Usia yang terpaut jauh bisa menjadi pemicu ketidakharmonisan. Upayakan segera jalan keluarnya guna menghindari perselisihan lebih lanjut.
"Sori, aku capek banget nih hari ini. Besok aja deh!" tolak Ariana (bukan nama sebenarnya) secara halus saat suaminya, Herwin (sebut saja begitu), mengajaknya bercinta. Mungkin karena usianya sudah kepala empat, ia merasa gampang lelah, sementara hasratnya bercinta pun tak lagi menggebu seperti 10-15 tahun lalu. Sementara sang suami yang baru berumur 32 tahun tentu sedang hot-hotnya. "Ya sudah," ucap Herwin singkat. Dia pun membelakangi istrinya dengan kesal. Hatinya merutuk, menyesal menikahi wanita yang usianya jauh lebih tua.
Meski dapat dihindari, akan tetapi pasangan dengan usia istri lebih tua perlu mewaspadai munculnya berbagai masalah.
1. Perbedaan cara pandang
Cara pandang wanita yang 10 tahun lebih tua boleh jadi dalam kurun waktu tertentu tidak terlalu membawa masalah. Pandangan terhadap karier, contohnya. Ketika si istri berusia 40 tahun dan suaminya berusia 30 tahun mungkin saja keduanya masih memiliki cara pandang yang kurang lebih sama karena keduanya masih aktif bekerja, mapan berada di puncak karier, punya energi yang setara, dan sejenisnya. Akan tetapi hal yang sama akan berubah drastis begitu si istri memasuki usia setengah abad (50 tahun) sedangkan suaminya baru 40 tahun. Sangat mungkin si istri sudah tidak terlalu ambisius untuk mengejar karier sementara suaminya justru sedang penuh semangat mewujudkan impian masa mudanya.
Sandungan lainnya adalah keinginan memiliki keturunan. Besar kemungkinan istri yang sudah berusia 40 tahun enggan untuk hamil dan melahirkan, sementara suaminya yang masih berumur 30 tahunan sedang giat-giatnya beraktivitas seksual demi mendapatkan keturunan. Atau sebaliknya, istri yang memasuki perkawinan di usia 35 tahun sangat mungkin ingin hamil dan melahirkan setiap tahun agar di usia 40 tahun dia sudah bisa beristirahat, namun suaminya yang berumur 25 tahunan pasti enggan direpotkan oleh kehadiran bayi karena ia tengah sibuk dengan kariernya dan ingin bermanja-manja dengan istri tercinta. Bila tidak segera dicari jalan keluarnya, perbedaan-perbedaan tersebut jelas akan memunculkan masalah.
Mengatasinya: kedua pasangan harus menjalin komunikasi efektif guna membicarakan masalah yang ada. Bila sang suami ingin terus mengejar karier, kedepankan apa alasan/pertimbangannya. Begitu juga bila istri tak lagi ingin direpotkan urusan bayi. Resapi dan hargai alasan-alasan yang dikemukakan dengan kepala dingin lalu carikan jalan tengah agar pandangan yang berbeda ini bisa dipertemukan. Bila tak mampu melakukannya berdua, jangan sungkan untuk melibatkan ahli mencarikan solusinya.
2. Masalah kepemimpinan
Perbedaan usia yang terpaut jauh umumnya juga berpengaruh pada persoalan siapa yang memegang tampuk pimpinan dalam keluarga. Berdasarkan norma yang saat ini masih berlaku di masyarakat tentu suamilah yang diharapkan bertindak sebagai pemimpin keluarga. Sayangnya, usia suami yang jauh lebih muda sering kali memosisikan si istri menjadi sosok yang lebih matang dan kompeten. Apalagi bila si istri memiliki banyak kelebihan lain dibanding suaminya, seperti harta, kedudukan, pamor dan sebagainya yang pasti lebih menguatkan posisinya dalam keluarga. Bukan tidak mungkin sederet kelebihan tadi membuat istri jadi kurang menghargai suaminya. Tak menjadi masalah bila suami bersifat legowo. Namun akan menjadi runyam bila suami pun ngotot ingin diakui sebagai pemimpin keluarga.
Mengatasinya: sebelum mengikatkan diri dalam perkawinan, sepakati dulu bersama, siapa yang akan tampil memimpin keluarga, apakah suami atau istri. Bila ingin mengikuti norma yang lazim berlaku dalam masyarakat, berikan hak lebih besar pada pria untuk memimpin keluarga meski istrinya mungkin lebih berpengaruh. Sebaliknya, bila istri jelas-jelas lebih kompeten lantaran karier dan pendidikannya lebih oke, mengapa harus malu untuk menyerahkan tampuk pimpinan keluarga pada istri. Apa pun yang menjadi pilihan dan disepakati bersama ini hendaknya terus dikomunikasikan dan dievaluasi sepanjang perjalanan perkawinan mereka agar tidak menimbulkan masalah. Idealnya, suami dan istri berjalan berdampingan, saling mengisi satu sama lain sebagai partner hidup tanpa harus terpaku pada persoalan siapa yang memimpin dan yang dipimpin.
3. Kematangan jiwa
Kematangan jiwa seorang wanita tumbuh lebih cepat dibandingkan laki-laki. Jadi, perlu diwaspadai akan terjadinya pola pandang yang berbeda terhadap suatu permasalahan dari pria maupun wanita di usia yang sama. Wanita dengan tingkat kejiwaan yang lebih mapan biasanya akan lebih bijak menanggapi masalah tertentu. Contohnya, bila sang suami ternyata punya banyak teman kerja wanita yang sering mengajaknya makan siang bareng. Akan tetapi persoalan yang sama boleh jadi akan dipandang amat berbeda oleh suami yang terbakar cemburu bila mengetahui istrinya makan malam bersama rekan-rekan prianya. Tak heran bila perbedaan kematangan jiwa ini bisa memunculkan masalah keluarga yang pelik.