Trauma Usai Dimadu

By nova.id, Jumat, 15 Oktober 2010 | 17:01 WIB
Trauma Usai Dimadu (nova.id)

Bu Rieny Yth.,

Saya ibu rumah tangga yang dikaruniai 6 anak (2 putra, 4 putri). Anak pertama hampir selesai kuliah dan yang paling kecil 3 tahun. Saya telah berumah tangga selama 23 tahun. Tak sedikit cobaan yang saya alami, tapi bisa diatasi.

Selama ini saya sangat percaya suami yang sibuk urusan kantor dan sering tugas ke luar kota. Suami bekerja di sebuah LSM, Bu. Kadang-kadang saya juga ingin jalan-jalan jika sedang sumpek, tapi setiap libur, suami inginnya istirahat. Memang sih, saya lihat suami kesannya sok sibuk, dan saya percaya itu.

Setiap curiga ada wanita lain, dia selalu meyakinkan saya. Bahkan, sampai sumpah-sumpah segala, Bu.

Suatu saat, ia ditempatkan sementara di luar Jawa. Setelah 6 bulan, saya menyusul. Sewaktu saya belanja dengan anak saya ke warung, ibu pemilik warung bilang kalau suami sering ke warung itu dengan anaknya, tapi bukan anak saya.

Ibu bisa bayangkan hati saya saat itu, Bu. Badan saya lemas, kaget, tak tahu lagi bagaimana rasanya. Keesokan harinya, saya kembali ke warung. Ciri-cirnya benar. Saya telepon suami, tapi lagi-lagi saya diyakinkan dan saya percaya.

Tadinya saya mau mengajak suami ke warung. Namun suami bersumpah demi ALLAH bahwa itu bukan dia. Suami juga cerita kalau pemilik warung itu mungkin senewen. Saya pun percaya, tak pernah ke warung lagi, toh buat apa percaya sama orang senewen.

Setelah bertugas di Sumatera selama hampir 2 tahun, kami kembali ke Jawa Barat. Cerita-cerita yang tidak enak sudah saya lupakan. Setelah di Jakarta, ada yang berbeda, Bu. Biasanya kalau tugas di tempat yang dekat, beberapa hari dia pasti pulang dan tidur di rumah, tapi sekarang tidak. Saya curiga tapi tetap mencoba percaya.

Puncaknya, akhir bulan Juni 2010 ini, saya menemukan SMS di HP suami yang isinya sangat menggetarkan hati saya. Ini SMS jelas-jelas menanyakan kabar suami dan dia melapor bahwa dia sudah membayar listrik. Langsung saya limbung, Bu. Dia bilang ada orang yang pinjam HP-nya. Tapi, saya bilang bahasanya tidak logis, menanyakan keluarga. Betul, kan, Bu ?

Akhirnya, emosi saya meledak! Saya bilang ke suami, tolong dipertemukan dengan peminjam HP-nya dan juga pengirim SMS. Suami tidak mau mengantar, alasannya banyak. Saya nekat mau pergi, suami buru-buru menarik saya supaya tidak mempermalukan dirinya.

Saya selalu bertanya dengan berbagai cara agar diajak ke peminjam HP dan selalu berdoa agar jelas siapa yang sudah SMS dia. Alhamdullilah, setelah 3 hari saya memohon pada ALLAH, suami mengaku kalau dia sudah kawin lagi.

Bayangkan, Bu, bagaimana kondisi saya, menangis, lemas badan, pucat pasi wajah ini. Saya percaya kalau semua tugas dikerjakan sebaik-baiknya, namun suami mengkhianati. Hancur hati saya, sakit dan terhina harga diri di mata suami, sementara suami mohon maaf. Saya sujud syukur, karena akhirnya masalah ini terungkap. Di awal pembicaraan, suami mengatakan apa pun yang terjadi, dia akan memilih saya. Tetapi, saya tidak mau jadi bahan pertimbangan untuk dipilih.

Yang ingin saya tanyakan, bagaimana menghilangkan trauma agar hati saya pulih seperti sedia kala? Sakit hati dan trauma berat saya, Bu, walaupun suami mau memutuskan secepatnya. Perlu Bu Rieny ketahui, suami telah 5 tahun menikah lagi dan sudah punya anak. Selama itu mungkin dia berbohong 80 persen, sampai-sampai dia merasa berdosa.

Saya memaafkan apapun kesalahannya dan mau menerimanya lagi, meski sempat terucap kalimat, "Saya maafkan, tetapi saya sebenarnya jijik..." Suami memaklumi dan memohon maaf lagi, serta berjanji tidak akan mengulangi dan akan berlaku lebih baik. Tolonglah saya Bu Rieny, bagaimana supaya hati dan jiwa saya bisa pulih, tanpa sakit hati berkepanjangan dan bisa mengurus diri dan anak-anak seperti semula lagi. Terima kasih.

S di X

Ibu S yang baik,

Suami Anda bukan berbohong 80 persen, tetapi 1000 persen! Maaf ya Bu, tapi mengkhianati istri selama 5 tahun dan sukses pula, menurut hemat saya butuh kemampuan akting yang kuat dipadu dengan komitmen yang rendah terhadap perkawinan. Kemampuannya memainkan peran sebagai suami yang setia pada istri, sudah melampaui pemenang Piala Citra.

Saya senang, Anda katakan sudah memaafkan suami, menerimanya lagi, walau masih jijik. Paling tidak, Anda sudah membuat keputusan dan kini sedang mencoba mengatasi masalah-masalah emosional terkait dengan pemberian maaf. Bila saya boleh menyarankan, baik sekali bila Anda coba telaah, bagaimana sebenarnya Anda memposisikan diri dalam hubungan suami-istri.

Punya 6 anak, untuk ukuran masa kini termasuk hal yang istimewa, Bu. Apakah keputusan Anda untuk hamil anak keenam saat Si Sulung sudah kuliah merupakan keinginan Anda atau suami? Bila ini keinginannya, berarti dia menghamili Anda (lagi), karena istri simpanannya sedang hamil, bukan? Di benaknya, ia sedang berlaku "adil," jadi ini adalah mekanisme psikologis yang bekerja dalam diri suami untuk mengurangi perasaan bersalahnya.

Tetapi, bila Anda yang menghendaki kehamilan ini, saya duga ini adalah karena secara naluriah Anda sudah mengendus ketidaksetiaan suami, tetapi belum kunjung bisa mendapatkan buktinya. Hamil, dalam hal ini adalah sebuah mekanisme psikologis yang sering dipakai perempuan untuk meyakinkan dirinya bahwa suaminya akan tambah sayang dan jadi susah berkhianat, kalau istrinya hamil. Tentu saja anggapan dan keyakinan ini salah, karena laki-laki yang punya perempuan lain, memang sedang tertutup mata batinnya. Yang ia perturutkan hanyalah nafsu syahwatinya. Dalam kondisi tergoda, susah mengharap ia bisa menilai dengan penalaran yang obyektif dan rasional. Yang penting, senang-senang saja.

Berikutnya, kondisi tempat ia bekerja kini, yang sering keluar kota dan membuatnya harus bertemu banyak orang, memang memberinya peluang untuk melakukan perselingkuhan, bukan? Tidak semua orang LSM adalah penyelingkuh, tentunya. Tetapi, mereka yang memang susah mempertahankan komitmen terhadap perkawinan, sebaiknya tidak diberi peluang untuk berlama-lama sendirian, Bu.

Maka, di titik ini, bila puluhan tahun jadi istrinya menghasilkan sebuah kenyataan bahwa suami misalnya, genit dan senang melirik-lirik perempuan, terimalah sebagai kenyataan. Jangan membagus-baguskan gambaran diri suami hanya untuk menipu dan menyenangkan diri. Mengapa? Karena ini hanya akan membuat Anda lengah dan membuat keputusan salah. Ikut ke manapun dia ditempatkan, karena laki-laki sejenis ini biasanya lebih mudah merasa kesepian dan butuh ada orang lain di dekatnya.

Tidak ada salah atau benar dalam hal ini, yang ada adalah bagaimana kita menyiasati tipe suami tertentu, dengan perilaku yang sesuai, agar ia tetap berada di jalur yang benar, suami dan ayah yang setia pada keluarga. Untuk suami jenis ini, kalimat sejenis: "Saya percaya kok, pada suami. Jadi, walaupun kami berjauhan, saya yakin dia akan setia pada saya." Aduuuh, ini mah bunuh diri namanya! Banyak sekali penyelingkuh yang mengawali affair-nya tidak dengan niat mau serius, tetapi lalu susah membebaskan diri dari belenggu perempuan yang dikencaninya.

Nah, konsekuensinya, bila Anda ingin mempertahankan perkawinan, pindahlah Bu, dampingi suami. Bukan masalah Sumatra atau cuma Jakarta, tetapi ini adalah masalah sifat dan sikap, bukan? Temani, sehingga ia bisa pulang ke rumah setelah kerja, dan yakin ada perempuan yang mengurusnya dengan baik.

Pulihnya hati dan jiwa Anda akan sangat dipengaruhi usaha suami untuk merajut kembali respek dan rasa saling percaya yang sudah dicabik-cabiknya dengan menyelingkuhi Anda. Maka, jangan puas hanya dengan janji yang sudah terbukti banyak janji palsunya, apalagi kalau ia sudah memakai kata "Iya, mau kok...", "Tunggu waktu yang tepat..." "Beri waktu dong untuk melepas dia dan menceraikannya... tunggu anaknya agak besar, ya?"

Jeng S, Jeng S, ini bukanlah pertanda baik! Jangan happy hanya oleh janjinya, maka permintaan maafnya dan perkataan bahwa dia memilih Anda, masih butuh pembuktian panjang. Artinya, ia harus bisa membuktikan bahwa ia sudah benar-benar meninggalkan perempuan itu. Jangan mau ikut repot memikirkan anaknya, karena waktu membuatnya juga tidak melibatkan Anda, apalagi mendapat persetujuan Anda, bukan?

Kok, kejam benar ya, Bu Rieny? Tidak bermaksud demikian, Bu, tetapi hanya mengingatkan Anda bahwa pasca perselingkuhan, bukan hanya hati yang perlu ditata kembali, tetapi hasil perselingkuhan seringkali jadi hambatan utama untuk rekonsiliasi. Tanpa ketegasan, bagaimana hubungan ini akan dirajut kembali, dengan prasyarat apa, maka masalah akan selalu datang bergantian di masa datang.

Jadi, tegaslah mempertahankan status Anda. Dan bila Anda katakan bahwa ia sudah putus, jabarkan lagi apa arti putus itu? Sama sekal itidak ada kontak, atau tetap berkewajiban membiayai anak? Nah, Bu S, tidak sederhana, bukan? Bukan hanya soal memaafkan dan melupakan ya, Bu, tetapi bagaimana membersihkan "sampah-sampah" yang muncul akibat perselingkuhan pasti menguras emosi dan air mata lagi.

Tetap tegar ya, Bu, tetapi kejar terus ketegasan sekaligus pembuktiannya, agar langkah Anda di masa datang tak lagi tersandung oleh dampak dari perselingkuhan yang tak tuntas diputuskan oleh suami. Coba tetap berpikir positif untuk kelagsungan perkawinan Anda. Ada 6 anak lho, yang harus Anda pelihara kesejahteraan emosinya, bukan hanya dicukupi sandang pangan dan pendidikannya saja. Anak-anak butuh teladan yang baik dari orang tuanya, karenanya rajin-rajin menyuruh suami untuk menjalankan perintah agama secara baik agar terlindung dari perbuatan yang tak disukai Tuhan ya, Bu?