Punya anak suka mengamuk, bingung. Namun bila si kecil penurut, curiga perkembangannya tak normal. Serba salah, ya. Bagaimana, sih, seharusnya perkembangan si batita?
Seorang ibu menceritakan, putrinya yang berusia 2,5 tahun punya perkembangan bagus: ngomongnya sudah lancar, bisa menyanyi dan berhitung, juga mudah menghapal, serta sosialisasinya pun bagus. Cuma, ada satu hal dari si anak yang bikin sang bunda bingung. "Masa umur segitu dia punya perasaan seperti anak yang sudah besar. Kalau ada temannya dinakali, dia akan bilang, 'Mbok jangan dinakali. Kasihan, lo.' Dia juga tak pernah minta sesuatu dengan memaksa," tutur Ny. Utami Suprayitna dari Muntilan dalam suratnya kepada nakita.
Tentu saja, Ny. Utami amat senang dengan perkembangan buah hatinya itu. "Aku amat bersyukur punya anak yang tak menjengkelkan. Aku tak pernah membentak apalagi menghajar karena kalau diberi pengertian seperti layaknya anak yang sudah besar, dia pasti nurut." Hanya saja, kadang terbersit keinginan dalam dirinya untuk punya anak yang kalau minta sesuatu sambil guling-guling di toko, misal. Di akhir suratnya, ia pun mempertanyakan, apakah perkembangan perasaan anaknya itu wajar.
AMAT INDIVIDUAL
"Sebagai orang tua, kita memang sering bersikap 'lucu'. Kalau anaknya 'nakal' pasti jengkel, sementara kalau anaknya bersikap manis malah bingung," kata Dra. Rose Mini A.P. M.Psi. Pasalnya, kita sering terjebak pada pola pikir bahwa perkembangan anak merupakan kesepakatan-kesepakatan tertentu. Misal, di usia batita yang muncul harusnya perilaku negativistik. Hingga, kala anak menampilkan sikap penurut, orang tua lantas curiga perkembangannya enggak wajar.
Penting diketahui, perkembangan anak amat individual sifatnya karena semua orang pada dasarnya berbeda satu sama lain. Jadi, meski anak lain yang sebaya anak kita lebih kerap ngambek atau ngamuk kala keinginannya tak terpenuhi sementara anak kita sekali dikasih tahu sudah mengerti, bukan berarti anak kita tak normal perkembangannya. "Inilah yang dinamakan individual difference," tegas psikolog yang akrab disapa Romi ini. Dengan demikian, kita jadi bisa memahami, ada anak yang lebih cepat tapi ada pula yang lambat perkembangannya. Bahkan, ada yang menonjol pada satu atau beberapa aspek inteligensi yang disebut anak berbakat. Ini semua normal.
Namun tentu saja, perkembangan tiap anak tak bisa dilepaskan dari faktor genetik, selain kontribusi lingkungan pun turut mempengaruhi. Jadi, anak takkan punya sikap penurut atau pengertian seperti itu dengan tiba-tiba. "Jika lingkungan tak memberi stimulasi, mustahil, dong, potensi anak bisa keluar. Disinilah orang tua sebagai lingkungan terdekat dengan anak amat memegang peranan." Sekalipun si anak berbakat, tapi jika tak didukung pola asuh yang tepat, keberbakatannya takkan menonjol.
JAUHKAN SIKAP OTORITER
Anak yang penuh pengertian, terang Romi, kemampuannya untuk memahami norma memang amat menonjol dalam dirinya. Itu sebab, ia bisa membedakan nilai baik dan buruk. Ia pun amat cepat menangkap maksud/keinginan dan perintah orang lain atau orang tuanya. Makanya, hanya dengan sekali diberi tahu, ia sudah mengerti. "Kalau semua orang tua bisa merangsang anaknya seperti itu, malah bagus. Jadi, takkan ada lagi orang tua yang mengeluh anaknya 'bandel'," katanya.
Namun harus dibedakan antara penurut yang memang dapat memahami norma dengan si penurut pasif, karena yang pasif ini hanya mengiyakan apa kata orang lain atau orang tua. "Dia takut dimarahi orang tua kalau enggak menurut." Bukankah orang tua pada umumnya menuntut anak berlaku manis? Padahal, anak yang demikian tak bisa berkembang optimal. Salah satunya, "inisiatif dan kreativitas anak akan mati."
Itu sebab, Romi menganjurkan agar anak diberi peluang dan kesempatan untuk melakukan segala sesuatu sesuai tingkatan usianya, termasuk mengeluarkan pendapat. Dengan begitu, wawasannya menjadi kaya, inisiatif dan kreativitasnya pun berkembang. Hingga ia pun berani to be difference alias tampil beda, berani menuangkan pikiran dan keinginannya. Misal, kala menonton TV, ia berani mengatakan, "Orang itu jahat, ya," meski orang-orang di sekelilingnya berkomentar lain.
Ini berarti, kita harus menjauhkan sikap otoriter maupun disiplin kaku, ya, Bu-Pak. Soalnya, pola asuh yang tak kenal negosiasi ini tak memungkinkan si kecil memiliki keleluasaan gerak yang akhirnya malah menghambat perkembangan anak. Jangan lupa, si kecil bisa kehilangan inisiatif dan kreativitasnya. Sebaliknya, bila kita kelewat longgar pun enggak bagus buat tumbuh kembang si kecil karena dia jadi tak tahu aturan-aturan yang berlaku. Kalau sudah begitu, dia akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.