Hindari Kekerasan Dalam Keluarga

By nova.id, Rabu, 1 September 2010 | 17:09 WIB
Hindari Kekerasan Dalam Keluarga (nova.id)

Istri dan anak-anak paling sering mengalaminya. Padahal, dampaknya sangat luar biasa, terutama pada anak. Apa yang dapat kita lakukan untuk menghindarinya ?

"Anak Tewas Dihajar Ayah" atau "Istri Babak Belur Dipukuli Suami". Pernah, kan, membaca judul-judul seram semacam itu di suratkabar? Kita mungkin tak habis pikir, kok, bisa, ya, orang setega itu berbuat kejam terhadap anggota keluarganya sendiri.

Tapi jangan salah, lo. Yang dimaksud perlakuan kejam tak melulu berupa kekerasan terhadap fisik. "Bila suami/istri sering menghina pasangan dengan kata-kata tak senonoh atau orang tua merendahkan anak, juga termasuk tindak kekerasan, lo," kata Irwanto Ph.D..

Istilahnya, emotional abuse atau perlakuan kasar secara emosi. Ada pula sexual abuse, yaitu perlakuan kasar secara seksual, baik kepada istri maupun anak. Bahkan, tambah Irwanto, membiarkan anak memenuhi kebutuhannya sendiri juga dikategorikan abuse atau perlakuan kejam yang disebut negligent treatment. "Bukankah menjadi hak anak untuk mendapatkan semua kebutuhannya dari orang tua?" tukas psikolog pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini. P

PENYEBAB

Ada berbagai faktor yang memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. "Pada anak, yang sering terjadi adalah kekerasan berbasis faktor ekologi," tutur Irwanto. Misalnya, anak yang tengah dalam tahap perkembangan bereksplorasi. Ia tentu butuh ruang gerak yang besar agar bisa bebas lari ke sana ke mari untuk melatih otot-ototnya. "Nah, bila rumahnya terlalu kecil, lalu ia menabrak barang pecah-belah, umumnya orang tua, kan, lantas jadi kalap dan anak pun dihajar."

Faktor lain ialah pandangan gender yang sangat mengedepankan peran lelaki. "Biasanya kekerasan mulai terjadi manakala lelaki merasa eksistensinya mulai luntur dan kehilangan peran yang memberinya power," terang Irwanto. Misalnya, ayah yang terkena PHK sementara ibu masih bekerja. Nah, untuk menutupi rasa rendah dirinya, seringkali ia justru menyerang secara fisik ke istri atau anak-anaknya. "Tindak kekerasan di dalam rumah tangga juga banyak terjadi di golongan masyarakat miskin dan kurang berpendidikan," lanjut Irwanto. Tapi, kemiskinanlah yang memberi sumbangan besar terhadap tindak kekerasan.

"Pada sebuah keluarga yang setiap hari pusing memikirkan desakan kebutuhan hidup sementara penagih hutang terus-menerus mengejar, tentunya keadaan ini akan menyulut tumbuhnya sikap temperamental." Sedangkan pada individu yang berpendidikan rendah, abuse kerapkali terjadi karena pemikirannya tentang risiko atau akibat dari perilakunya sangat terbatas. Mereka menganggap, perilaku mereka tak akan diperhatikan orang lain. Karena mereka sadar, posisinya sangat marjinal di masyarakat sehingga mereka beranggapan, siapa, sih, yang mau memperhatikan kami? Timbullah sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar dalam kehidupan sehari-harinya. Seolah-olah mereka sah-sah saja melakukan segala perbuatan di dalam rumahnya sendiri.

Disamping faktor-faktor tersebut, tindak kekerasan juga dapat dihubungan dengan faktor maturity (kedewasaan) seseorang. "Seringkali, tindak kekerasan terhadap anak atau pasangan dilakukan oleh individu, yang meski secara demografis tergolong berusia dewasa tapi sebenarnya secara psikologis belum matang dan masih labil," tutur Irwanto. I

ISTRI DAN ANAK

Adapun yang menjadi korban tindak kekerasan di dalam rumah tangga, menurut Irwanto, bisa siapapun dari setiap anggota keluarga. "Bukan cuma anak dan istri, tapi juga ayah. Bahkan, kakek-nenek yang tinggal serumah." Hanya memang, yang paling sering mengalami perlakuan kejam adalah istri dan anak. Hal ini disebabkan mereka berada pada posisi yang lemah di dalam keluarga.

Bukankah dalam hal apapun ada kecenderungan yang kuat akan menindas si lemah? Nah, di dalam keluarga, suami umumnya memiliki posisi lebih kuat karena ia lebih banyak bertindak sebagai kepala keluarga. Disamping, ia pun biasanya memiliki kedudukan ekonomi lebih kuat dibanding istri. Itulah mengapa, suami jarang sekali menjadi korban tindak kekerasan di dalam keluarga. Bahkan, sekalipun suami memiliki kedudukan ekonomi lebih lemah atau sama sekali tak berfungsi secara ekonomi lantaran di-PHK, misalnya.