Bapak dan Ibu, penting sekali buat anak punya kebanggaan terhadap orang tua. Kalau tidak, besarnya nanti ia tak kenal siapa dirinya alias tak punya jati diri.
Kala si Upik kaget lantaran bajunya ketumpahan es krim, temannya, si Buyung spontan berkomentar dengan nada bangga, "Pake deterjen Mamaku langsung hilang." Si Upik pun segera menyahut tak mau kalah, "Hebatan punya Mamaku!" Ternyata, si Buyung juga tak mau kalah, "Deterjen Mamaku, busanya wuih....!" Si Upik pun jengkel, "Huh!"
Adegan di atas merupakan cuplikan dari tayangan iklan sebuah produk deterjen pencuci pakaian. Namun jangan salah, perilaku saling mengunggulkan atau membanggakan orang tua bukan cuma bisa kita saksikan di layar kaca, melainkan juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari. "Biasanya perilaku demikian muncul ketika anak menginjak usia prasekolah," kata Dra. Surastuti Nurdadi, M.Si. Pasalnya, di usia ini anak mulai belajar banyak tentang sesuatu hal. "Ia sudah lebih banyak pengetahuannya, kendati cuma sebatas hal-hal konkret."
Adapun tokoh yang dibanggakan, umumnya orang tua, entah ayah atau ibu atau keduanya. Sebab, terang psikolog ini, orang tua, baik ibu maupun ayah, merupakan sosok tokoh yang amat berarti bagi anak. Kendati begitu, tak tertutup kemungkinan anak membanggakan orang lain, karena di usia ini anak pun mulai mengenal lingkungan terdekatnya. Jadi, bisa saja si tokoh adalah kakak, guru, kakek, nenek, atau bahkan teman. Namun dengan catatan, mereka mempunyai arti buat anak atau dalam bahasa psikologi disebut tokoh signifikan. "Makin banyak tokoh signifikannya, makin bertambah pula tokoh yang bisa ia banggakan."
UPAYA MENCARI JATI DIRI
Penting diketahui, perilaku anak yang demikian ada kaitannya dengan pembentukan konsep diri. Jadi, jangan mengira si kecil tengah menyombongkan diri, ya, Bu-Pak. Lain hal jika perilaku demikian ditunjukkan anak usia sekolah atau remaja, "bukan lagi dalam rangka kebanggaan terhadap orang lain, tapi sudah ke arah penunjukan jati dirinya."
Misal, seorang remaja mengatakan, "Bapakku sekarang udah jadi bos, lo. Makanya enggak naik motor lagi, tapi mobil.", ia bermaksud mengungkapkan jati dirinya sebagai anak bos. Bahwa di balik perkataannya itu atau nada bicaranya terkesan sombong, itu lain cerita. Yang jelas, "anak yang sudah sampai pada tahapan ini, biasanya di usia balitanya telah menemukan 'aku'nya." Itu sebab, Nuki menegaskan, perilaku membanding-bandingkan orang tua (tokoh signifikan) justru berdampak positif buat perkembangan anak usia prasekolah.
Dengan anak mengungkapkan kebanggaannya terhadap tokoh signifikan tadi, terang Nuki lebih lanjut, ia belajar menghargai dirinya, menghargai kepemilikannya, dan belajar mengetahui identitas dirinya, serta mampu menilai lingkungannya. Bukankah dengan membanding-bandingkan orang tua, anak punya sesuatu yang menggambarkan siapa dirinya? Ia jadi tahu, "Oh, ini ibu saya."
Jadi, tegas Nuki, perilakunya itu semata lantaran ia tengah berupaya mencari jati diri atau menemukan "aku"nya. Ia mau menunjukkan, "Inilah aku, anaknya Bu Anu yang deterjennya hebat.", misal. "Ia punya sesuatu yang bisa dibanggakan dan ditunjukkan kepada temannya." Selain, ia pun ingin menunjukkan pada orang bahwa ia dapat berbuat atau memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain. Terlebih di usia ini, kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan dari kelompok sudah ada, hingga ia selalu ingin merasa lebih dari teman-temannya.
TAK DIRENCANAKAN
Namun dalam melontarkan kebanggaan itu, anak usia ini melakukannya secara spontan alias tanpa planning sekali. Jadi, apa yang ia lihat atau ketahui, itulah yang ia lontarkan. "Kalau orang dewasa, kan, enggak begitu. Pasti sudah ditata atau direncanakan sedemikian rupa, bahkan sampai dipelajari." Perbedaan ini disebabkan, orang dewasa sudah menemukan jati dirinya, sedangkan anak prasekolah masih dalam tahap mencari, selain kemampuan berpikirnya pun memang masih sederhana.
Itulah sebab, hal-hal yang dibanggakan dari orang tuanya adalah sesuatu yang konkret. "Ia akan membanggakan semua hal yang dilihatnya dalam kehidupan ayahnya; apakah itu sabun cuci ibunya, mobil ayahnya, rumah ayah-ibunya, pekerjaan orang tua, maupun perabot rumah tangga orang tua." Bahkan, binatang piaraan ayah atau ibunya pun ia banggakan.
Selain itu, kebanggaannya juga cuma sebatas pada objeknya. Maksudnya, ia tak melihat atau tak peduli mobil ayahnya merek apa, misal, keluaran tahun berapa, dan berapa harganya. "Yang ia lihat hanya bendanya bahwa ayahnya punya mobil, misal, dan itu membuat dirinya bangga."
Begitu pula pekerjaan orang tuanya, entah guru, wartawan, direktur, polisi, atau tukang sapu jalanan sekalipun. Ia takkan bilang, misal, "Ayahku sekolahnya cuma SD. Itu pun enggak tamat. Makanya ayahku kerjanya cuma jadi tukang sapu jalanan." Namun ia akan bilang, "Ayahkulah yang membuat kota ini jadi bersih."
BERI PENGERTIAN
Tentu saja, perilaku ini bisa terbawa sampai besar. Coba saja perhatikan, orang dewasa pun banyak yang berbuat seperti itu, kan? Entah secara sadar atau tidak. "Hanya saja, caranya membanding-bandingkan tak lagi sebatas pada bentuk kongkretnya, tapi sudah pada tingkatan yang lebih tinggi seperti mutu, kualitas, dan kuantitas, serta kegunaan barang tersebut," tutur Nuki.
Yang perlu dijaga, jangan sampai kala besar nanti ia terkesan sombong atau angkuh saat melontarkan kebanggaannya. Apalagi di sepanjang usianya, ia akan ketemu banyak orang dengan latar belakang berbeda, baik pendidikan maupun sosial ekonomi dan budaya. Hingga kala ia berhadapan dengan teman yang kondisi ekonominya tak semampu keluarganya, misal, ia tak akan membangga-banggakan kekayaan orang tuanya.
Coba bayangkan, apa jadinya bila si kecil mengatakan, misal, "Mobil ayahku hebat, bisa bawa banyak orang. Jadi, kalau mau pergi jalan-jalan bisa ramai-ramai dengan Kakak, Om, Tante, Kakek, Nenek. Pokoknya muat banyak, deh.", sementara ayah si teman bisa jadi sepeda saja enggak punya. Bisa-bisa akhirnya ia malah dijauhi teman-temannya, kan?
Nah, jika hal ini yang terjadi, kita harus segera memberinya pengertian. Misal, "Nak, kita patut bersyukur dan berterimakasih bisa punya mobil. Temanmu itu belum punya mobil mungkin saja karena orang tuanya belum punya cukup uang untuk membelinya. Jadi, kamu enggak boleh bersikap seperti itu sama dia. Lebih baik kamu ajak dia jalan-jalan dengan kita di hari Minggu besok."
Dengan begitu, selain anak belajar mengerem mulutnya, ia pun belajar untuk selalu bersyukur terhadap apa-apa yang dimilikinya, sekaligus belajar untuk lebih menghargai orang lain.
TAMBAH WAWASANNYA
Namun dalam memberi pengertian pada anak hendaknya jangan hanya sebatas bentuk fisiknya, melainkan juga dari segi yang lebih tinggi lagi. Ini penting untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan anak tentang sesuatu hal yang dibeli atau dimiliki orang tuanya.
Misal, "Nak, Ibu membeli sabun cuci ini bukan karena lebih bagus dari kepunyaan temanmu. Ibu pilih sabun ini karena sabun ini tidak membuat tangan Ibu jadi gatal dan harganya pun murah. Lagi pula sabun ini juga membuat baju-baju kita jadi bersih." Atau, "Memang mobil yang kita punya ini tidak sebagus mobil kepunyaan ayah teman kamu, tapi mobil kita bisa muat banyak orang. Coba kalau kita punya mobil yang sama dengan mobil ayah temanmu, tentunya kalau kita jalan-jalan enggak bisa mengajak Kakak, Om, Tante, Kakek, atau Nenek."
Jadi, anak diajak memahami alasan orang tua membeli atau memilih sesuatu, "Oh, Ibu membeli sabun cuci ini karena Ibu enggak bisa pakai sabun lain karena tangannya bisa gatal. Sabun cuci ini juga dapat membuat baju-baju bersih dan harganya pun murah. Jadi, sabun cuci kepunyaan Ibu enggak kalah bagus dari sabun cuci yang mahal." Atau, "Oh, Ayah membeli mobil itu karena harganya murah tapi bisa memuat banyak orang. Jadi, aku bisa mengajak Kakek-Nenek dan Om-Tante kalau jalan-jalan."
Dengan demikian, secara tak langsung menambah kemampuan berpikir dan wawasan anak. "Jadi, bukan hanya sesuatu hal yang konkret saja atau tentang kehebatannya saja, melainkan juga anak diajarkan untuk mengetahui bahwa masih ada penilaian-penilaian lagi. Hingga anak pun belajar bahwa hidup itu begitu banyak variasinya," tutur Nuki. Selain itu, jika wawasannya bertambah, semakin banyak pula alternatif dalam membanding-bandingkan sesuatu, hingga ia pun jadi lebih objektif.
Namun tentunya harus diperhatikan juga, dalam memberikan pengertian kepada anak harus dilakukan secara kontinyu dan konsisten. Kalau tidak, anak akan tetap melakukan hal yang sama.
JADI BERANTEM
Penting pula diperhatikan perkembangan situasi setelah anak saling membanding-bandingkan kehebatan orang tuanya. "Biasanya akan berakhir dengan perkelahian atau pertengkaran gara-gara masing-masing tak mau kalau atau ingin lebih unggul," kata Nuki. Masing-masing mempertahankan argumentasinya kalau milik orang tuanya yang paling bagus. Argumentasi itu akan terus berlanjut dan baru berhenti jika ada di antara mereka yang menangis atau pulang sambil mengomel-ngomel. Dari contoh adegan iklan di atas tadi, misal, si Upik tampak mangkel, kan?
Lagi-lagi, pemberian pengertian pada anak adalah kuncinya. "Kita harus memberikan pengertian yang positif bahwa berantem itu enggak baik, misal." Kita bisa bilang, "Kamu enggak perlu begitu sama temanmu. Mungkin saja sabun milik ibunya memang bagus. Namun kami juga punya sabun yang baik. Jadi, kalian berdua sama-sama punya sabun yang hebat."
Begitu pula bila anak ternyata malah jadi minder lantaran kalah adu argumen kala membanggakan orang tuanya, "Kakak enggak usah sedih begitu, dong. Kan, sabun yang Kakak pakai juga enggak kalah bagus. Coba, deh, lihat baju-baju Kakak, bersih dan harum, kan? Temanmu berkata bahwa sabunnya lebih bagus, itu karena ia enggak tahu bahwa sabun Kakak juga bagus. Jadi, sabun Kakak dan sabun teman Kakak sebenarnya sama-sama bagus."
Nah, Bu-Pak, kini sudah ketemu solusinya, kan, bagaimana menghadapi persoalan ini?
JIKA SI KECIL TAK PERNAH MEMBANDING-BANDINGKAN
Kendati usia prasekolah memang masa-masanya anak membanggakan orang tua, tapi tak berarti semua anak akan melakukannya, lo. Nah, bila hal ini terjadi pada si kecil, ada beberapa kemungkinan penyebabnya seperti yang diungkap Nuki berikut ini:
* Bisa saja anak tak punya sesuatu yang dapat ia banggakan. Mungkin ia tak punya kebanggaan terhadap orang tuanya atau ia tak punya tokoh signifikan.
* Atau ia kurang punya wawasan dan kemampuan berpikir yang luas. Bukan berarti ia tak pandai, lo. Soalnya, kepandaian seorang anak tak bisa diukur oleh suka tidaknya ia membanding-bandingkan orang tuanya.
* Bisa jadi pula dikarenakan anak terbentuk atau terpengaruh oleh lingkungan yang berpendapat, membanding-bandingkan orang tua itu enggak baik. Jika ini yang terjadi, hati-hati, si kecil nantinya bisa menjadi anak yang tak punya rasa percaya diri, bahkan mungkin akan tumbuh menjadi anak yang tak mengenal siapa dirinya (tak punya jati diri).
Indah/Gazali Solahuddin/nakita