"Anak juga perlu dilatih mengungkapkan kemarahannya dengan cara-cara yang lebih bisa diterima," tambah Wieka. Soalnya, ia juga akan mencontoh dalam kondisi apa, sih, tokoh yang ditirunya omong kasar. Bila si tokoh bicara kasar dalam kondisi marah, ia pun akan belajar meniru hal yang sama; baik lewat kata-katanya yang memang kasar atau tekanan suaranya yang keras.
Tentunya, sebagaimana kita mengajarinya berbicara halus dan sopan, latihan ini pun tak cukup hanya sekali dua kali dilakukan, tapi harus dibiasakan. Bukankah faktor kebiasaan terbentuk lewat proses belajar? Jadi, mengubahnya pun harus tahap demi tahap.
JADILAH TELADAN
Seiring dengan itu, kita pun harus membentengi si kecil agar tak terjerumus dalam kebiasaan yang kurang baik ini. Caranya, menurut Wieka, dengan menempatkan figur yang baik buat ditiru. Nah, siapa yang perlu ditiru? Tentu saja kita, orang tuanya, dan juga orang-orang yang berada dalam radius kedekatan dengan anak. "Bila orang tua melarang anak omong kasar tapi orang tua sendiri berkata kasar, ya, enggak efektif, dong. Orang tua harus benar-benar menjadi tokoh yang bisa diteladani," bilang Wieka.
Kenali pula dengan siapa si kecil berinteraksi. "Bila ada temannya yang terbiasa omong kasar, meski lebih merepotkan, carikan teman yang lebih baik dan pas buatnya," ujar Wieka. Atau, cobalah ajari si teman kebiasaan berbahasa yang baik, bukan cuma sekadar menegur. Tentu dengan cara sedemikian rupa tanpa membuat orang tuanya tersinggung.
Langkah lain, cobalah bicara dengan orang tua si teman. Siapa tahu ia memberi tanggapan positif. Jika pun ia tersinggung dan tak mau menerima masukan dari kita, menurut Wieka, apa boleh buat, kita harus membatasi pergaulan si kecil dengan temannya itu. "Tapi bukan melarang anak bergaul dengan siapa pun, lo, karena anak juga makhluk sosial yang butuh bergaul," ingat Wieka.
Yang tak kalah penting, kita juga harus memperkenalkan si kecil pada wilayah keluarga inti dengan aturan main dan nilai-nilai yang disepakati bersama. Hingga bila ia kena teguran atau hukuman, ia akan selalu belajar menghubungkannya dengan aturan yang dilanggar dan konsekuensi yang bakal diterimanya. "Anak pun harus diperkenalkan dengan aneka bentuk kehidupan berkeluarga agar ia belajar mengerti bahwa ia hidup dalam satu keluarga dengan nilai-nilai tertentu yang berbeda dengan keluarga lain."
Ingat, tukas Wieka, kita tak akan pernah bisa mengontrol siapa pun, termasuk anak sendiri. Jadi, anaklah yang harus dibekali sistem pengaman tersendiri, yakni nilai-nilai yang kita berlakukan dalam keluarga tadi.
GARA-GARA DITITIPKAN DI RUMAH KAKEK-NENEK
Bukan tak mungkin si kecil "mahir" omong kasar lantaran setiap hari dititip di rumah kakek-neneknya. Saran Wieka, cobalah bicarakan langsung bila hubungan kita dengan si "sumber masalah" cukup dekat, "tapi jangan libatkan orang tua atau mertua Anda sebagai pemilik rumah."
Bila kita sudah mencobanya namun tak ada itikad baik dari adik atau ipar sementara kondisinya tetap tak bagus buat anak, kitalah yang harus mencari alternatif lain. "Suami-istri perlu kompromi dan harus memperhitungkan benar untung ruginya dan baik buruknya bagi anak. Kalau lingkungannya memang tak bisa diubah, Andalah yang harus keluar dari lingkungan tersebut dan mencari lingkungan baru yang lebih bagus buat anak," tutur Wieka. Lagi pula, kita, toh, tak bisa terus-menerus mengandalkan "jasa baik" orang tua/mertua. Iya, kan?
Selanjutnya, batasi frekuensi pertemuan anak dengan mereka. Misal, dari setiap hari jadi seminggu atau sebulan sekali. Sementara di rumah, kita harus intensifkan pengajaran cara bicara yang benar, sekaligus menanamkan nilai-nilai moral yang baik. Dengan berjalannya waktu, si kecil akan menyadari mana yang benar dan boleh, serta mana yang tidak, sehingga proses peniruan pun akan berkurang.