Jadi, bila si kecil mengadu pada kita dan kita menganggap pengaduannya lebih pada usahanya untuk menarik perhatian, misal, amat tak bijak bila kita menerima pengaduannya begitu saja. Sebaiknya, saran Indri, libatkan orang lain yang bisa memberi masukan atau mengkonfirmasikan kebenaran pengaduan anak, misal pembantu/pengasuhnya. "Semacam 'interogasi', tapi lakukan secara halus dan tak di depan anak." Dengan begitu, kita jadi bisa tahu apakah pengaduan si kecil merupakan salah satu bentuk cari perhatian, atau memang perlu ditindaklanjuti.
Namun bila si kecil mengadunya pada guru dan guru menilai pengaduannya bukan yang membahayakan, terlebih bila pengaduan serupa kerap dilakukan anak, maka guru perlu mengkomunikasikannya dengan orang tua. Misal, "Di rumah biasanya diapain, ya, Bu, kalau si kecil sering mengadu?" Dari sini bisa terlihat bagaimana pola kebiasaan anak di rumah. Namun ingat, lo, Bu-Pak, kita tak boleh marah pada guru si kecil karena biasanya, kan, orang tua enggak mau anaknya disalahkan. Jangan pula kita menutup diri dari guru hingga tak memberi tahu hal yang sebenarnya terjadi di rumah. Soalnya, dengan kita menutup diri, guru jadi sulit untuk menemukan solusi yang tepat buat mengatasi masalah ini (termasuk masalah-masalah lain yang dihadapi anak di "sekolah").
Nah, kini kita jadi makin paham akan perilaku si kecil, ya, Bu-Pak. Satu hal yang penting, kita pun perlu menjalin kerja sama yang baik dengan guru untuk mengatasi masalah yang dihadapi si kecil.
Th. Puspayanti/nakita
TAMPIL JADI MENENGAH
Bila kakak mengadukan adiknya atau si adik mengadukan kakaknya, kita harus tampil sebagai penengah. Caranya, tutur Indri, panggil mereka, lalu beri kesempatan masing-masing untuk bicara dan tanyakan duduk persoalan yang sebetulnya. "Mungkin si kakak merasa jengkel pada adiknya yang dianggap mengganggu, sementara niat si adik sebetulnya ingin membantu kakak. Pokoknya, orang tua harus pandai-pandai melihat situasi dan posisi. Kalau memang ada yang salah, beri teguran, hingga anak tahu benar perilakunya salah."
Jadi, apa pun masalahnya, kita harus berada di pihak yang netral, ya, Bu-Pak. "Jangan pernah memberi judgement dengan membela salah satu pihak karena keberpihakan sangat merugikan semua anak." Misal, ayah atau ibu membela si adik karena dianggap lebih kecil dan lemah. Anggapan ini hanya membuat si adik mempersepsikan dirinya sebagai sosok lemah hingga selalu menuntut perhatian/perlindungan orang lain. Sementara si kakak yang terbiasa diminta ngalah, jadi terbiasa berperilaku submisif.
JANGAN ANGGAP SEPI BILA TAK PERNAH NGADU
Boleh jadi, bilang Indri, si kecil memang tak bermasalah hingga tak pernah mengadu. Namun kita tetap perlu waspada, terlebih bila ia sering tampak sedih/murung atau tiba-tiba pulang dengan luka bekas jatuh. Bukan tak mungkin, lo, ia sering jadi sasaran tapi tak berani bicara. Nah, bila si kecil tergolong tipe "penakut", kita perlu mengorek keberaniannya berbicara. Tanyakan pelan-pelan, misal, "Kamu kenapa, kok, pulang 'sekolah' kakinya lecet? Jatuh, ya?"
Biasanya, anak takut mengadu lantaran yang menjahilinya berbadan lebih besar atau malah mengancam, hingga ia khawatir bila mengadu akan makin jadi bulan-bulanan. Akhirnya, ia memilih tak mengadu karena dianggapnya lebih aman. Nah, bila hal ini berlangsung terus tentu sangat mengganggu, bahkan merugikan si kecil. Yang pasti, anak merasa insecure atau tak nyaman dan selalu cemas, namun tak punya tempat untuk mencurahkan isi hatinya." Itulah mengapa, tekan Indri, sejak awal orang tua harus peka mengenali setiap perubahan anak, sekecil apa pun.
Namun jangan langsung menghamiki bila si kecil mengadu, ya, Bu-Pak, karena hanya akan membuatnya kapok dan tak mau mengadu lagi. Jangan pula melecehkannya dengan mengomentari, "Katanya jagoan. Kok, gitu aja nangis?"