Sering Buang Air Besar Di Celana

By nova.id, Rabu, 30 Maret 2011 | 17:05 WIB
Sering Buang Air Besar Di Celana (nova.id)

Itu sebab, kita dituntut untuk mencermati mengapa si kecil suka menahan BAB, apakah lebih karena faktor fisiologis atau sebab lain? Bisa jadi, kan, si kecil kala itu pencernaannya sedang ada gangguan, hingga ia mengalami kesulitan BAB. Jadi, penyebabnya lebih karena faktor organis; ia mengalami konstipasi atau sembelit. Untuk mengatasinya tentu bukan dengan toilet training, tapi perhatikan makanan yang dikonsumsi si kecil. Artinya, penuhi semua kebutuhan zat makanan anak secara seimbang, terutama serat seperti sayur-sayuran dan buah-buahan yang bisa membantu melancarkan BAB. Namun bila keseimbangan zat makanan sudah terpenuhi, ternyata si kecil tetap mengalami gangguan, kita perlu introspeksi diri. "Perbaiki interaksi antara orang tua dan anak. Bila dirasa orang tua tak mampu melakukannya, tak ada salahnya minta bantuan pada para profesional."

"Orang tua yang peka terhadap kondisi anak tentu tak akan pernah memaksakan kehendak. Sebaliknya, bila tetap memaksakan kehendak semata-mata demi tegaknya peraturan atau kedisiplinan, besar kemungkinan akan berbuntut dengan timbulnya sikap negativistik dalam diri anak," tutur pengajar di Fakultas Psikologi UI ini.

Sementara seringnya anak BAB tapi sedikit-sedikit, selain merupakan bentuk pembangkangan terhadap orang tua akibat toilet training yang salah, juga bisa lantaran ia berharap orang tuanya mau memperhatikan dirinya. "Boleh jadi karena ada hal tertentu yang menyebabkan perhatian orang tua berpaling darinya seperti kelahiran adik." Nah, bila si kecil menjadikan kebiasaan jelek ini semata-mata untuk menarik perhatian, saran Mayke, orang tua sangat diharapkan tak menunjukkan sikap panik/heboh atau lebih meledak marah. Soalnya, cuma akan memancing si kecil untuk mempertahankan sikap negativistiknya (membangkang). "Namun bila kita bisa menahan diri, diharapkan anak pun bisa meredam sikap negativistiknya."

LIHAT RITMENYA

Hal lain yang perlu diperhatikan, kita sebaiknya tak berkeras ingin melatih si kecil BAB pada waktu tertentu semisal tiap pagi. "Pada sebagian anak, cara seperti ini mungkin berhasil, tapi pada sebagian lainnya tak bisa terlalu diharapkan atau malah tak bisa jalan sama sekali. Hal ini disebabkan metabolisme tubuh tiap anak berbeda," terang Mayke.

Yang terbaik, perhatikan ritme kehidupan si kecil. Misal, sekian jam setelah makan, ia akan dikuasai perasaan ingin BAB. Nah, kalau kita sudah tahu ritmenya memang seperti itu, sebaiknya jangan dihambat dengan memarahinya hanya karena tak sesuai jadwal yang telah kita tentukan. Justru manfaatkan ritme tersebut untuk mengajarkan toilet training padanya.

Jikapun kita tetap ingin menerapkan disiplin pada si kecil agar BAB tiap pagi, saran Mayke, sebaiknya jangan menghabiskan waktu berjam-jam. "Pemaksaan semacam ini sama sekali tak memberi manfaat. Kalau memang enggak keluar, ya, sudah. Segera ajak anak keluar dari WC dan biarkan ia meneruskan aktivitasnya yang lain. Jangan sampai orang tua menunggui anak yang belum saatnya BAB di WC terus-menerus selama berjam-jam. Apalagi sambil memarahi atau memaki-maki anak lantaran orang tua kesal atau merasa sia-sia menungguinya sekian lama tanpa hasil."

Jika si kecil sudah telanjur berlaku keras, sebaiknya kita mengalah saja. Dalam arti, bilang Mayke, cobalah untuk tak memberikan latihan yang terlalu kaku/keras. Jadi, bila setengah jam di WC, si kecil tak juga BAB, kita jangan lantas terpancing bersitegang di situ. Sekalipun ia memang sudah berhari-hari enggak BAB. Toh, kita bisa membantunya dengan memberikan obat pencahar, misal. Tentu harus seizin dokter dan sebaiknya cara ini dijadikan pilihan terakhir bila cara-cara lain sudah diupayakan tapi tetap enggak ampuh.

TIAP ANAK ITU UNIK

Tentu saja, sebagaimana kita mengajarkan aktivitas lain, kita pun harus konsisten saat mengajarkan toilet training. Soalnya, bilang Mayke, tak sedikit orang tua yang kehabisan akal, merasa sudah berupaya dengan berbagai cara, tapi tetap tak ada perubahan berarti. Padahal, penyebab ketidakberhasilan ini biasanya tak lain karena sikap inkonsisten kita sendiri, lo. Jadi, suatu saat kita bersikap ketat, tapi di saat lain dalam kasus serupa kita justru memberi kelonggaran.

Selain konsisten, kita pun dituntut mampu bersikap fleksibel. Jadi, bukan pada semua aktivitas kita bersikap ketat. Artinya, kita perlu memilah-milah, mana yang perlu pengawasan ketat dan mana yang tidak. Kalau semuanya diperlakukan disiplin kaku/ketat, itu namanya otoriter, ya, Bu-Pak. Selain kita pun wajib menumbuhkan dalam diri anak tentang pemahaman atau pengetahuan mana yang boleh dan tak boleh.

Tak kalah penting, kita wajib melihat keunikan tiap anak. "Ada anak yang mudah sekali diatur, dalam arti beberapa kali latihan saja sudah bisa berjalan dengan lancar dan nyaris tak pernah mengalami 'kecelakaan'. Namun tak sedikit pula anak yang sulit dan mungkin butuh waktu berminggu-minggu untuk bisa menyesuaikan diri menghadapi perubahan sekaligus menyelesaikan tugas dengan baik," papar konsultan ahli psikologi anak di nakita ini.