Anak Favorit Bisa Memecah Belah Keluarga

By nova.id, Selasa, 2 November 2010 | 17:51 WIB
Anak Favorit Bisa Memecah Belah Keluarga (nova.id)

Apakah Bapak dan Ibu mempunyai anak kesayangan? Bila, ya, berarti Anda berdua tengah menanam bibit-bibit perpecahan antar anak maupun antar Anda berdua.

"Bunda lebih sayang sama kakak. Kalau Bapak, sayangnya sama adik. Aku, sih, enggak ada yang sayang," ungkap Dita, gadis cilik berusia 5 tahun kurang 2 bulan. Kakaknya, perempuan, berusia 9 tahun dan adiknya, laki-laki, berusia 3,8 bulan. Ketika hal tersebut dikonfirmasikan kepada sang ibu, sebut saja Ny. Prasetyo, wanita ini malah tertawa kecil dan berkata, "Ah, itu, kan, cuma perasaan Dita saja. Mana ada, sih, orang tua yang enggak sayang sama anaknya?"

Memang, setiap orang tua pasti menyayangi semua anaknya dan selalu berusaha untuk berlaku adil. Bila kemudian ada anak yang menjadi preferensi atau pilihan ayah/ibunya, menurut Sri Triatri, S.Psi., seringkali bukan lantaran pilih kasih, "melainkan karena ayah atau ibu cenderung lebih dekat dengan anak tersebut." Namun kedekatan ini, lanjutnya, terjadi tanpa disadari, bukan karena sejak lahir langsung preferensi itu tumbuh, oh, si ibu suka dengan si sulung sementara ayah cenderung dekat dengan si bungsu. "Kedekatan ini dibangun melalui proses interaksi antara anak dengan ayah atau ibunya," terangnya.

KESAMAAN PRIBADI

Ada beberapa faktor yang menumbuhkan kedekatan antara ayah/ibu dengan salah satu anak. Antara lain, si anak tak banyak ulah, permintaannya tak macam-macam, sehingga tak merepotkan orang tua. "Kadang ada, kan, anak yang kehendaknya macam-macam sehingga ibu yang sudah merasa kerepotan, cenderung merasa susah untuk memenuhi permintaan anak yang macam-macam itu," tutur Triarti. Akibatnya, si ibu jadi tak suka. Jadi, tandasnya, "orang tua cenderung lebih suka dan menaruh perhatian pada anak yang tak menyulitkan mereka dengan permintaan macam-macam."

Kesamaan pribadi anak dengan ayah/ibunya juga menjadi salah satu indikator kedekatan tersebut. "Kepribadian anak, kan, macam-macam. Nah, di antara yang macam-macam itu ada yang matching dengan ayah atau ibunya. Jadilah ia lebih dekat dengan ayah atau ibunya."

Misalnya, ayah yang easy going seringkali lebih dekat pada anak yang juga setipe. "Sebaliknya, ada kepribadian anak yang 'tak cocok' dengan ibu atau ayahnya sehingga hubungan mereka menjadi lebih sulit." Disamping itu, bila anak mempunyai keterampilan sosial yang lebih dalam menghadapi ayah/ibunya, biasanya ayah/ibu juga jadi lebih suka jika berhadapan dengannya dibanding anak yang lain.

Padahal, masing-masing anak, kan, mempunyai karakteristik sendiri; ada yang sangat bisa membawa diri, bisa bergaul dengan ayah/ibunya, lebih mudah berempati dengan kesedihan atau kesulitan ayah/ibunya, namun ada pula anak yang kelihatannya cuek saja.

MASALAH GENDER

Tak jarang terjadi, ayah lebih dekat dengan anak lelaki sementara ibu dengan anak perempuan. Menurut Triartri, hal ini disebabkan stereotip budaya yang memberikan pemikiran bahwa anak dengan gender tertentu dianggap lebih berharga. "Bila ayah berasal dari kultur yang mengagung-agungkan patriarkat, maka anak lelaki dianggap lebih berharga."

Sebaliknya, jika ibu dibesarkan dalam kultur yang didominasi oleh perempuan, maka ibu pun akan menganggap punya anak perempuan lebih membanggakan sehingga ibu menjadi lebih dekat dengan anak perempuannya. Pengaruh budaya, diakui Triatri, memang agak sulit dihilangkan. Kendatipun sebenarnya anak dengan gender apapun sama-sama punya peluang untuk menjadi anak yang "istimewa".

Jadi, bila Bapak atau Ibu, karena alasan budaya tetap menginginkan anak dengan gender tertentu, "sebaiknya perasaan itu jangan sampai terlihat oleh anak yang lain," anjurnya. Sayangnya, perasaan tak suka orang tua terhadap anak dengan gender yang tak diharapkan, seringkali terlihat jelas. "Ada, kan, ayah yang saking inginnya punya anak lelaki, tapi yang lahir ternyata anak perempuan, lantas si ayah jadi jauh dengan dengan anak perempuannya," tutur Triarti.