Kiat Sukses Ibu Bekerja

By nova.id, Senin, 27 September 2010 | 17:05 WIB
Kiat Sukses Ibu Bekerja (nova.id)

Daripada selalu dirundung perasaan bersalah, Nuke menyarankan, lebih baik kita mengarahkan pola pikir anak agar anak bisa lebih memahami situasi yang dihadapinya. "Terangkan pada anak, tentu dengan bahasa mereka, mengapa ibu tak bisa sepenuh waktu bersama mereka. Terangkan pula mengapa ibu perlu bekerja sekarang ini. Tanamkan pada anak bahwa ibu yang bekerja itu sudah umum dan ada manfaatnya untuk keluarga. Misalnya, kalau ibu bekerja, maka nanti kalian bisa mendapat pendidikan yang bermutu karena pendidikan yang bermutu itu membutuhkan dana yang tak sedikit. Nah, kalau ibu juga ikut bekerja, maka ibu punya cukup uang untuk membayar pendidikan bermutu tersebut." Dengan adanya pemahaman anak sejak dini, jelas Nuke, akan meminimalkan konflik batin ibu sehingga ibu tak terus menerus dihantui rasa bersalah.

Cara lain yang dianjurkan Nuke, lebih sensitif terhadap kebutuhan anak. Misalnya, saat mau berangkat ke kantor, kita harus melihat kira-kira apa kebutuhan si kecil pada hari itu. Kalau bisa, penuhi saat itu juga. Kalau tidak, bicarakanlah solusinya dengan anak. Misalnya, si kecil kelihatan murung atau terlihat ingin menyampaikan sesuatu, ibu bisa bilang, "Ibu tahu, kamu membutuhkan Ibu tapi Ibu harus pergi ke kantor karena ini adalah suatu kewajiban. Kira-kira bisa menunggu Ibu pulang kantor atau tidak? Nanti kalau Ibu sudah pulang, kita cerita, ya?"

Tentunya, begitu ibu pulang kantor, jangan lupa untuk segera menghampiri anak atau mengusahakan pulang lebih cepat dari kantor. Bisa juga dengan memanfaatkan teknologi komunikasi yang sudah semakin maju seperti telepon genggam. Misalnya, dalam perjalanan ke kantor, ibu melanjutkan pembicaraan tadi ketika hendak berangkat. Dengan demikian, masalah anak bisa secepatnya diselesaikan tanpa si anak harus menunggu sampai ibu pulang kantor. Tentunya alat komunikasi tersebut juga sebaiknya dimanfaatkan untuk menjaga komunikasi dengan anak dan anggota keluarga lainnya. Jadi, pesan Nuke, jangan lupa untuk selalu berkomunikasi dengan anak. "Juga, selalu memberi tahu kepada anak ke mana mengontak ibu bila dibutuhkan sehingga komunikasi dengan anak bisa tetap berlangsung." Anak pun tentunya akan merasa senang, tak merasa dicuekin, "karena, meski ibu tak di rumah, toh, setiap saat aku bisa menghubungi ibu."

HARUS KREATIF

Kendati waktu sudah diatur sedemikian rupa, namun karena tuntutan keluarga yang semakin tinggi, misalnya, anak yang semakin membutuhkan perhatian, tak jarang ibu bekerja kembali dihadapkan pada pilihan antara karier dan tugas sebagai ibu. Saran Nuke, tak perlu kecil hati. "Kalau kita kreatif, sebenarnya di rumah pun ada saja yang bisa dikerjakan. Mungkin kita bisa membuat pekerjaan tangan yang menghasilkan sambil tetap mengawasi anak. Iya, kan! Apalagi sekarang home-industri dan pelayanan jasa juga bisa dilakukan di rumah." Karena itulah, menurut Nuke, kreativitas harus juga dipunyai ibu bekerja. Dengan demikian, kita tak hanya terpaku pada pekerjaan kantor.

"Hobi juga bisa dikembangkan untuk menghasilkan uang, lo. Banyak, kan, ibu-ibu bekerja yang ketika harus meninggalkan kariernya namun tetap percaya diri?" Bukan berarti ibu bekerja yang enggan meninggalkan kariernya tak punya kreativitas, lo, melainkan karena mereka sulit meninggalkan hal-hal rutin. "Bila kita sudah bekerja bertahun-tahun di suatu kantor, kita melihatnya sebagai kekuatan tersendiri; kita sudah mempunyai rasa aman. Dengan demikian, saat kita harus keluar atau meninggalkan kantor, kita takut kehilangan rasa aman itu. Padahal, yang rutin itu justru sering menyebabkan kita kehilangan kreativitas untuk membuat sesuatu yang baru."

Jadi, Bu, kuncinya adalah kreativitas. Kalau kita kreatif, yakin, deh, kita juga bisa, kok, bekerja di rumah. Lain hal bila keengganan meninggalkan karier disebabkan ada perasaan takut kebanggaannya sebagai wanita karier akan hilang dengan men-switch-nya sebagai ibu rumah tangga murni. Tak ada satu pun ahli yang bisa memberikan jalan keluar karena harus dikembalikan ke diri masing-masing, apa yang menjadi prioritasnya: keluarga atau diri sendiri, kebanggaan sebagai wanita bekerja atau tuntutan keluarga yang lebih penting? "Bila Anda sudah menentukan prioritas, ya, itulah pilihannya," tandas Nuke. Tentu dengan segala konsekuensinya, lo.  

AJAKLAH SUAMI, BU!

 

Beban kita jadi makin lebih ringan, lo, bila suami juga diajak dalam mengurus anak. Misalnya, pada saat anak sakit atau pembantu pulang kampung sementara acara kita di kantor lagi padat-padatnya. Coba, deh, ajak suami untuk bersama-sama mencari jalan keluar. Katakan, misalnya, "Duh, Yah, hari ini Ibu padat sekali acaranya. Bagaimana, ya? Bisa enggak jika Ayah cuti untuk menunggui si kecil atau pulang sebentar menengoknya di rumah?"

Psikolog Nuke yakin, suami bisa diajak bicara dan bergantian mengurus anak. "Apalagi ayah jaman sekarang, kan, sudah semakin menyadari perannya bahwa mengurus anak bukan melulu tanggung jawab ibu," tuturnya. Kita pun jangan segan-segan untuk mengingatkan suami bila ia terlihat enggan terlibat dalam pengasuhan anak. Namun tentunya, lebih dulu kita harus mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan suami. Katakan, tentunya tanpa emosi, bahwa kita keberatan mengasuh anak sendirian. Bukankah punya anak adalah kemauan berdua? "Dengan memberi tahu secara baik-baik pada saat yang tepat dan situasi yang pas, biasanya suami pun bisa mengerti dan mau terlibat," lanjut Nuke.

Kadang istri memang dibutuhkan lebih dewasa dari suami, tambahnya, meskipun ada kalanya pula istri lebih manja. "Itulah dinamika perkawinan. Yang penting, komunikasi harus terus dilakukan. Kalau kita enggak ngomong, bagaimana suami bisa tahu keberatan kita, kan?" Tapi, bagaimana kalau suami ternyata tak mau juga diajak terlibat? Jawabannya, menurut Nuke, kembali pilihan pada peran ganda sangat tergantung dari diri kita sendiri. "Anda bekerja untuk apa? Mengapa Anda bekerja? Bagaimana tanggung jawab Anda terhadap anak-anak dan suami? Semuanya harus dipikirkan sebelum Anda memutuskan memilih peran ganda tersebut." Tentunya bila kita memilih berperan ganda, maka segala konsekuensinya juga harus diterima, bukan?

Santi Hartono