Istri dan anak-anak paling sering mengalaminya. Padahal, dampaknya sangat luar biasa, terutama pada anak. Apa yang dapat kita lakukan untuk menghindarinya ?
"Anak Tewas Dihajar Ayah" atau "Istri Babak Belur Dipukuli Suami". Pernah, kan, membaca judul-judul seram semacam itu di suratkabar? Kita mungkin tak habis pikir, kok, bisa, ya, orang setega itu berbuat kejam terhadap anggota keluarganya sendiri.
Tapi jangan salah, lo. Yang dimaksud perlakuan kejam tak melulu berupa kekerasan terhadap fisik. "Bila suami/istri sering menghina pasangan dengan kata-kata tak senonoh atau orang tua merendahkan anak, juga termasuk tindak kekerasan, lo," kata Irwanto Ph.D..
Istilahnya, emotional abuse atau perlakuan kasar secara emosi. Ada pula sexual abuse, yaitu perlakuan kasar secara seksual, baik kepada istri maupun anak. Bahkan, tambah Irwanto, membiarkan anak memenuhi kebutuhannya sendiri juga dikategorikan abuse atau perlakuan kejam yang disebut negligent treatment. "Bukankah menjadi hak anak untuk mendapatkan semua kebutuhannya dari orang tua?" tukas psikolog pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini. P
PENYEBAB
Ada berbagai faktor yang memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. "Pada anak, yang sering terjadi adalah kekerasan berbasis faktor ekologi," tutur Irwanto. Misalnya, anak yang tengah dalam tahap perkembangan bereksplorasi. Ia tentu butuh ruang gerak yang besar agar bisa bebas lari ke sana ke mari untuk melatih otot-ototnya. "Nah, bila rumahnya terlalu kecil, lalu ia menabrak barang pecah-belah, umumnya orang tua, kan, lantas jadi kalap dan anak pun dihajar."
Faktor lain ialah pandangan gender yang sangat mengedepankan peran lelaki. "Biasanya kekerasan mulai terjadi manakala lelaki merasa eksistensinya mulai luntur dan kehilangan peran yang memberinya power," terang Irwanto. Misalnya, ayah yang terkena PHK sementara ibu masih bekerja. Nah, untuk menutupi rasa rendah dirinya, seringkali ia justru menyerang secara fisik ke istri atau anak-anaknya. "Tindak kekerasan di dalam rumah tangga juga banyak terjadi di golongan masyarakat miskin dan kurang berpendidikan," lanjut Irwanto. Tapi, kemiskinanlah yang memberi sumbangan besar terhadap tindak kekerasan.
"Pada sebuah keluarga yang setiap hari pusing memikirkan desakan kebutuhan hidup sementara penagih hutang terus-menerus mengejar, tentunya keadaan ini akan menyulut tumbuhnya sikap temperamental." Sedangkan pada individu yang berpendidikan rendah, abuse kerapkali terjadi karena pemikirannya tentang risiko atau akibat dari perilakunya sangat terbatas. Mereka menganggap, perilaku mereka tak akan diperhatikan orang lain. Karena mereka sadar, posisinya sangat marjinal di masyarakat sehingga mereka beranggapan, siapa, sih, yang mau memperhatikan kami? Timbullah sikap acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar dalam kehidupan sehari-harinya. Seolah-olah mereka sah-sah saja melakukan segala perbuatan di dalam rumahnya sendiri.
Disamping faktor-faktor tersebut, tindak kekerasan juga dapat dihubungan dengan faktor maturity (kedewasaan) seseorang. "Seringkali, tindak kekerasan terhadap anak atau pasangan dilakukan oleh individu, yang meski secara demografis tergolong berusia dewasa tapi sebenarnya secara psikologis belum matang dan masih labil," tutur Irwanto. I
ISTRI DAN ANAK
Adapun yang menjadi korban tindak kekerasan di dalam rumah tangga, menurut Irwanto, bisa siapapun dari setiap anggota keluarga. "Bukan cuma anak dan istri, tapi juga ayah. Bahkan, kakek-nenek yang tinggal serumah." Hanya memang, yang paling sering mengalami perlakuan kejam adalah istri dan anak. Hal ini disebabkan mereka berada pada posisi yang lemah di dalam keluarga.
Bukankah dalam hal apapun ada kecenderungan yang kuat akan menindas si lemah? Nah, di dalam keluarga, suami umumnya memiliki posisi lebih kuat karena ia lebih banyak bertindak sebagai kepala keluarga. Disamping, ia pun biasanya memiliki kedudukan ekonomi lebih kuat dibanding istri. Itulah mengapa, suami jarang sekali menjadi korban tindak kekerasan di dalam keluarga. Bahkan, sekalipun suami memiliki kedudukan ekonomi lebih lemah atau sama sekali tak berfungsi secara ekonomi lantaran di-PHK, misalnya.
Justru istrinyalah yang menjadi korban tindak kekerasan dari si suami karena, seperti telah diuraikan di atas, si suami merasa eksistensinya mulai luntur dan kehilangan peran yang memberinya power. Tapi coba kalau si istri yang tak berpenghasilan sehingga bargaining position-nya lemah, ia akan mudah sekali menjadi korban tindak kekerasan dari sang suami. Tapi, toh, kita juga perlu memahami mengapa lelaki atau suami yang lebih sering melakukan tindak kekerasan terhadap pasangannya dibanding istri. Pasalnya, hidup lelaki itu sendiri sangat keras.
"Dia mungkin dihina-hina di kantornya sementara di rumah harus bertindak sebagai kepala keluarga. Memang, bukan berarti hal ini sebagai pembenaran untuk dia berlaku sewenang-wenang. Tapi bahwa hidupnya keras, kita tak boleh menutup mata begitu saja. Seringkali dia diharapkan menunjukkan perfomance-nya jauh di atas kemampuannya sendiri hanya karena dia lelaki dan kepala keluarga. Nah, keadaan inilah yang membuat lelaki bersikap lebih keras dibandingkan perempuan," tutur Irwanto.
Namun dalam kapasitas sebagai orang tua, persoalan gender tampaknya tak terlalu mencolok. Baik ayah maupun ibu sama-sama "berpotensi" untuk melakukan tindak kekerasan terhadap anak karena hubungan antara anak dan orang tua bersifat nonegaliter.
"Dalam interaksi antara anak dan orang tua, umumnya posisi anak ditempatkan pada subordinat yang bukan saja tak memiliki hak bicara, tapi juga kerap dirugikan akibat tindakan orang dewasa di sekitarnya," terang Irwanto. Misalnya, kala anak mencoba membantah perkataan orang tua, sering orang tua kemudian memperlakukan anak secara kasar dengan harapan anak akan jera dan kembali pada sikapnya sebagai anak penurut.
Bahkan, seringkali anak menjadi korban ayah dan ibu secara bersamaan. "Kalau ibu dimarahi ayah dan ia tak berani melawan, maka sebagai protes, ia melampiaskan ketidakberdayaannya pada anak." Apalagi, dalam setiap konflik, yang mendominasi adalah pihak paling powerful. "Boleh dibilang, anak berada pada pihak yang paling powerless, kalah," tandas konsultan pada Komisi Nasional Perlindungan Anak ini. Yang paling celaka adalah anak perempuan.
"Dalam komunitas yang mengedepankan nilai-nilai patriakis, anak perempuanlah yang lebih berpotensi menjadi sasaran pertama tindak kekerasan karena anak perempuan biasanya ditempatkan sebagai warga kelas dua. Hak-hak anak perempuan seolah seperti hak ibunya, tempatnya hanya di belakang. Akibatnya, pada saat terjadi kekerasan, seringkali mereka yang menjadi korban duluan," lanjut Irwanto. Anak perempuan juga yang paling sering mengalami tindak kekerasan seksual lebih banyak dibandingkan anak lelaki.
TAK PERCAYA DIRI
Namun, apapun penyebabnya dan siapapun korbannya, tindak kekerasan selalu menimbulkan dampak pada sang korban, baik secara fisik maupun emosi. "Orang yang dikerasi secara fisik pun akan berdampak pada emosionalnya juga," ujar Irwanto. "karena orang yang dipukul atau dianiaya pasti akan merasa sakit hati," lanjutnya.
Bila orang sering dihina dan dilecehkan atau tak diorangkan, tentunya akan menumbuhkan perasaan rendah diri dan ketidakmampuan bersosialisasi dengan lingkungannya. "Pada anak atau istri yang sering dikatai bodoh, malas, nakal, dan tak berguna, lama-lama akan menganggap dirinya memang seperti itu. Akibatnya, cap-cap itu terus melekat dan akhirnya membuat ia tak percaya diri serta merasa tak berguna." Penderitaan yang melukai ruang psikologis ini dapat menimbulkan traumatik yang mendalam.
Pada anak, persoalannya akan lebih serius lagi karena dampak ini bisa mempengaruhi perkembangannya. "Semua tindakan kekerasan yang dilihat dan dirasakan anak akan direkam di bawah sadarnya dan akan dibawa sampai mereka dewasa. Jadi, besar kemungkinan ketika dewasa nanti ia pun cenderung akan berperilaku sama." Selain itu, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya bisa menjadi anak yang agresif.
Sayangnya, tak semua tindak kekerasan bisa terlihat dengan jelas akibatnya. Hanya tindak kekerasan secara fisik yang bisa terlihat, entah berupa tanda-tanda lebam atau luka. Sedangkan tindak kekerasan yang tak menyebabkan luka fisik semisal penelantaran anak atau sexual abuse seperti ayah yang meraba-raba alat kelamin anak perempuannya, tak akan jelas terlihat.
TAK ADA PERLINDUNGAN
Tentunya, tindak kekerasan maupun pelanggaran atas hak-hak individu di dalam sebuah keluarga tak dapat dibenarkan, baik dari segi hukum maupun sosiologis. Celakanya, hingga kini belum ada kontrol sosial dan perangkat hukum yang bisa menjerat si pelaku. Itulah mengapa, kekerasan dalam keluarga masih saja banyak ditemui di masyarakat kita. Secara kultural, terang Irwanto, tak ada kontrol dari masyarakat terhadap kekerasan yang terjadi di dalam kelurga.
"Masyarakat masih berpendapat, kekerasan yang terjadi di sebuah rumah tangga bukan menjadi tanggung jawab para tetangga. Apalagi orang tua yang memukul anak sering menggunakan alasan demi mendisiplinkan anak sehingga lingkungan sekitar pun jadi enggan untuk turut campur, takut dituntut dengan tuduhan mencampuri urusan domestik. Paling-paling mereka hanya bisa menggunjingkannya." Barulah ketika anak sudah meninggal atau istri berteriak-teriak minta tolong, para tetangga pun tergopoh-gopoh membantu. Namun kita tak bisa menyalahkan sikap masyarakat yang demikian karena saksi pelapor tak dilindungi Undang-undang.
"Sebenarnya, sih, ada Undang-undangnya, yaitu UU 479 pasal 10. Tapi, pasal itu baru berlaku kalau ada peraturan pemerintahnya. Nah, peraturan pemerintahnya ini yang kita tak punya," tutur Irwanto. Jadi, tak aneh bila pelakunya baru bisa dikenai tuntutan hukum setelah korbannya cedera atau meninggal. Padahal, jika masyarakat yang menyaksikan tindak kekerasan ini dilindungi, bukan tak mungkin kekerasan dapat lebih dicegah.
"Apalagi sekarang banyak lembaga-lembaga pemerintah maupun nonpemerintah yang bersedia menampung atau menjadi crisis center bagi setiap korban kekerasan di rumah sehingga mereka bisa melaporkannya ke sana," tambah Irwanto yang berharap UU saksi ini segera disahkan agar masyarakat bisa bertindak sebagai moral force di lingkungannya.
SISTEM PERTAHANAN DIRI
Apa boleh buat, karena kasus tindak kekerasan di dalam keluarga masih belum tersentuh hukum, maka yang bisa kita lakukan adalah menghindari terjadinya tindak kekerasan tersebut. Irwanto menyarankan agar para istri sebaiknya punya pegangan ekonomi yang cukup. "Bagaimanapun, tanpa kekuatan ekonomi, istri tak memiliki bargaining power yang cukup. Sifat hubungannya, yang satu akan berada di atas yang lain."
Tentunya, istri pun harus mengubah pandangannya sendiri tentang perlakuan yang diterimanya dari suami. "Istri yang dipukul seringkali hanya menerima saja dan bahkan berusaha sangat mengerti mengapa suaminya melakukan itu. Jadi, pemukulan itu dianggapnya sebagai sesuatu yang wajar, 'Mungkin aku yang cerewet atau banyak mengeluh.' Padahal, sistem pertahanan diri perlu dibangun." Bila perlu, anjur Irwanto, lakukan konseling pada ahlinya agar muncul pemikiran bahwa pemukulan dengan alasan apapun tak dapat dibenarkan.
Dari sisi pasangan yang kerap berperilaku kasar, menurut Irwanto, sebenarnya bisa disadarkan tentang perlunya konseling apabila ia menyadari perilakunya tersebut. Tapi bila ia termasuk tipe egois dan tak mau mendengarkan pendapat pasangannya, "ada baiknya meminta bantuan pihak ketiga yang sama-sama dihormati oleh suami dan istri untuk menganjurkannya konseling." Hal lain yang dapat dilakukan istri ialah mengidentifikasi pada saat kapan saja sang suami akan menyerangnya. Misalnya, pada waktu pulang kerja malam atau ketika dalam kondisi terlalu capek.
"Nah, kalau sudah mengetahui 'jadwal' tersebut, hindarilah kontak secara fisik atau saling bertemu sekadar untuk menghindari resiko saja," saran Irwanto. Khusus untuk anak, Irwanto minta agar sebaiknya dilatih sejak dini untuk mengatakan "tidak" dan membangun sistem pertahanannya sendiri. Misalnya, "Kalau kamu enggak senang dipegang-pegang, katakan saja bahwa kamu merasa tak senang."
Anak juga harus dilatih bagaimana mencari bantuan, bukan saja untuk dirinya sendiri tapi juga bila melihat kekerasan di rumah. "Dia mesti tahu ke mana harus pergi untuk meminta bantuan." Jika alternatif di atas menemui jalan buntu karena perilaku kasar tersebut sudah mendarah daging, menurut Irwanto, hubungan interpersonal bisa saja dihilangkan.
"Namun ingat, perceraian atau perpisahan sebaiknya selalu menjadi alternatif terakhir." Dalam bahasa lain, menghilangkan hubungan interpersonal bisa menjadi bagian dari solusi tapi bukan solusi terbaik kalau alternatif lain masih bisa dicari. Nah, Bapak dan Ibu, kalau dampaknya banyak dan mengerikan seperti itu, segera, deh, hindari kekerasan di rumah.
Santi Hartono / nakita