Si Kecil Tukang Ngadu

By nova.id, Selasa, 1 Februari 2011 | 17:00 WIB
Si Kecil Tukang Ngadu (nova.id)

Anak-anak yang kemampuan bergaulnya dengan teman sebaya kurang diasah, akan tumbuh menjadi anak yang tak bisa menyelesaikan konflik. Anak-anak seperti ini, besar kemungkinan punya ikatan begitu kuat dengan

sosok ibu di rumah. Hingga, ketika di "sekolah" pun, ia cenderung lebih akrab dengan guru ketimbang teman-temannya. Tak heran bila anak tipe kurang populer ini akhirnya lebih sering jadi tukang mengadu.

Penting diketahui, semasa usia prasekolah, anak harus makin intens berkenalan dengan dunia di luar rumah. Namun hal ini hanya bisa dilakukan bila anak punya keberanian untuk berinteraksi maupun mengucapkan sapaan tertentu yang merupakan bagian dari pergaulan, semisal mengucap salam atau terima kasih, minta tolong, dan lainnya. Dengan demikian, anak akan mampu mengungkapkan perasaannya secara positif. Nah, buat anak kuper alias kurang pergaulan, ini bukan perkara gampang, lo. Hingga, yang paling mudah dilakukannya cuma mengadu, entah kepada guru saat di "sekolah" atau orang tua saat di rumah.

Itulah mengapa, kita harus memberi kesempatan pada anak untuk bergaul seluas-luasnya. Tentu secara bertahap, sesuai perkembangan sosialisasinya seiring usia bertambah. Termasuk mengajarkan berbicara agar kemampuan bahasanya makin berkembang, etika pergaulan seperti sopan santun, belajar berbagi, serta belajar memilih dan memutuskan sendiri.

AJAR BERANI BICARA

Kini kita berlanjut pada solusinya. Menurut Indri, menghadapi anak pengadu butuh sikap hati-hati dan respon mendalam. "Orang tua dan guru harus tahu persis apa yang jadi masalah anak. Jangan semua hal yang diadukan anak ditanggapi." Dengan kata lain, cuma hal-hal yang membahayakan saja, ya, Bu-Pak.

Misal, si kecil mengadukan temannya yang kelewat "nakal". Di "sekolah", yang terbaik tentulah kita melaporkan pengaduan itu pada gurunya ketimbang menasihati atau bahkan memarahi si teman. Bisa-bisa nanti orang tua si anak tak senang, hingga hubungan kita dengannya jadi buruk. Apalagi bila kita sampai menelepon si orang tua dan memarahinya, wah, bakal ribut besar, deh. Jangan pula kita mengajari si kecil untuk membalas perlakuan temannya semisal, "Kalau kamu dipukul, balas pukul lagi, ya!" Cara ini malah mempertajam masalah. Jadi, kita percayakan saja pada guru untuk mengatasinya, ya, Bu-Pak. "Guru bisa memonitor, memanggil, atau membuatkan program khusus agar si anak 'nakal' ini berkurang perilaku negatifnya."

Sementara terhadap si kecil yang dianggap anak bawang dan kerap dijadikan bulan-bulanan, "orang tua dan guru perlu membesarkan hatinya. Minimal, agar ia tak semakin merasa terpuruk dengan kondisinya yang terbiasa dirugikan tanpa bisa berbuat apa-apa." Saran Indri, ajak si kecil untuk berani bicara semisal, "Kenapa, sih, kamu gangguin saya?" Beri pujian bila ia melakukannya. Dengan begitu, ia diajak belajar menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa kelewat melindunginya. Ingat, lo, bila kita dan gurunya terlalu melindungi, si kecil bisa tumbuh jadi manusia cengeng.

Selain itu, kita pun perlu membekali si kecil dengan sejumlah saran atau alihkan dengan cara lain semisal humor, "Kalau kamu mukulin aku terus, nanti tanganmu bengkok, lo." Cara ini mengajarkan anak untuk tak marah secara agresif, melainkan cukup mengungkapkan pendapat/perasaannya dengan jelas tanpa harus membungkusnya dengan emosi berlebihan. Namun bila temannya memang "nakal" sekali, jalan akhir yang bisa ditempuh, minta si kecil menghindari si teman dan ajari ia memperluas pergaulan, setidaknya berteman dengan anak yang enggak "nakal". Dengan begitu, ia pun terlatih memilah mana yang bisa dijadikan teman dan mana yang tidak.

OBSERVASI DULU

Sayang, ukuran bahaya dan tidaknya ini tak sama di mata anak dengan orang tua/guru. Bahkan, antara orang tua dan guru pun bisa berbeda. Hingga tak jarang terjadi, orang tua merasa diabaikan oleh guru kala melaporkan kejadian yang menimpa anaknya di "sekolah".

Itu sebab, Indri minta, baik guru maupun orang tua agar mengobservasi dulu, apakah hal yang diadukan anak memang benar-benar berbahaya. Tentu sebagai orang tua, kita harus jujur, ya, Bu-Pak. Dalam arti, kalau memang bukan hal yang membahayakan, kita pun harus mengakuinya. Kalau tidak, yang terkena dampaknya juga si kecil. Ingat, lo, ia bisa tumbuh jadi orang yang enggak tahan banting jika selalu dilindungi.