Kiat Sukses Ibu Bekerja

By nova.id, Senin, 27 September 2010 | 17:05 WIB
Kiat Sukses Ibu Bekerja (nova.id)

Sebenarnya enggak sulit, kok, kalau kita mau sukses jadi ibu sekaligus wanita karier. Kuncinya, ada kemauan untuk membagi waktu dengan baik dan kematangan diri.

Tak mudah memang menjadi ibu rumah tangga yang baik sekaligus dapat mengembangkan diri. Pasalnya, tugas sebagai ibu dalam menyiapkan anak agar mampu bersaing dan mandiri di masa depan perlu mendapat perhatian dan waktu yang tak sedikit. Sementara itu, kebutuhan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki si ibu juga cukup besar. Sebagaimana kita tahu, dalam karier wanita juga dituntut untuk selalu mengembangkan diri dan siap bersaing agar kariernya terus maju.

Nah, menghadapi dua tugas yang harus dilakukan dalam waktu bersamaan, tentunya bukan sesuatu yang mudah bagi ibu bekerja. Itulah mengapa, tak sedikit ibu bekerja yang lalu jadi pesimis, "Akankan saya mampu memberikan yang terbaik untuk keluarga dan karier?" Takutnya, pekerjaan di kantor jadi keteter gara-gara perhatian dan waktu lebih tersedot untuk anak. Sebaliknya, kalau urusan kantor yang lebih diperhatikan, akibatnya anak malah jadi terbengkalai. Apakah hal ini berarti wanita tak bisa berperan ganda sebagai ibu sekaligus wanita karier?

Ternyata, enggak juga, kok! Bahwa pelaksanaannya sangat berat, memang betul, tapi bukan berarti dua pekerjaan ini tak bisa kita lakoni seiring sejalan. Seperti dikatakan dra. Nuke S. Arafah, "Kita bisa, kok, menjadi ibu dengan semua tugas dan PR-nya di rumah sekaligus wanita karier." Yang penting, lanjut psikolog dari LKBHIuWK (Lembaga Konseling dan Bantuan Hukum Indonesia untuk Wanita dan Keluarga), Jakarta ini, "ada kemauan untuk bisa membagi waktu. Karena bagi ibu bekerja, yang dibutuhkan bukanlah kuantitas waktu melainkan kualitasnya." Jadi, Bu, jangan pesimis lagi, ya.

WAKTU DAN STAMINA

Nah, agar kebutuhan akan kualitas waktu dapat terpenuhi, berarti ibu bekerja harus bisa meluangkan waktu yang tersisa saat sepulang bekerja untuk melakukan kegiatan dan pembicaraan intens dengan suami dan anak. "Waktu yang ada harus betul-betul diisi dengan hal-hal bermanfaat yang melibatkan seluruh keluarga," nasehat Nuke. Misalnya, isilah obrolan tentang kegiatan anak-anak di "sekolah" atau hal-hal lain seputar suami dan ibu. Jadi, saling share, berbagi cerita. "Saat itu merupakan kesempatan bagi ibu untuk memperhatikan kebutuhan anak dan memasukkan pendidikan agama, budi pekerti, serta sopan santun pada anak," lanjut Nuke.

Itulah mengapa, sarannya, sepulang kantor, anak-anak sedapat mungkin selalu bersama ibu. "Bila kualitas waktu bisa dijalankan dengan baik, saya yakin, urusan rumah dan pekerjaan pun bisa tertata dengan baik." Tentunya, pengisian waktu secara berkualitas juga bisa dilakukan pagi hari sebelum berangkat ke kantor. "Sebelum berangkat, ibu harus memastikan bahwa semuanya beres," kata Nuke. Untuk itu, ibu harus bisa menghitung lama perjalanan yang dibutuhkan dari rumah ke kantor, apakah cukup jauh sehingga membutuhkan waktu lama. Bila jaraknya cukup jauh, ibu harus rela bangun lebih pagi agar sempat menyiapkan kebutuhan anak-anak dan rumah. Jadi saat ibu berangkat, semuanya sudah rapi. "Hal-hal seperti ini, kan, juga berkaitan dengan manajemen waktu," tandasnya.

Bagaimana, Bu, satu solusi sudah ketemu, kan? Pokoknya, sepanjang kita mau mengelola waktu dengan baik, tak usah cemas salah satu bakalan enggak keurus. Memang, yang namanya manusia, seringkali karena capek bekerja di kantor, begitu pulang ke rumah rasanya ingin segera istirahat. Padahal, anak-anak di rumah juga menuntut, kalau ibu sudah pulang kantor berarti kesempatan mereka bermain dengan ibu. "Dalam hal ini dibutuhkan kematangan dan kedewasaan dari ibu," ujar Nuke. Capek sepulang bekerja itu wajar, lanjutnya, tapi bukankah ibu punya tanggung jawab besar untuk mengurus rumah? "Jadi, ibu harus bisa menunda rasa capeknya. Barulah setelah anak-anak beres, suami oke, ibu bisa memikirkan dirinya sendiri. Mau tidur atau rileks, silakan. Mau makan apa saja yang disuka atau membaca buku, silakan," tuturnya. Dari pengamatan Nuke, ternyata banyak, lo, ibu bekerja yang berhasil dengan cara demikian. "Mereka mengatur betul waktunya."

Namun tentu saja, ibu juga harus punya fisik dan stamina yang tetap segar agar mampu menjalankan dua akitivitasnya itu dengan baik. Untuk itu, tak ada salahnya bila ibu bekerja mempunyai orang yang bisa dipercaya untuk mengasuh anak. Entah babysitter, pembantu yang dipercaya, atau keluarga dekat. "Dengan demikian, ibu hanya bertindak sebagai pengawas sehingga energinya bisa dialihkan untuk mengisi waktu secara kualitas dengan keluarga. Karena sebagai ibu bekerja, kita juga harus cukup tidur dan istirahat agar energi kita cukup memadai untuk di kantor dan anak-anak," tutur Nuke.

HILANGKAN RASA BERSALAH

Bila kita sudah bisa membagi waktu dengan baik, yang harus kita lakukan selanjutnya ialah menghilangkan perasaan bersalah. Bukankah biasanya para ibu bekerja sering dihinggapi oleh rasa bersalah karena mengurangi waktu bersama anak? Celakanya, rasa bersalah tersebut sering dikompensasikan dengan memanjakan anak secara berlebihan, entah dengan tumpahan kasih sayang maupun hadiah mahal dan tak perlu. Padahal, sikap kita yang demikian justru hanya akan menyebabkan anak cenderung jadi manja dan tak mandiri. "'Membayar' rasa bersalah ibu dengan kemanjaan yang berlebihan bukanlah bentuk pendidikan yang baik karena kita menghadapi anak bukan hanya sekarang ini tapi untuk seumur hidupnya," terang Nuke. Selain itu, harus diingat pula, apa yang kita lakukan akan berpengaruh pada anak.

"Bukankah niat kita mendidik supaya kelak bisa mandiri dan tangguh? Nah, kalau sejak kecil ia sudah biasa dimanjakan, akankah ia bisa menjadi pribadi yang tangguh? Jadi, hendaknya ibu-ibu berpikir panjang sebelum memanjakan anak," nasehatnya. Sebenarnya, tutur Nuke, ibu bekerja tak perlu sampai merasa bersalah. Pasalnya, sudah umum bila seorang ibu masa kini juga berkarier. Lagi pula, belum tentu ibu yang tinggal di rumah tak mempunyai rasa bersalah. "Bisa saja, walau ia cuma tinggal di rumah tapi karena enggak peka, tak peduli kala anak membutuhkannya, maka saat terjadi apa-apa pada anak, ia pun menyesal. Misalnya, kenapa saya tak ada di sampingnya pada saat ia membutuhkan saya? Padahal, saya tak bekerja. Jadi sebetulnya feeling guilty itu sangat relatif. Makanya sebaiknya dihilangkan saja."