Memang, diakui Alex, sering terganjalnya komunikasi seksual antara suami-istri agaknya dipengaruhi oleh pandangan masyarakat yang menganggap tabu untuk membicarakan segala sesuatu tentang seks. Akibatnya, sampai sudah menjadi suami-istri pun tetap saja merasa malu. "Apalagi bagi wanita, seringkali takut kalau membuka percakapan tentang seks. Selain karena malu, mungkin juga takut disangka agresif, dianggap tak sopan, atau khawatir kalau sudah ngomong tapi enggak dilayani pasangannya," tutur Direktur Eksekutif Pusat Konsultasi Seksual dan Terapi Latihan Kriya Angga di Denpasar, Bali, ini.
Komunikasi seksual juga bisa terhambat akibat ketidakmengertian suami-istri. "Ini berkaitan dengan latar belakang pendidikan dan lingkungan tempat mereka dibesarkan." Umumnya, semakin tinggi pendidikannya, mereka semakin sadar bahwa komunikasi seksual itu penting.
"Mereka bahkan sangat terbuka dengan ide-ide tentang komunikasi ini karena menyadari, komunikasi seksual antara suami-istri sangat diperlukan demi keharmonisan kehidupan mereka." Terlebih lagi bila masing-masing pihak sama-sama dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menekankan keterbukaan dan mendapat pendidikan seks yang baik sejak kecil.
"Sangat mungkin ketika memasuki dunia perkawinan, keterbukaan itu akan terus dibawa. Dia tak akan ada masalah dalam mengutarakan segala keinginannya yang berkaitan dengan seksual kepada pasangan; karena baginya, bukan tabunya yang penting tapi manfaatnya kalau terbiasa terbuka dalam hal apapun, termasuk soal seks."
Tentunya, bagi yang tak terbiasa terbuka, apalagi ditambah oleh pandangan masyarakat yang menganggap tabu, akan sulit untuk melakukan komunikasi seksual. Tapi, tak ada salahnya, toh, bila kita mau belajar. Bukankah kini kita telah memahami betapa penting komunikasi tersebut?
VERBAL DAN NONVERBAL
Seperti laiknya komunikasi lain, komunikasi seksual pun dapat dilakukan secara verbal dan noverbal. Yang verbal tentulah dilakukan dengan kata-kata dan suara. Sementara yang nonverbal terjadi lewat pandangan mata, sentuhan, usapan, atau isyarat-isyarat khusus pada daerah erotis. Untuk komunikasi nonverbal, sepertinya hampir tak ada masalah. Bukan begitu, Bu-Pak?
Tak demikian halnya dengan komunikasi verbal. Justru ini yang kerap jadi hambatan. Kita menjadi sungkan apabila hendak mengutarakan keinginan dalam bentuk verbal. Padahal, yang verbal tak kalah pentingnya, lo. Bukankah dengan bicara langsung kepada pasangan tentang apa yang menjadi keinginan kita, maka pasangan jadi tahu? Misalnya, posisi apa dalam bercinta yang menjadi favorit kita.
Nah, itu, kan, mesti disampaikan kepada pasangan agar dia tahu. Lagi pula, dengan komunikasi verbal juga akan terhindar dari salah persepsi. Soalnya, kalau kita hanya mengirim sinyal-sinyal berupa isyarat, kan, bisa ditanggapi lain oleh pasangan. Akhirnya, pesannya juga jadi enggak sampai, kan? Nah, untuk menghindari salah persepsi ini, menurut Alex, caranya sederhana saja, kok. "Jangan lagi menganggap seks sebagai hal yang tabu, apalagi bila sudah menjadi suami-istri," katanya.
Untuk itu, saran Alex, carilah informasi sebanyak-banyaknya tentang hubungan seks dari berbagai media. Kemudian, diskusikan dengan pasangan tentang pola kehidupan seks yang dijalankan; apakah sudah betul, sudah menyenangkan semua pihak, ataukah perlu ada yang dilakukan atau dikembangkan lagi. Diskusinya pun bisa dilakukan kapan saja, termasuk sehabis berhubungan seks. "Dalam suasana afterplay, sebenarnya juga bisa dilakukan komunikasi seksual yang intens, lo," ujar Alex.
Perlu Bapak-Ibu ketahui, aktivitas seksual adalah sesuatu yang alami, namun perkembangannya dipengaruhi oleh faktor eksternal. Jadi, bila kita tak mengembangkan sendiri, maka aktivitas seksual kita akan tetap alami. Padahal, yang alami belum tentu bisa berjalan mulus dan sesuai dengan apa yang dimaui oleh pasangan kita. Jadi, banyak-banyaklah berkomunikasi seksual agar kita bisa terus up-to date dengan kemauan pasangan dan mengerti apa yang menjadi kebutuhannya.
Santi Hartono