlambat ke kantor."
SESUAI KEMAMPUAN ANAK
Namun begitu, kita tak boleh melepaskannya melakukan pekerjaan tersebut tanpa diberi contoh. "Orang tua harus memberi tahu cara mengerjakan yang benar itu seperti apa," bilang Evi. Misal, si kecil ingin membantu kita menyapu. Jelaskan padanya sambil dicontohkan, "Begini, nih, cara menyapunya; enggak usah cepat-cepat, pelan-pelan saja agar semua kotoran terbawa sapu. Jangan lupa, kolong meja dan kursi pun harus disapu. Seperti ini, nih, kalau menyapu kolong meja dan kursi. Nah, sekarang Kakak coba latihannya menyapu di kamar Kakak dulu, sekalian membereskan mainan Kakak."
Selain contoh, kita juga harus memfasilitasinya dengan alat penunjang yang tepat. Jangan kita beri ia sapu untuk orang dewasa, tapi beri sapu yang sesuai proporsi tubuhnya. Kita pun harus menyesuaikan dengan kemampuan si kecil. Jangan kita lantas menyuruhnya menyapu seluruh ruangan rumah. Meski tak membahayakan dirinya, tapi untuk anak usia prasekolah, tentu amat melelahkan jika disuruh menyapu seluruh ruangan. Jadi, cukup ia menyapu kamarnya saja, misal.
Tak hanya itu, kita juga perlu mendampingi si kecil saat ia melakukan pekerjaan tersebut. "Keterlibatan orang tua akan menimbulkan dampak positif pada anak. Anak akan merasa disayang atau dipercaya oleh orang tuanya," jelas staf pengajar di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, ini.
JANGAN DIULANG
Selanjutnya, seusai si kecil melakukan pekerjaan tersebut, beri ia reward. Misal, pujian, "Wah, hebat, nih, anak Mama, sudah bisa membantu pekerjaan Mama. Bersih lagi nyapunya." Saran Evi, kita hendaknya tak memberi reward dengan membelikannya barang atau berupa hadiah. "Jika orang tua selalu memberi reward berupa hadiah, anak akan melakukan pekerjaan itu demi mendapatkan sesuatu, 'Kalau aku mau menyapu, berarti aku akan dibelikan mainan.' Beda kalau orang tua memberi pujian, anak akan memahami bahwa perilaku membantu merupakan perbuatan yang baik."
Tentu saja, pada awalnya hasil pekerjaan si kecil belum sempurna. Misal, masih ada kotoran yang belum tersapu atau mengelapnya belum bersih, dan sebagainya. Namun begitu, ingat Evi, jangan sekali-kali kita mengulang di depan si kecil, pekerjaan yang telah ia lakukan, tanpa memberikan penjelasan atau tanpa berkomuniksai lebih dulu dengannya. Soalnya, "anak akan merasa sebagai orang yang tak berguna. Akhirnya akan timbul dalam dirinya rasa tak percaya diri, pasif, dan minder."
Jadi, kalau kita mau mengulang pekerjaan tersebut, komunikasikan kepada si kecil tapi tanpa mematahkan semangatnya. Misal, "Kakak hebat, sudah bisa bantuin Mama, tapi bagian ini mungkin terlewat. Tuh, lihat, deh, bagian ini belum bersih, kan? Yuk, kita bersihin lagi sama-sama. Sebab, jika tak bersih, nanti kita akan sakit perut. Kan, sendok ini akan kita pakai untuk makan." Dengan begitu, si kecil akan merasa dirinya dihargai. "Ia akan tetap merasa mampu atau bisa melakukan pekerjaannya, hingga tumbuh kebanggaan dan kepercayaan dirinya," tutur Evi. Konsep dirinya juga meningkat, "Aku, dong, sudah pintar!" atau, "Aku sudah bisa menjadi anak kebanggaan Mama, nih!"
Nah, Bu-Pak, sekarang enggak merasa terganggu lagi, kan, dengan ulah si "penolong"?
Gazali Solahuddin/nakita
Tergantung Perkembangan Kognitif
Ternyata, keinginan atau perilaku selalu membantu ini tak selalu muncul pada setiap anak usia prasekolah. Jadi, bisa saja si kecil kita tak pernah menunjukkan keinginan untuk membantu, meskipun kita melihat banyak temannya yang menunjukkan perilaku tersebut. Bukan berarti si kecil kita mengalami kelainan perkembangan, lo, melainkan kemunculan perilaku ini memang berbeda-beda antara satu anak dengan anak lain. "Ada yang munculnya pas si anak menginjak usia prasekolah, ada pula yang munculnya di usia sekolah atau di atas balita," terang Evi.
Kadarnya pun berbeda-beda. Ada yang keinginan menolongnya tinggi sekali, tapi ada pula yang sedang-sedang saja. Hal ini juga wajar. Bukankah tahap perkembangan anak pun berbeda-beda?
"Jadi, ada yang cepat perkembangan sensitivitasnya terhadap lingkungan, tapi ada juga yang lamban." Hal ini tergantung dari lingkungan keluarga, terutama orang tua dalam memberikan contoh atau model buat anak. Ingat, anak usia prasekolah lagi gemar berimitasi terhadap apa yang ia lihat dari sosok atau figur orang tua.
Tentu saja, perkembangan ini pun tergantung perkembangan kognitif anak: bagaimana kemampuan kognitifnya mampu mencerna, mengamati, dan mempersepsikan feedback dari orang lain. "Semakin baik kemampuan kognitifnya, biasanya pemahaman dan penyerapannya pun akan lebih cepat." Nah, agar perkembangan kognitif bisa berjalan baik, saran Evi, kita harus selalu memberikan masukan-masukan positif pada si kecil. Terlebih di usia prasekolah, anak masih amat lekat dengan nilai-nilai khas yang ada dalam keluarganya.
Selain orang tua, anak juga bisa mendapat masukan atau contoh dari luar lingkungan rumahnya semisal "sekolah". "Umumnya anak usia ini, kan, sudah masuk preschool. Nah, bisa saja feedback atau contoh itu ia dapatkan dari gurunya, misal. Apalagi di preschool, selain dilatih perkembangan motorik kasar dan halusnya, juga kemampuan sosialnya." Jadi, bila ibu gurunya mengatakan, "Anak-anak, kalau di rumah melihat ayah atau ibu bekerja, maka kalian harus membantu. Itu tandanya anak yang baik", maka masukan ini akan dipraktekkan si kecil, baik di lingkungan rumahnya ataupun di lingkungan bermain. "Walau begitu, biasanya masukan dari orang tualah yang begitu kental mengena pada anak, karena bagi anak, orang tua tetaplah tokoh sentral."
Faktor lain yang bisa berperan dalam pembentukan keinginan membantu ialah pengaruh teman-teman."Mungkin anak sangat terkesan ketika melihat temannya suka membantu orang tuanya, hingga ia pun tertarik untuk melakukan hal yang sama di rumahnya." Namun ingat, bagaimanapun kitalah yang jadi tokoh sentral. Jadi, sekalipun si kecil sebenarnya ingin sekali mencontoh apa yang dilakukan temannya, tapi keinginan itu takkan terwujud jika kita tak pernah memberikan feedback positif mengenai hal itu. Maksudnya, anak takkan mengerti bahwa perilaku tersebut adalah perilaku yang baik dan positif tanpa diberikan masukan oleh orang tua. Misal, "Siapa temanmu itu, Kak? Baik benar, ya, suka membantu ibunya kerja di rumah." Namun bila tak ada masukan demikian, anak akan menganggap perbuatan si teman hanyalah perbuatan yang biasa-biasa saja.