Ibu Tak Bekerja Mengapa Harus Malu

By nova.id, Kamis, 9 Desember 2010 | 17:00 WIB
Ibu Tak Bekerja Mengapa Harus Malu (nova.id)

Tak hanya itu, setelah si kecil "sekolah", ibu juga bisa lebih maksimal memberinya perhatian. Terutama kala ia baru mulai masuk "sekolah", bukankah ini saat paling penting dalam kehidupan seorang anak? Nah, kita bisa mengantarkannya dan bahkan menungguinya di luar kelas tanpa harus pusing memikirkan anak buah di kantor tengah menanti-nantikan kita, misal. Begitu pun saat si kecil beranjak besar, ia akan lebih diuntungkan dengan kehadiran ibu yang tak bekerja.

Setidaknya, ia bisa menjadikan ibu sebagai tempat bertanya bila menemui kesulitan dalam pelajaran. Coba kalau ibu bekerja, apalagi sampai malam, bukan tak mungkin ia akan bingung tak tahu harus bertanya pada siapa karena yang ada di rumah cuma pembantu. Ibu pun jadi punya waktu untuk "belajar" lagi bila tak mengerti materi pelajarannya, entah dengan mengikuti program buat para orang tua murid yang diadakan sekolah maupun lewat kursus-kursus.

Pendeknya, nggak ada yang dirugikan, kok, dengan ibu tak bekerja; baik diri si ibu sendiri, terlebih lagi anak dan keluarganya. Nah, sekarang sudah lebih enteng, kan, Bu, menjalani hari-hari sebagai ibu rumah tangga sejati?

Julie/Th. Puspayanti

  

TAK PERLU IRI, BU

Apakah Anda mendambakan bisa bergegas setiap hari berangkat ke kantor, berpenampilan menarik dengan blazer apik, punya kartu nama, dan mengandalkan HP untuk berkomunikasi? Bila demikian bayangan Anda mengenai dunia kerja, Anda perlu meluruskan lagi pengertian "kerja" itu sendiri. "Nggak harus selalu di kantor, kok. Yang penting, dia punya kegiatan dan tak membuang waktu begitu saja. Jadi, ada sesuatu yang berguna atau bermanfaat," terang Rieny. Nah, dengan definisi ini, bukankah "profesi" ibu rumah tangga juga sangat membanggakan?

Menjadi orang kantoran juga enggak selalu enak, kok, Bu. Tak jarang pekerjaan membuat orang begitu terserap waktu dan pikirannya, hingga saat tiba di rumah yang ada cuma rasa lelah dan keinginan untuk marah-marah tanpa sebab. Akibatnya, anak-anak bisa menjadi sasaran ketidakdewasaan dan ketakmampuan ibu menyelesaikan masalahnya di kantor. Padahal, orang yang bekerja dituntut memiliki kedewasaan, dan kestabilan emosi tersendiri agar mampu memilah-milah konsentrasi dan beban kerja. Jadi, "kalau beban kerja sampai terbawa ke rumah, berarti, kan, dengan bekerja malah menciptakan masalah baru. Sama aja boong, dong!" Kalau sudah begitu, bukankah memang lebih "aman" bila ibu menempatkan kepentingan anak sebagai prioritas alias di rumah saja menjalani "profesi" sebagai ibu rumah tangga sejati?

Jadi, Bu, tak perlu iri, ya, dengan mereka yang kebetulan bisa "pegang" uang sendiri dari hasil keringatnya. Justru kita perlu belajar dari mereka bagaimana menghargai dan membelanjakan uangnya dengan bijak. Di mata Rieny, para ibu yang kondisinya mengharuskan bekerja, umumnya memang lebih bisa menghargai uang, disamping juga lebih leluasa menggunakannya. Soalnya, mereka tahu persis mencarinya enggak mudah, sementara taruhan yang harus dibayarnya cukup mahal, yakni meninggalkan anak.

  

BERPELUANG MENCIPTAKAN KELUARGA MANDIRI

Konon, ibu bekerja memiliki anak yang mandiri dan berwawasan lebih luas. Menurut Rieny, belum tentu. "Memang anak bisa terkondisi untuk lebih kreatif dan mandiri bila ibu tak ada. Tapi kalau setiap hari ibu di kantor heboh menelepon pembantu di rumah untuk membantu anak mengambilkan dan menyiapkan segala keperluan anak, berarti secara tak langsung ibu mengajari anaknya tergantung pada pembantu. Jadi, enggak mandiri, juga, kan?" paparnya.